Annual Report

Thursday 4 June 2015

Hari ini pelajar, esok pengantin

Nick Baker, Communication and Knowledge Management Officer


Anak-anak perempuan di Desa Manggaru* beresiko menikah pada usia muda. ©UNICEF Indonesia/2015/Nick Baker.

Nira* yang baru berusia 14 tahun adalah pelajar yang cemerlang. Ia selalu rajin belajar dan unggul dalam berbagai mata pelajaran, mulai dari kesenian, ilmu pengetahuan alam, hingga ilmu pengetahuan sosial. Namun, masa-masa Nira sebagai pelajar akan segera berakhir. Besok adalah hari pernikahannya.

Nira tinggal di Desa Manggaru, sebuah desa kecil yang berada sekitar 70 km dari Jakarta. Pernikahan anak merupakan hal biasa di desa ini. Bahkan, Nira adalah siswi ketiga yang akan keluar dari bangku sekolah dan menikah tahun ini.

“Aku suka bermain petak umpet,” ucap Nira, saat diminta mendeskripsikan dirinya. Ia tampak yakin dengan keputusannya untuk menikah. “Kalau aku menunggu sampai lulus baru menikah, belum tentu aku bisa dapat pasangan. Terlalu lama buat dia (calon suami) untuk menunggu,” ujarnya.

Kepala Sekolah di Manggaru, Pak Deni, telah melihat secara langsung apa makna pernikahan yang sesungguhnya bagi para muridnya. “Kehamilan akan segera menyusul, perceraian sudah hal biasa, peluang karir semakin terbatas, banyak yang pada akhirnya menjadi pembantu rumah tangga,” kata beliau. “Dan kemiskinan akan terus melanda.”

“Orang tua di sini berpendapat bahwa menikahkan putri mereka dapat memberikan manfaat yang lebih besar daripada menamatkan sekolah mereka. Jika putri mereka dinikahkan, maka beban ekonomi dalam rumah tangga akan berkurang,” kata beliau.

Pak Deni sudah berusaha menghentikan pernikahan Nira yang akan segera berlangsung. Ia sudah memohon pada orang tua Nira untuk mempertimbangkan kembali dan memberikan kesempatan bagi Nira untuk menyelesaikan sekolahnya. Namun, usaha itu tidak membuahkan hasil. “Saya percaya bahwa sebenarnya tidak ada murid saya yang ingin menikah dini”, tambahnya. “Tak satupun dari mereka yang tampak kehilangan minat belajar sebelum pernikahan mereka.”

Ada undangan pernikahan Nira di meja Pak Deni. Beliau melirik pada undangan berwarna merah muda cerah tersebut. “Setiap kali saya melihat salah satu murid saya menikah, saya merasa gagal sebagai seorang pendidik,” ujarnya. “Saya merasa sangat bertanggung jawab. Ini benar-benar menghancurkan hati saya.”

Hanya tinggal menunggu waktu saja sebelum Pak Deni mendapat kabar dari murid perempuan lainnya yang meninggalkan sekolah untuk menjadi pengantin muda. Tapi untuk saat ini, mereka memiliki cita-cita yang tinggi. Ada yang ingin menjadi guru, menjadi koki, pengusaha, dokter, dosen - daftar cita-cita itu terus berlanjut.

Sebagian besar profesi tersebut mengharuskan mereka untuk tidak hanya menyelesaikan sekolah saja, tetapi juga untuk mendapatkan gelar sarjana di tingkat universitas. “Saya ingin kuliah kalau ada uang,” ucap salah seorang anak. Sayangnya, melanjutkan pendidikan hingga tingkat universitas adalah sebuah kemewahan yang tak terjangkau bagi sejumlah keluarga di Manggaru. Pernikahan dipandang sebagai pilihan yang jauh lebih aman dari segi ekonomi.

Seorang anak bernama Desi mengatakan bahwa teman-teman sekolahnya tidak lagi menghabiskan waktu bersama mereka yang sudah menikah. “Tidak lama kemudian mereka akan hamil atau sibuk dengan anak-anak,” ucapnya. Dan menurut Desi, kecil kemungkinan bahwa Nira akan kembali bersekolah setelah menjadi seorang istri, karena “aneh saja (jika seorang yang sudah menikah masih bersekolah).”

Beberapa anak memberikan saran untuk Nira. “Jangan bertengkar dengan suami,” kata salah satu temannya. “Cepat punya anak,” kata teman yang lain. Di desa tersebut, memiliki anak adalah suatu pandangan yang menarik. Namun, tidak satu anak pun tahu persis bagaimana caranya seseorang bisa hamil.

Kehamilan dan persalinan di Manggaru penuh dengan resiko. Resiko ini semakin besar bagi perempuan yang masih berusia muda seperti Nira. Layanan dan sarana kesehatan masih sangat terbatas. Dokter terdekat pun berjarak hampir satu jam jika ditempuh dengan kendaraan.

Ketika seorang ibu di desa ini mulai memasuki masa persalinan, umumnya mereka berkunjung ke seorang paraji (dukun bersalin). Fasilitas yang dimiliki seorang paraji tentunya sangat terbatas dibandingkan dokter atau rumah sakit. Akibatnya, komplikasi parah atau bahkan kematian menjadi hal yang sering terjadi dalam proses bersalin.

Subyek pernikahan menimbulkan tanggapan yang beragam dari anak-anak laki di Manggaru. “Aku punya teman perempuan yang menikah saat baru berusia 11 tahun,” kata salah seorang anak. “Salah satu temanku menikah waktu usianya masih muda. Dia meninggal saat melahirkan,” kata anak yang lain.

Meskipun ada banyak kisah seperti itu, para murid laki-laki mengakui bahwa pernikahan seperti yang akan dialami Nira adalah hal yang "normal". Tak satupun dari mereka mengetahui tentang adanya usia minimum yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Pernikahan negara ini.

Meski demikian, salah satu anak berkata, “Mestinya anak perempuan tidak boleh menikah saat usia 14 tahun. Dia mungkin masih ingin bermain dan bergaul dengan teman-temannya. Perempuan juga memiliki mimpi dan harapan mereka sendiri.”

Mimpi dan harapan Nira akan tertahan esok. Calon suaminya, Fadil, berusia 9 tahun lebih tua darinya. Fadil saat ini tidak memiliki pekerjaan. Rencana bagi masa depan pasangan ini tidak jelas. Namun Nira menegaskan bahwa menikahi Fadil adalah keputusan yang tepat.

“Tuhan mengirimkan aku untuk menjadi jodohnya,” Nira berkata. “Ini takdir.”

*Lokasi dan nama telah disamarkan.


Di Indonesia, satu dari 6 anak perempuan telah menikah sebelum berulang tahun yang ke-18, mengakibatkan pada berakhirnya masa kecil mereka secara tergesa dan membuat siklus kemiskinan terus berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya.

UNICEF mengadvokasi dan mendukung berbagai upaya untuk mengatasi pernikahan anak di Indonesia, menjangkau anak-anak, orang muda, keluarga, masyarakat serta pemerintah Indonesia.