Oleh Cory Rogers:
Communication Officer, UNICEF Indonesia
Ratu Silvia saat kunjungannya ke Indonesia pada 24 Mei 2017, menerima “Peta
Mimpi” yang berisi cita-cita sembilan anak. © Cory Rogers/UNICEF / 2017
Jakarta: Di antara penduduk yang padat di Manggarai,
Jakarta Selatan, siswa kelas lima bernama Ikhsan berseru, “Saya ingin jadi orang
Indonesia pertama yang sampai di bulan!”
Di dekatnya, duduk Yang Mulia Ratu Silvia dari
Swedia. Kehadiran Ratu Silvia pastilah tampak menonjol di lingkungan kumuh itu,
tempat banyak anak tidak memiliki surat-surat kependudukan sehingga tak bisa
mendaftar ke sekolah dasar—terlebih lagi meraih gelar di bidang astrofisika.
“Saya ingin jadi astronot!” Ikhsan masih
berceloteh, bercampur bahasa Inggris yang
belum fasih. “Tapi, di
sini, tidak banyak anak yang tahu astronomi.”
Ikhsan berlatih tarian “Jati-Jati” sebelum menyambut
kedatangan Ratu Silvia.
© Cory Rogers / UNICEF /
2017
Bagaimana, ya, Ratu Silvia bisa membantu anak
sepertinya mewujudkan mimpi? Dan apa yang bisa dilakukan Indonesia?
“Kalian sudah punya satu hal yang terpenting,” Ratu
Silvia memberi semangat pada Ikhsan dan delapan orang anak lain dari Komunitas
Jendela—kelompok yang dibentuk sebagai wadah aman bagi anak-anak dan pemuda
berkumpul ditengah impitan kemiskinan dan perilaku geng di Manggarai.
“Dan mimpi itulah yang paling penting,” Ratu Silvia
melanjutkan.
Kunjungan ke Manggarai yang diselenggarakan UNICEF
adalah bagian dari rangkaian acara kenegaraan Raja Carl XVI Gustav dan Ratu
Silvia dari Swedia ke Indonesia pada bulan ini. Usai menemui anak-anak,
rombongan kerajaan kemudian menghadiri pertemuan tingkat tinggi dengan pejabat
pemerintah Indonesia dan UNICEF. Salah satu tujuan kunjungan resmi ini adalah
mempererat kerja sama Pemerintah Indonesia dan Swedia dalam upaya mengakhiri
kekerasan terhadap anak. Kunjungan diadakan sebagai pendahuluan sebelum kedua
negara bertemu kembali pada bulan Juli di markas PBB di New York.
Mengakhiri kekerasan,
menghidupkan mimpi
Ada begitu banyak hal yang bisa dilakukan
pemerintah untuk memberi anak seperti Ikhsan ruang bagi bertumbuhnya mimpi
mereka. Langkah pertama adalah mengatasi dampak negatif kekerasan yang kian
lama akan kian bertambah, baik di sekolah maupun di rumah.
Saat ini, telah banyak studi yang mempelajari
kaitan antara kekerasan dan tumbuh kembang anak. Paparan kekerasan fisik
dan/atau psikis yang terus menerus bisa sangat merusak perkembangan fisik,
psikologis, kecerdasan, dan perilaku anak.
Anak yang berasal dari lingkungan
yang penuh kekerasan juga berisiko mengalami masalah kesehatan dalam
kehidupannya kelak, seperti kecanduan alkohol, penyakit jantung, bahkan
diabetes. Sebuah studi memperkirakan bahwa, di wilayah Asia Tenggara dan
Pasifik, kekerasan terhadap anak merugikan pemerintah hingga dua sampai tiga
persen dari PDB.
Secara global, Swedia adalah negara terdepan dalam
upaya mengatasi permasalahan ini. Swedia merupakan negara pertama yang melarang
hukuman fisik pada anak pada tahun 1979 dan secara konsisten menempatkan
hak-hak anak sebagai prioritas rencana pembangunan berkelanjutan di berbagai
forum internasional.
Sebagai
warga negara, Ratu Silvia telah meminkan peran penting. Yang Mulia Ratu
mendirikan World Childhood Foundation pada tahun 1999 untuk melindungi hak anak
memiliki “masa kecil, rasa aman, kebahagiaan, kesempatan bermain, dan rasa
ingin tahu terhadap kehidupan.” Organisasi ini kini hadir di puluhan negara dan
berkiprah membantu anak-anak yang paling rentan mengalami kekerasan dan
eksploitasi.
Ratu Silvia menyimak penjelasan anggota Komunitas Jendela yang tengah menceritakan
mimpi dan cita-citanya. © Cory Rogers /
UNICEF / 2017
Indonesia pun terus
memperkuat upaya yang sama.
Tahun lalu, Indonesia
bergabung dengan kerja sama global mengatasi kekerasan terhadap anak, Global Partnership to End Violence
against Children, dan bersama Swedia turut berkomitmen mempercepat
pengakhiran semua bentuk kekerasan terhadap anak—termasuk seksual, fisik,
psikis, dan penelantaran—sebagai bagian Agenda 2030. Baik Indonesia maupun
Swedia berinisiatif melaporkan kemajuan di negara masing-masing dalam forum SDG
Agenda pada bulan Juli di New York. Kedua negara juga bersama-sama akan menajdi
penyelenggara rangkaian acara tambahan bertema pencegahan kekerasan terhadap
anak.
