Annual Report

Wednesday 25 January 2017

Tenda UNICEF untuk anak-anak di Pidie Jaya - Aceh

Oleh: Cory Rogers

Hari Rabu, saat ribuan orang keluar untuk salat subuh berjamaah, tanah di Pidie Jaya – Aceh Utara tiba-tiba terguncang. Dalam hitungan menit, 3000 rumah hancur menjadi puing-puing, jalanan di sekitar terbelah dan rusak parah.

Berdasarkan data terakhir dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 102 orang meninggal duni, lebih dari 300 orang terluka, dan 85.000 penduduk saat ini masih dalam pengungsian. Seperempat dari mereka yang meninggal berusia di bawah 18 tahun.

Dampak langsung dari gempa tersebut adalah puluhan ribu orang kehilangan rumahnya. Juga banyak dari mereka yang tidak memiliki akses pelayanan yang baik seperti, air yang aman, kesehatan dan sanitasi, bahkan pendidikan.

Wednesday 18 January 2017

Sebuah Gerakan untuk Perubahan yang berpusat pada Anak Gadis

Oleh Felice Baker, JPO, Perlindungan Anak

Jakarta:”Penciptaan generasi yang kuat tidak akan tercapai jika sang ibu, yang merupakan sumber pertama pendidikan bagi seorang anak, adalah seorang gadis yang belum siap menjadi seorang ibu,” demikian perkataan Ibu Sinta Nuriyah Wahid, pendukung hak-hak perempuan dan mantan Ibu Negara (1999-2001), pada saat peluncuran Jaringan Gadis Remaja Indonesia di Jakarta.

Lokakarya dua hari ini, yang diadakan oleh UNICEF bekerjasama dengan Flamingo Social Purpose dan Rumah Kita, menghadirkan pendukung dari 28 organisasi berbasis di Indonesia, yang berfokus pada isu-isu seperti pernikahan anak, kesehatan reproduksi dan kesetaraan gender. Jaringan ini didirikan untuk memungkinan para anggotanya mengkoordinasikan dan mengimplementasikan intervensi, memperbesar dan mengembangkan sinergi untuk hasil yang terbaik bagi para gadis remaja.

Chernor Bah, pendukung hak-hak gadis dan anak muda dan pendiri Jaringan Gadis Remaja Sierra Leone, memperkenalkan kepada para peserta prinsip-prinsip yang ia sebut sebagai ‘program yang terpusat pada anak gadis’, sebuah filosofi yang dimulai dengan kepercayaan bahwa “permainannya dibuat untuk mencurangi anak gadis, mereka dibuat kalah – dan jika anak gadis kalah, semua orang kalah,” ujarnya.

Secara global, anak-anak gadis umumnya kurang sehat, kurang terdidik dan menikmati hak-hak yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan anak lelaki, menghadapi kemudaratan sistematik yang disebabkan norma-norma yang diskriminatif. Pada saat pubertas, anak-anak gadis menghadapi resiko diperlakukan dengan tidak pantas, harus melakukan pekerjaan domestik dan putus sekolah, menjadi terisolasi secara sosial. Bahkan menurut sebuah studi yang dilakukan di Afrika Selatan oleh Population Council, sebuah pusat pemikiran pembangunan yang berpusat di New York, pada saat pubertas, akses anak-anak gadis terhadap tempat-tempat seperti pasar, pusat kesehatan dan perpustakaan juga berkurang, sementara untuk anak lelaki akses itu bertambah. Berinvestasi pada anak-anak gadis tidak hanya menjanjikan imbalan ekonomis yang signifikan, tapi juga dampak yang besar pada hampir setiap indikator pembangunan, dari partisipasi anak-anak gadis di pasar tenaga kerja, yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi, hingga perbaikan kesehatan dan pendidikan untuk generasi mendatang1.

Program yang berpusat pada anak gadis membuat mereka menjadi fokus dari setiap keputusan program; hal ini termasuk menentukan siapa yang ditargetkan, kapan dan bagaimana memantau kemajuan mereka. Program seperti ini dapat menunda pernikahan, meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, meningkatkan rasa percaya diri dan memperbaiki literasi keuangan.

