Annual Report

Wednesday 31 May 2017

Ratu Silvia dari Swedia menyoroti pentingnya anak-anak Indonesia

Oleh Cory Rogers: Communication Officer, UNICEF Indonesia

Ratu Silvia saat kunjungannya ke Indonesia pada 24 Mei 2017, menerima “Peta Mimpi” yang berisi cita-cita sembilan anak. © Cory Rogers/UNICEF / 2017

Jakarta: Di antara penduduk yang padat di Manggarai, Jakarta Selatan, siswa kelas lima bernama Ikhsan berseru, “Saya ingin jadi orang Indonesia pertama yang sampai di bulan!”

Di dekatnya, duduk Yang Mulia Ratu Silvia dari Swedia. Kehadiran Ratu Silvia pastilah tampak menonjol di lingkungan kumuh itu, tempat banyak anak tidak memiliki surat-surat kependudukan sehingga tak bisa mendaftar ke sekolah dasar—terlebih lagi meraih gelar di bidang astrofisika.

“Saya ingin jadi astronot!” Ikhsan masih berceloteh, bercampur bahasa Inggris yang
belum fasih. “Tapi, di sini, tidak banyak anak yang tahu astronomi.”

Ikhsan berlatih tarian “Jati-Jati” sebelum menyambut kedatangan Ratu Silvia.
© Cory Rogers / UNICEF / 2017 

Bagaimana, ya, Ratu Silvia bisa membantu anak sepertinya mewujudkan mimpi? Dan apa yang bisa dilakukan Indonesia?

“Kalian sudah punya satu hal yang terpenting,” Ratu Silvia memberi semangat pada Ikhsan dan delapan orang anak lain dari Komunitas Jendela—kelompok yang dibentuk sebagai wadah aman bagi anak-anak dan pemuda berkumpul ditengah impitan kemiskinan dan perilaku geng di Manggarai.

“Dan mimpi itulah yang paling penting,” Ratu Silvia melanjutkan.

Kunjungan ke Manggarai yang diselenggarakan UNICEF adalah bagian dari rangkaian acara kenegaraan Raja Carl XVI Gustav dan Ratu Silvia dari Swedia ke Indonesia pada bulan ini. Usai menemui anak-anak, rombongan kerajaan kemudian menghadiri pertemuan tingkat tinggi dengan pejabat pemerintah Indonesia dan UNICEF. Salah satu tujuan kunjungan resmi ini adalah mempererat kerja sama Pemerintah Indonesia dan Swedia dalam upaya mengakhiri kekerasan terhadap anak. Kunjungan diadakan sebagai pendahuluan sebelum kedua negara bertemu kembali pada bulan Juli di markas PBB di New York.

Mengakhiri kekerasan, menghidupkan mimpi
Ada begitu banyak hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk memberi anak seperti Ikhsan ruang bagi bertumbuhnya mimpi mereka. Langkah pertama adalah mengatasi dampak negatif kekerasan yang kian lama akan kian bertambah, baik di sekolah maupun di rumah.

Saat ini, telah banyak studi yang mempelajari kaitan antara kekerasan dan tumbuh kembang anak. Paparan kekerasan fisik dan/atau psikis yang terus menerus bisa sangat merusak perkembangan fisik, psikologis, kecerdasan, dan perilaku anak.

Anak yang berasal dari lingkungan yang penuh kekerasan juga berisiko mengalami masalah kesehatan dalam kehidupannya kelak, seperti kecanduan alkohol, penyakit jantung, bahkan diabetes. Sebuah studi memperkirakan bahwa, di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik, kekerasan terhadap anak merugikan pemerintah hingga dua sampai tiga persen dari PDB.

Secara global, Swedia adalah negara terdepan dalam upaya mengatasi permasalahan ini. Swedia merupakan negara pertama yang melarang hukuman fisik pada anak pada tahun 1979 dan secara konsisten menempatkan hak-hak anak sebagai prioritas rencana pembangunan berkelanjutan di berbagai forum internasional. 

Sebagai warga negara, Ratu Silvia telah meminkan peran penting. Yang Mulia Ratu mendirikan World Childhood Foundation pada tahun 1999 untuk melindungi hak anak memiliki “masa kecil, rasa aman, kebahagiaan, kesempatan bermain, dan rasa ingin tahu terhadap kehidupan.” Organisasi ini kini hadir di puluhan negara dan berkiprah membantu anak-anak yang paling rentan mengalami kekerasan dan eksploitasi.

Ratu Silvia menyimak penjelasan anggota Komunitas Jendela yang tengah menceritakan mimpi dan cita-citanya. © Cory Rogers / UNICEF / 2017

Indonesia pun terus memperkuat upaya yang sama.

Tahun lalu, Indonesia bergabung dengan kerja sama global mengatasi kekerasan terhadap anak, Global Partnership to End Violence against Children, dan bersama Swedia turut berkomitmen mempercepat pengakhiran semua bentuk kekerasan terhadap anak—termasuk seksual, fisik, psikis, dan penelantaran—sebagai bagian Agenda 2030. Baik Indonesia maupun Swedia berinisiatif melaporkan kemajuan di negara masing-masing dalam forum SDG Agenda pada bulan Juli di New York. Kedua negara juga bersama-sama akan menajdi penyelenggara rangkaian acara tambahan bertema pencegahan kekerasan terhadap anak.