Di indonesia, mengatasi kekerasan berarti juga
menghadapi isu seperti perundungan (nyaris sepertiga anak Indonesia menyatakan
mereka mengalami perundungan di sekolah) dan pernikahan anak (360.000 anak
perempuan dinikahi setiap tahunnya), serta faktor-faktor dasar yang menyebabkan
seorang anak rentan terhadap hal-hal ini; misalnya lebih dari seperempat anak
di bawah usia empat tahun tidak memiliki akta
kelahiran, dan tanpa data mereka pun rentan mengalami
penjualan anak dan eksploitasi.
Mendengarkan Suara Anak
dan Pemuda
Tahun lalu, Pemerintah Indonesia meluncurkan Strategi Nasional untuk Mengakhiri Kekerasan Terhadap
Anak 2016-2020. Strategi
Nasional disusun berdasarkan data dan wawancara dengan ribuan anak di seluruh
Indonesia mengenai topik-topik terpenting bagi mereka.
Pernilla Baralt, Sekretaris Negara untuk Menteri bidang
Anak-anak, Lansia, dan Kesetaraan Gender Swedia, memuji upaya pemerintah
menghadirkan sudut pandang anak-anak di acara pertemuan resmi berjudul “Global
Collaboration to Fight a Global Epidemic: Indonesia and Sweden are Ending
Violence against Children.”
Hadir dalam pertemuan itu antara lain Olof Skoog,
Perwakilan Tetap Swedia untuk UE; menteri, wakil menteri, dan para ahli bidang
perlindungan anak dari Swedia dan Indonesia; serta Gunilla Olsson, UNICEF
Representative di Indonesia yang bertindak sebagai moderator pertemuan.
“Kita tahu dampak [kekerasan] terhadap perkembangan
anak... kita harus terus mengumpulkan data untuk meyakinkan pihak-pihak yang
masih skeptis,” kata Baralt.
Anak lelaki di Jawa Timur berpose saat difoto © Cory Rogers /
UNICEF / 2017
“Namun, melibatkan anak-anak itu sendiri sangat besar
artinya. Tanpa pandangan mereka, kita tidak akan bisa menyelesaikan hal ini
[mengakhiri kekerasan terhadap anak],” tambahnya.
Bagi UNICEF Indonesia, pelibatan anak dan pemuda
senantiasa menjadi prioritas penting. Pada tahun 2015, UNICEF mendukung Indonesian Youth on
Violence against Children Network (YNVAC)—koalisi kelompok pemuda anti-kekerasan—menjadi
mitra resmi pemerintah dalam isu ini.
Tahun ini, YNVAC mengadakan
serangkaian pelatihan kepemimpinan untuk 60 pemuda di pusat-pusat kota yaitu Makassar,
Surabaya and Banda Aceh—tiga kota yang marak dengan kejadian perundungan dan
kekerasan di sekolah. Ke-60 peserta yang dilatih masing-masing berkomitmen
melatih 50 orang muda berikutnya untuk menjadi penggiat gerakan ini di tempat mereka
Dengan jumlah total 3.000 anak muda, diharapkan kesadaran menghentikan kekerasan
di kalangan pemuda bisa digalang secara lebih luas.
Koordinator YNVAC Ravio
Patra, yang juga hadir dalam pertemuan resmi Swedia-Indonesia, memberi contoh
dari dialog yang idealnya terjadi antara pemuda dan pemerintah—hal yang
sama-sama diinginkan oleh pemerintah kedua negara.
Ravio menyuarakan
perlunya lebih banyak peluang bagi pemuda berinteraksi secara mendalam dengan
pemerintah mengenai hak-hak anak. “Kami ingin membantu. Kami bekerja dalam
jaringan dan di masyarakat, menyebarkan pesan anti-kekerasan dan perlindungan
anak.”
Langkah ke depan
Dengan komitmen
mempercepat pengakhiran kekerasan terhadap anak, Indonesia dan Swedia
diposisikan sebagai pionir global dalam upaya menjadikan perlindungan anak
sebagai intisari agenda pembangunan berkelanjutan.
“Pemerintah Indonesia
sadar bahwa masalah ini sangat besar,” kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Indonesia, Ibu Yohanna Susana Yembise. “Kekerasan tidak hanya
berdampak buruk terhadap perkembangan emosi, kecerdasan, dan fisik anak.
Melemahkan anak-anak sebagai sumber daya kita yang paling berharga berarti juga
merusak potensi pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia di masa depan,”
tambahnya.
Sekretaris Negara Swedia
Pernilla Baralt setuju dengan hal
ini dan berkata bahwa kemitraan Indonesia-Swedia akan membawa banyak manfaat
untuk anak-anak.
“Melalui pertemuan ini, pertemuan bulan Juli nanti
di New York, dan satu pertemuan lagi untuk membahas solusi di Stockholm adalah
peta jalan kita,” katanya. “Tentu, dalam prosesnya, banyak hal yang harus
dilakukan oleh masing-masing pihak.”
“Saya yakin, Pemerintah Indonesia dan Swedia merasa
sudah mengambil langkah awal, dan kita tidak akan berhenti sampai ada hasil
yang dicapai.”
Kemitraan kuat antara anak, pemuda, pemerintah,
masyarakat sipil, dan komunitas lain, memang merupakan kunci mengakhiri
kekerasan terhadap anak.