Selama lokakarya, anggota Jaringan setuju bahwa  memberdayakan anak gadis melalui peningkatan literasi keuangan, perluasan jaringan pendukung sosial dan perbaikan pengetahuan mereka tentang kesehatan, akan menjadi misi penyatuan. Jika dikombinasikan, hal ini akan mengurangi  kerentanan anak-anak gadis, dan menciptakan pertahanan terhadap pernikahan anak, kehamilan remaja dan putus sekolah,

Dengan menempatkan anak gadis di pusat, Jaringan Gadis Remaja Indonesia sekarang siap untuk memperkuat karya penting mereka. Anggota akan bertemu tiap bulan untuk berbagi informasi mengenai aktivitas, melakukan koordinasi riset dan intervensi bersama dan menyerahkan usulan bersama untuk pendanaan. Saat ini sedang direncanakan sebuah inisiatif bersama untuk membuat platform online, yang memungkinkan anak-anak gadis untuk berkomunikasi dengan rekan dan mentornya.

Sunday 15 January 2017

Ayo ajak High Five!

Oleh: Dinda Veska


Seorang facers sedang mengedukasi pengunjung mall tentang program UNICEF Indonesia.
©UNICEF Indonesia/2016/Surabaya.

Fundraising atau penggalangan dana kerap kali dipandang sebagai sebuah kegiatan yang tidak menarik atau bahkan mengganggu bagi sebagian orang termasuk saya. Para penggalang dana (facers) yang ada di jalan-jalan atau di mall ini cukup menyebalkan. "Seperti sales credit card, gak sopan asal stop aja, emang gak ada cara lain untuk mintain uang? Kalau bisa dihindari, mending menghindar aja." Dan masih banyak lagi komentar negatif lainnya.

Selama satu pekan kemarin saya mendapat kesempatan bekerja sama dengan mereka untuk pembuatan beberapa video story di Kabupaten Mamuju. Kesan pertama yang ditimbulkan oleh keempat facers ini adalah sangat aktif dan banyak bicara. Wajar saya pikir karena itulah yang menjadi alat utama untuk mereka bergerilya mengumpulkan banyak donasi selama ini.

Saat mendapat kesempatan untuk rapat persiapan dengan organisasi lokal di Mamuju, keempat facers ini banyak bertanya hal-hal yang di luar ekspetasi saya tentang mereka. Pertanyaan mereka cukup dalam dan jauh dari ranah permukaan. Secara bergantian dengan sangat antusias mereka menanyakan data dan fakta yang terjadi di lapangan.

Seketika ingatan saya melayang ke beberapa waktu lalu saat dicegat oleh seorang facers di sebuah pusat perbelanjaan. Alih-alih meminta donasi, facers itu lebih banyak bercerita mengenai program-program yang dilakukan oleh UNICEF dan bagaimana kondisi anak-anak Indonesia yang hidup dengan banyak keterbatasan.

Pantas saja mereka benar-benar memahami kondisi anak-anak yang diceritakan ketika menggalang donasi. Proses pengumpulan informasinya ternyata tidak sembarangan, seperti yang dilakukan saat itu. Mereka harus berkunjung ke daerah yang di mana program UNICEF sedang berlangsung, untuk memastikan donasi yang digalang akan terserap dengan benar dan tepat sasaran. Selain itu juga untuk benar-benar memahami data dan fakta yang ada mereka bertemu langsung dengan anak-anak di sana.

Belum selesai sampai disitu, motivasi dan semangat mereka juga sangat menginspirasi saya. Seperti Mey yang ternyata memilih pekerjaan ini karena ingin membayar rasa bersalahnya kepada sang adik yang meninggal di usia anak. "Mungkin ini memang kesempatannya mbak untuk melakukan sesuatu untuk adikku, ya meskipun gak untuk dia langsung tapi setidaknya aku lega karena melakukan hal baik untuk anak-anak. Waktu lihat banner UNICEF di job fair tuh aku langsung inget adikku, waktu dia meninggal aku tuh gak ada di sampingnya mbak." Ungkap Mey

Memahami sebelum membenci, mungkin itu yang sebaiknya kita lakukan. Meskipun terkadang menyebalkan ketika sedang tergesa-gesa masih harus menanggapi mereka di jalan. Satu hal yang akhirnya saya pahami, kebaikan yang mereka lakukan tidak seharusnya dihindari. Proses panjang yang mereka usahakan mulai dari pengumpulan informasi hingga penggalangan donasi sudah saatnya mendapat apresiasi.

