Oleh Ermi Ndoen, EPI Officer
Ariel saat memberikan presentasi pada lokakarya dan pelatihan cold
chain NTT, diselenggarakan dengan dukungan UNICEF ©Ermi Ndoen/UNICEF/2017
Kupang: Hari itu, seperti
biasa, Johanis Rihi Leo atau dikenal dengan nama sapaan “Ariel”, tengah bergegas.
“Ada tiga lemari pendingin vaksin
yang harus segera diperbaiki,” kata Ariel sebelum meninggalkan Ende di Flores
menuju Kefamenanu di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), wilayah berbukit di
bagian timur Pulau Timor yang berjarak ratusan kilometer dari Ende.
Ariel mengawasi kondisi cold chain
vaksin untuk
Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk memastikan
bahwa vaksin yang dikirim ke Puskesmas tetap berada dalam suhu yang tepat sejak
dari titik produksi hingga siap digunakan. Upaya ini tidak mudah dilakukan di
negara tropis; suhu hangat membuat lemari es harus dinyalakan terus menerus. Akibatnya,
ada biaya-biaya cukup tinggi yang harus dikerahkan.
Meski begitu, vaksin harus dijaga tetap dingin, yaitu pada suhu antara 2-8°
C karena suhu yang lebih hangat justru dapat merusak vaksin. Tugas Ariel di
sini adalah memastikan vaksin disimpan dalam suhu yang seharusnya setelah tiba
di unit-unit Puskesmas.
“Sayangnya, sering terjadi lemari pendingn vaksin rusak dan tidak ada yang
bisa membetulkan,” kata Ariel. “Kadang-kadang, kerusakannya kecil, misalnya
kabel yang terputus karena digigit tikus. Tapi, sering juga saya menemui kasus
kerusakan yang butuh biaya besar.”
Menurut Ariel,
“Untuk satu unit saja biayanya setara dengan Toyota Innova baru!”
Di Indonesia, sekitar dua hingga tiga juta kematian berhasil dicegah setiap
tahun melalu pemberian vaksin DPT—Difteri, Pertusis, dan Tetanus—dan campak. Memastikan
vaksin berada pada suhu yang tepat menjadi perhatian penting UNICEF Indonesia.
Untuk itu, UNICEF bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mengetahui
kelemahan di sepanjang cold chain, kemudian memberikan keahlian dan saran untuk
mengatasinya.
“Sedih rasanya setiap kali melihat lemari es yang rusak sama sekali.
Terbayang anak-anak yang kemungkinan menerima vaksin yang sudah tidak bekerja.
Padahal, dengan perawatan yang benar, usia lemari es bisa cukup panjang,” Ariel
menerangkan.
Kegiatannya sebagai teknisi cold chain dimulai pada tahun 2011. Saat itu,
ia diundang sebagai peserta pelatihan se-provinsi untuk perbaikan dan perawatan
lemari es vaksin yang diadakan UNICEF.
“Saya datang karena tertarik pada topik acara. Tapi, dari dulu pun sudah hobi
mereparasi barang,” kata Ariel.
Dari semua peserta yang hadir, hanya sedikit yang kemudian berhasil
mengumpulkan pengalaman kerja yang cukup sebagai teknisi dan menjadi pelatih.
“Beberapa teman saya ikut dalam
pelatihan, tapi cuma saya yang meneruskan. Sekarang, sudah puluhan lemari es
vaksin yang saya tangani. Barangkali, sudah menghemat miliaran rupiah [dana
pemerintah] melalui reparasi.”
Ariel pun pernah diminta mengevaluasi dan memperbaiki unit-unit dalam cold
chain di tempat lain yang cukup jauh, bahkan hingga ke Sumba, Flores, dan seluruh
Kupang di Pulau Timor.
Ariel bertekad untuk terus giat bekerja memastikan keampuhan vaksin untuk
melindungi anak-anak dari penyakit.
“Saya prihatin kalau anak-anak sampai tidak bisa menerima vaksin aman
karena ada kerusakan di cold chain.”
“Dengan membantu teman-teman memperbaiki mutu cold chain, berarti saya juga
ikut memastikan masa depan yang lebih cerah untuk semua anak di NTT,” tutup
Ariel.
Inilah
sosok yang dibutuhkan anak-anak NTT. Maju terus Ariel!
©Ermi Ndoen/UNICEF/2017