Di indonesia, mengatasi kekerasan berarti juga menghadapi isu seperti perundungan (nyaris sepertiga anak Indonesia menyatakan mereka mengalami perundungan di sekolah) dan pernikahan anak (360.000 anak perempuan dinikahi setiap tahunnya), serta faktor-faktor dasar yang menyebabkan seorang anak rentan terhadap hal-hal ini; misalnya lebih dari seperempat anak di bawah usia empat tahun tidak memiliki akta kelahiran, dan tanpa data mereka pun rentan mengalami penjualan anak dan eksploitasi.

Mendengarkan Suara Anak dan Pemuda
Tahun lalu, Pemerintah Indonesia meluncurkan Strategi Nasional untuk Mengakhiri Kekerasan Terhadap Anak 2016-2020. Strategi Nasional disusun berdasarkan data dan wawancara dengan ribuan anak di seluruh Indonesia mengenai topik-topik terpenting bagi mereka.

Pernilla Baralt, Sekretaris Negara untuk Menteri bidang Anak-anak, Lansia, dan Kesetaraan Gender Swedia, memuji upaya pemerintah menghadirkan sudut pandang anak-anak di acara pertemuan resmi berjudul “Global Collaboration to Fight a Global Epidemic: Indonesia and Sweden are Ending Violence against Children.”

Hadir dalam pertemuan itu antara lain Olof Skoog, Perwakilan Tetap Swedia untuk UE; menteri, wakil menteri, dan para ahli bidang perlindungan anak dari Swedia dan Indonesia; serta Gunilla Olsson, UNICEF Representative di Indonesia yang bertindak sebagai moderator pertemuan.

“Kita tahu dampak [kekerasan] terhadap perkembangan anak... kita harus terus mengumpulkan data untuk meyakinkan pihak-pihak yang masih skeptis,” kata Baralt.

Anak lelaki di Jawa Timur berpose saat difoto © Cory Rogers / UNICEF / 2017 

“Namun, melibatkan anak-anak itu sendiri sangat besar artinya. Tanpa pandangan mereka, kita tidak akan bisa menyelesaikan hal ini [mengakhiri kekerasan terhadap anak],” tambahnya.

Bagi UNICEF Indonesia, pelibatan anak dan pemuda senantiasa menjadi prioritas penting. Pada tahun 2015, UNICEF mendukung Indonesian Youth on Violence against Children Network (YNVAC)—koalisi kelompok pemuda anti-kekerasan—menjadi mitra resmi pemerintah dalam isu ini.

Tahun ini, YNVAC mengadakan serangkaian pelatihan kepemimpinan untuk 60 pemuda di pusat-pusat kota yaitu Makassar, Surabaya and Banda Aceh—tiga kota yang marak dengan kejadian perundungan dan kekerasan di sekolah. Ke-60 peserta yang dilatih masing-masing berkomitmen melatih 50 orang muda berikutnya untuk menjadi penggiat gerakan ini di tempat mereka Dengan jumlah total 3.000 anak muda, diharapkan kesadaran menghentikan kekerasan di kalangan pemuda bisa digalang secara lebih luas.

Koordinator YNVAC Ravio Patra, yang juga hadir dalam pertemuan resmi Swedia-Indonesia, memberi contoh dari dialog yang idealnya terjadi antara pemuda dan pemerintah—hal yang sama-sama diinginkan oleh pemerintah kedua negara.

Ravio menyuarakan perlunya lebih banyak peluang bagi pemuda berinteraksi secara mendalam dengan pemerintah mengenai hak-hak anak. “Kami ingin membantu. Kami bekerja dalam jaringan dan di masyarakat, menyebarkan pesan anti-kekerasan dan perlindungan anak.”

Langkah ke depan
Dengan komitmen mempercepat pengakhiran kekerasan terhadap anak, Indonesia dan Swedia diposisikan sebagai pionir global dalam upaya menjadikan perlindungan anak sebagai intisari agenda pembangunan berkelanjutan.


Ratu Silvia usai menghadiri pertemuan Roundtable Discussion © Cory Rogers / UNICEF / 2017

“Pemerintah Indonesia sadar bahwa masalah ini sangat besar,” kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia, Ibu Yohanna Susana Yembise. “Kekerasan tidak hanya berdampak buruk terhadap perkembangan emosi, kecerdasan, dan fisik anak. Melemahkan anak-anak sebagai sumber daya kita yang paling berharga berarti juga merusak potensi pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia di masa depan,” tambahnya.
Sekretaris Negara Swedia Pernilla Baralt setuju dengan hal ini dan berkata bahwa kemitraan Indonesia-Swedia akan membawa banyak manfaat untuk anak-anak.

“Melalui pertemuan ini, pertemuan bulan Juli nanti di New York, dan satu pertemuan lagi untuk membahas solusi di Stockholm adalah peta jalan kita,” katanya. “Tentu, dalam prosesnya, banyak hal yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak.”

“Saya yakin, Pemerintah Indonesia dan Swedia merasa sudah mengambil langkah awal, dan kita tidak akan berhenti sampai ada hasil yang dicapai.”

Kemitraan kuat antara anak, pemuda, pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas lain, memang merupakan kunci mengakhiri kekerasan terhadap anak.