Saya mengajak siapapun yang akhirnya membaca tulisan ini untuk ikut memberi apresiasi kepada para facers. Ayo ajak High Five! Dan katakan "SEMANGAT" pada mereka!

“Not all of us can do great things. But we can do small things, with great love.” Mother Teresa


Kegiatan Facers bersama anak-anak di sekolah.
©UNICEF Indonesia/2016/Mamuju.


Tuesday 10 January 2017

Ayo Kembali ke Sekolah di Pidie Jaya

Oleh Cory Rogers, Communication Officer





Para siswa kelas 2 belajar di tenda pendidikan yang didirikan beberapa hari setelah gempa berkekuatan 6,5m terjadi di tiga kabupaten, yang menewaskan ratusan orang dan mengakibatkan ribuan orang terlantar di kawasan barat laut Provinsi Aceh © UNICEF Indonesia / 2017 / Cory Rogers.


Pidie Jaya, Aceh:
Mula-mula terjadi retakan di dekat pintu, kemudian dinding belakang terbelah melalui ubin berdebu, yang berjarak kira-kira enam atau tujuh meter.

Mengingat reruntuhan yang jaraknya sangat dekat – dimana rumah-rumah hancur, sekolah-sekolah tinggal tumpukan puing – kejadian tersebut, yang digambarkan oleh guru di MIN Pangwa sebagai kerusakan terparah oleh gempa, tampaknya dianggap sebagai hal yang tidak penting.


Tetapi bagi Rajwa, 10 tahun, siswa kelas lima, kejadian tersebut merupakan semacam pemicu - pengingat yang menakutkan tentang peristiwa yang menewaskan dua teman sekelasnya dan mengakibatkan keluarganya meninggalkan rumah mereka selama beberapa minggu.
Rajwa di luar MIN Pangwa © UNICEF Indonesia / 2017/ Cory Roger
"Saya tidak ingin gempa terjadi lagi," kata Rajwa. "Saya tidak ingin melihat kejadian itu, saya tidak ingin masuk ke sana."

Berkat bantuan tenda yang diberikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada tanggal 27 Desember, kini Rajwa tidak perlu merasa takut.

Seperti siswa-siswa di hampir 200 sekolah di tiga kabupaten yang terkena dampak, Rajwa akan menggunakan tenda tersebut sebagai ruang belajar sambil menanti perbaikan ruang kelasnya. Kegiatan ini merupakan inisiatif pemulihan dengan keyakinan bahwa pada saat terjadi bencana, pendidikan menjadi semakin penting.

 Seorang guru membantu anak di salah satu tenda yang diberikan oleh BNPB sehingga para siswa dapat terus belajar karena kelas mereka yang rusak sedang diperbaiki. © UNICEF Indonesia / 2017 / Cory Rogers 

 "Anak-anak tidak membutuhkan pendidikan bahkan dalam keadaan darurat. Mereka membutuhkan pendidikan khususnya dalam keadaan darurat, '' kata Executive Director UNICEF Anthony Lake. Penelitian menunjukkan bahwa pada saat krisis, sekolah memberikan struktur dan kegiatan rutin untuk membantu anak-anak mengatasi rasa takut, kehilangan atau stres.

Berdasarkan pandangan seperti ini, Pemerintah – melalui kemitraan dengan berbagai organisasi, termasuk UNICEF - telah mencanangkan kampaye "Ayo Kembali Ke Sekolah", yang berupaya untuk mencapai kehadiran siswa secara penuh di sekolah pada awal Januari. Di MIN Pangwa, para guru menyatakan bahwa kehadiran siswa telah mencapai kira-kira 70 persen.   

Akan tetapi, sepanjang jalan di SDN Peulandok Tunong, para guru mengatakan bahwa para siswa telah hadir selama beberapa minggu.

"Semua kecuali dua dari 93 siswa kembali ke sekolah hari ini," kata Ibu Wardiah, wakil kepala sekolah SDN Peulandok Tunong. Sekelompok siswa kelas dua berlatih membaca jam yang ada di belakangnya, pada pelajaran terakhir mereka hari itu.

Terletak tiga kilometer di sepanjang jalan yang sempit dengan pinggiran pohon-pohon padi, SDN Peulandok Tunong roboh pada saat terjadi gempa. Sekolah ini merupakan salah satu sekolah yang pertama menerima tenda pada tanggal 11 Desember dari Kementerian Pendidikan. Setelah itu, tenda kedua didirikan oleh BNPB sebagai tempat untuk kegiatan-kegiatan belajar.   

Ibu Wardiah, (paling kiri) dan sesama guru SDN Peulandok Tunong berkumpul di luar tenda yang diberikan oleh UNICEF kepada Kementerian Pendidikan. Sekolah mereka merupakan sekolah pertama untuk berkumpul kembali pada hari-hari awal setelah gempa. © UNICEF Indonesia / 2017 / Cory Rogers  

Kelompok guru sekolah ini melihat bahwa tenda-tenda tersebut merupakan kunci untuk membantu memulihkan anak-anak, sehingga mereka mencoba untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan dan permainan-permainan dengan bantuan LSM setempat. Pada suatu sore yang mengesankan, para relawan datang untuk mengajar lagu kepada anak-anak tentang menyelamatkan diri dari gempa, sebuah lagu yang kini mereka hafal.

"Ini desa saya, dan ini anak-anak saya," kata Ibu Wardiah, yang telah mengajar di sekolah tersebut selama lebih dari 30 tahun. "Kami tidak tahu apakah sekolah-sekolah lain juga seperti ini, tetapi kami tahu bahwa sekolah kami seperti ini," katanya dengan bangga.

Baru pada tanggal 2 Januari para guru mulai menggunakan kurikulum resmi, "karena pada akhirnya, membaca, menghitung dan menulis merupakan hal-hal sangat penting yang harus kami ajarkan kepada anak-anak kami," jelas Ibu Wardiah.

Di lokasi-lokasi dimana sekolah mengalami kerusakan dan belum diperbaiki, bangunan-bangunan semi permanen seperti bangunan ini di SDN Peulandok Tunong sedang dibangun oleh kontraktor pemerintah untuk mengganti tenda. Ruang kelas yang bersifat sementara ini akan memungkinkan anak-anak untuk belajar dalam lingkungan yang lebih aman dan nyaman sementara mereka menunggu pembangunan fasilitas permanen mereka © UNICEF Indonesia / 2017 / Cory Rogers.

Menurut Kepala Dinas Dinas Pendidikan Pidie Jaya, Pak Saiful, sekolah-sekolah lain telah berupaya untuk meniru keberhasilan SDN Peulandok Tunong dalam kehadiran siswa, sebagian karena orang tua masih khawatir tentang keselamatan. Hal ini tidak mereka lupakan. Beliau mengatakan bahwa sekolah mengalami beberapa kerusakan paling parah.


"Kami harus memastikan bahwa sekolah-sekolah baru tahan gempa," katanya. Ia menyalahkan desain dan konstruksi yang buruk. "Hal seperti ini tidak boleh terjadi lagi."


Konstruksi yang buruk mengakibatkan kerusakan seperti ini di SDN Peulandok Tunong, terlihat di sini hanya beberapa hari setelah gempa. © UNICEF Indonesia / 2017 / Yusra Tebe  

Menurut Programme Assistant UNICEF Indonesia, Said Ikram, "Di Aceh, mereka masih beruntung karena gempa besar terjadi sebelum anak-anak tiba di sekolah dan setelah mereka pulang. Gempa ini telah membuka mata orang-orang di Pidie Jaya untuk membangun sekolah-sekolah yang lebih aman."

Dengan bantuan UNICEF, pihak yang berwenang masih menentukan berapa banyak sekolah yang harus dibangun kembali. Sementara itu, pemberian tenda dan pembangunan raung kelas semi permanen akan tetap menjadi prioritas utama Pak Saiful.

"Kami masih memerlukan 37 tenda [pada tanggal 3 Januari]," katanya. "Fokus saya bulan ini adalah mengupayakan sebanyak mungkin siswa untuk kembali ke sekolah sehingga mereka tidak ketinggalan ujian nasional," katanya. Ujian tersebut, yang dijadwalkan pada musim semi, akan menentukan apakah siswa dapat naik ke kelas berikutnya.

Terlepas dari pentingnya ujian tersebut, guru-guru di MIN Pangwa mengatakan bahwa sangat penting untuk mengupayakan para siswa kembali pada keadaan normal dengan langkah mereka sendiri.

"Misalnya, kami biasanya mengijinkan siswa pulang pukul 12 siang, tetapi hari ini mari kita lihat apa yang terjadi," kata salah satu guru yang tidak mau disebutkan namanya. "Banyak anak masih mengalami trauma, sehingga sangat penting bagi kami untuk tidak memaksa mereka. Kami tetap fleksibel," tambahnya.

Sementara itu, Rajwa mengatakan bahwa ia sangat bersemangat untuk mulai belajar lagi, terlepas dari adanya kejadian yang menakutkan. Ia bercita-cita ingin menjadi seorang tentara Angkatan Darat, dan ia mengatakan bahwa sekolah akan membantunya untuk mewujudkan cita-citanya.

"Kami sudah lama berada di luar sekolah," katanya, dengan mata berkedip memandang ke tanah yang ada di depannya. "Kadang-kadang saya masih merasa takut, tetapi kedatangan ke sini membuat saya senang."   
Siswa-siswa MIN Pangwa antri untuk membeli sosis daging sapi murah pada saat istirahat siang © UNICEF Indonesia / 2017 / Cory Rogers 



Thursday 5 January 2017

Survey di Yogyakarta ungkap tantangan dan peluang dalam memastikan ketersediaan akses air bersih dan sanitasi

Menguji kualitas air di Yogyakarta © UNICEF Indonesia / 2016/ Aidan Cronin

Oleh Aidan Cronin, Chief of WASH, Mitsunori Odagiri, UNICEF WASH Officer, dan Bheta Aryad, Social Policy Specialist, UNICEF Indonesia

Pemerintah Indonesia telah mengambil peran sebagai pemimpin implementasi Agenda 2030 dan Tujuan-Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) baik di kawasan Asia Tenggara maupun di tingkat dunia. Komitmen ini tercermin antara lain dari upaya pemerintah menyelaraskan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dengan tujuan 6 SDG, yaitu menjamin ketersediaan air bersih dan sanitasi layak untuk semua pada tahun 2030. RPJMN 2015-2019 bahkan melangkah lebih ambisius dengan mencanangkan target untuk memastikan 100 persen penduduk Indonesia punya akses terhadap air minum yang aman pada akhir 2019.
Komitmen untuk menciptakan kemajuan sudah tidak diragukan lagi. Namun kurangnya data masih menjadi hambatan.

Untuk mengatasinya, Badan Pusat Statistik (BPS) bersama dengan Kementerian Kesehatan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) menyelenggarakan Survei Kualitas Air di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada September tahun lalu bersamaan dengan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Itulah kali pertama kedua survei diintegrasikan.

Survei Kualitas Air di Yogyakarta hendak mendapatkan gambaran terperinci mengenai mutu air, sanitasi, dan kebersihan di tingkat rumah tangga serta menyediakan estimasi awal (baseline) mengenai kondisi kemajuan Indonesia terhadap target air dan sanitasi SDG yang ingin dicapainya. Selain itu, survei juga bertujuan mengumpulkan data mengenai mutu air minum untuk Pemerintah D.I. Yogyakarta dan pemangku kepentingan terkait.

Untuk survei ini, tim BPS Yogyakarta mendatangi hampir 1.000 rumah tangga. Sementara itu, analisis data air dilaksanakan oleh Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Kementerian Kesehatan dengan fokus mendeteksi kontaminasi kotoran yang mengandung bakteri E.coli.

Berdasarkan hasil analisis, ditemukan bahwa 89 persen sampel sumber air sudah terkontaminasi E. Coli. Padahal, akses pada “sumber air yang aman” sudah cukup tinggi. Temuan ini menyiratkan bahwa sumber air minum aman pun masih sangat berisiko terkontaminasi.

Sekitar 67,1 persen sampel air minum rumah tangga, yaitu air siap minum, juga ditemukan terkontaminasi E.coli. Merebus air dapat menurunkan tingkat kontaminasi, namun tidak berarti dapat sama sekali menghilangkan sisa-sisa bakteri.
Hasil ini jelas sangat meresahkan. Telah diketahui bahwa tingginya kontaminasi kotoran baik pada sumber air maupun pada air siap minum rumah tangga berkorelasi dengan kemiskinan, kondisi perdesaan, dan tingkat pendidikan yang rendah. Hal ini menegaskan bahwa intervensi yang menyasar kelompok paling rentan sangat dibutuhkan. Angka proporsi rumah tangga dengan akses pada air minum aman dan dengan sarana sanitasi layak sesuai definisi SDGs masing-masing diperkirakan sebesar 8,5 persen dan 45,5 persen.

Dalam proses pengambilan data, tim survei dituntut untuk dapat melakukan tugas tambahan, termasuk melengkapi kuesioner kualitas air serta mengambil sampel dari sumber air dan dari air siap minum rumah tangga. Mereka pun harus mengantarkan sampel ke laboratorium dalam kurun 4 hingga 6 jam. Semua upaya ini turut menjadikan Indonesia sebagai salah satu dari sedikit negara yang berkomitmen menetapkan pengetahuan dasar mengenai keamanan air di negaranya. Atas inisiatif ini, Pemerintah layak mendapat apresiasi tinggi.

Diluncurkan oleh Menteri BAPPENAS Bambang Brodjonegoro, Kepala BPS Kecuk Suhariyanto, dan Perwakilan UNICEF Gunilla Olsson, laporan survei merekomendasikan agar survei serupa dilaksanakan di provinsi lain dan menyarankan agar pemerintah daerah menyelenggarakan uji mutu air secara teratur. Laporan juga menyatakan pentingnya pemerintah pusat dan daerah berkoordinasi lebih baik agar dapat meraih peluang untuk mencapai kemajuan-kemajuan yang sudah ditetapkan. 

UNICEF merasa bangga dapat turut menyediakan dukungan teknis untuk upaya yang luar biasa penting ini karena air aman adalah penyumbang utama kesehatan masyarakat, khususnya anak-anak.

Kita tahu bahwa lebih dari 40 persen kematian balita, misalnya, disebabkan oleh dua hal utama: diare dan pneumonia. Kita juga tahu bahwa air, sanitasi, dan kebersihan—terutama kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan sesudah menggunakan toilet—dapat secara drastis menurunkan angka ini. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa peningkatan mutu air dapat menurunkan angka kejadian diare sampai dengan 30 persen.

Selain itu, telah diketahui bahwa air, sanitasi, dan kebersihan punya peran besar dalam mengurangi angka gizi buruk. Indonesia sendiri masih menghadapi kasus anak bertubuh pendek (stunting) yang serius, dengan angka balita stunting atau dengan tinggi badan tidak sesuai untuk usianya mencapai 37 persen. Dua hal ini dapat menghambat perkembangan kecerdasan dan produktivitas mereka kelak. Studi UNICEF baru-baru ini menunjukkan bahwa anak dari keluarga yang minim akses pada air minum aman dan sarana sanitasi layak memiliki risiko stunting yang lebih tinggi.

“Dalam periode MDG (2000-2015), Indonesia berhasil menurunkan angka proporsi penduduk yang kekurangan akses pada sumber air aman sampai lebih dari setengahnya. Pencapaian ini luar biasa. Kini, Tujuan-Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) mengubah fokus dari sumber menjadi keamanan air. Pergeseran ini membuka peluang baru untuk melangkah maju mengingat pencapaian tujuan SDG dianggap berhasil hanya jika telah menjangkau semua orang di semua tempat.”


Survei kualitas air membuktikan bahwa kita tahu cara untuk terus merintis langkah ke depan walau mungkin ada perjalanan panjang yang menanti.