Oleh: Kinanti Pinta Karana
Kuala Cangkoy, Provinsi Aceh - Hamparan lapangan yang ditumbuhi rumput kering menyambut saya di pelabuhan ikan di Kuala Cangkoy, dimana 576 orang pengungsi Rohingya Myanmar ditampung untuk sementara setelah diselamatkan dari sebuah kapal yang juga membawa kelompok migran dari Bangladesh di perairan Aceh pada 10 Mei. Selain tenda dan beberapa bangunan berukuran sedang, sekelompok sapi tampak sedang merumput dan beberapa di antaranya mengais tumpukan sampah berusaha mencari sesuatu untuk dimakan.
Saya menuju sebuah pendopo yang dialihfungsikan menjadi ruang tidur untuk pengungsi pria, saya harus berjalan dengan hati-hati agar tidak menginjak kotoran sapi. Pendopo itu sepi karena para penghuninya sedang mempersiapkan ibadah shalat Jumat. Lalu saya mendengar suara tawa anak-anak. Saya berputar dan melihat seorang anak perempuan sedang meletakkan biskuit di wajah anak lelaki yang tertidur di sampingnya.
Anak perempuan itu bernama Safira (nama-nama dalam cerita ini telah diubah). Dia berumur delapan tahun dan berada jauh dari kehidupan yang selayaknya ia miliki. Anak lelaki itu adalah kakaknya, Ali. Usianya 10 tahun.
Safira dan Ali berasal dari Rakhine, negara bagian di Myanmar yang masih dilanda kemiskinan dan tertinggal dalam pembangunan. Rakhine juga sarat dengan kekerasan interkomunal. Kekerasan yang menewaskan ibu kandung mereka tiga tahun silam. Kematian sang ibu menandai babak baru dalam hidup mereka karena hanya ialah orang tua yang tersisa bagi Safira dan Ali. Mereka kemudian dirawat oleh seorang kerabat - karena ayah mereka berada di Malaysia.
Demi bisa berkumpul lagi dengan anak-anaknya, sang ayah pun mengatur agar Safira dan Ali bisa naik kapal menuju Malaysia. Perjalanan itu kemudian menjadi pengalaman laksana neraka di laut bagi dua bersaudara itu.
"Kakak saya menjaga saya di kapal dan dia lelah. Kamu lihat, dia sekarang tidur karena dia masih lelah," kata Safira sambil menggigit biskuitnya dan menawari saya sebagian.
Untuk membalas kebaikannya, saya merobek sehelai kertas dari buku catatan untuk membuatkannya sebuah pesawat kertas.
"Bisakah kamu menggambar sebuah boneka untuk saya?" Safira bertanya, menunjuk pena di buku catatan saya.
"Saya punya boneka di rumah, namanya Fua," tuturnya saat jemarinya menyusuri gambar abstrak yang merupakan karya seni gagal saya.
Kemudian ia mengangkat kepalanya dan menatap saya sambil tersenyum.
"Ayah akan membelikan saya boneka baru ketika saya bertemu dengannya di Malaysia," katanya.
Namun bagi Safira pertanyaannya bukan kapan ia bertemu sang ayah, tapi jika ia bisa bertemu lagi.
Bagi Badan Pengungsi PBB UNHCR yang memimpin respon bagi krisis manusia perahu ASEAN sebagaimana bagi UNICEF, pelacakan keluarga adalah prioritas dalam upaya memberikan bantuan bagi anak-anak yang terpisah dari orang tuanya seperti Safira dan Ali. Anak-anak ini berisiko menjadi korban perdagangan manusia, kekerasan dan eksploitasi.
Safira dan Ali adalah dua dari 345 anak yang tiba di pesisir Aceh dan Sumatera Utara tanpa didampingi oleh atau terpisah dari orang tua mereka. Menurut data terkini dari UNHCR, sebanyak 1791 pengungsi dan migran dari Myanmar dan Bangladesh kini ditampung di Aceh dan Sumatera Utara.
Semua anak yang mengungsi dari Myanmar dan Bangladesh, bersama maupun tanpa orangtua, menghadapi berbagai risiko kekerasan, eksploitasi, dan kesehatan. Mereka berhak atas pertolongan dan perlindungan mendesak. UNICEF menekankan bahwa menurut Konvensi Hak Anak (KHA), yang telah diratifikasi semua negara Asia Tenggara, tindakan apapun yang berdampak terhadap anak harus dilakukan dengan mengutamakan kesejahteraan anak-anak tersebut, dari manapun mereka berasal. KHA mengharuskan semua pemerintah untuk memastikan bahwa semua anak mendapatkan tempat perlindungan, akses terhadap layanan pendidikan, kesehatan, sosial dan hukum, apapun status mereka di negara tersebut.
UNICEF memberikan perangkat rekreasi untuk membantu anak-anak yang terpisah atau tanpa pendampingan orang tua yang kini berada di Aceh mengatasi trauma yang mereka hadapi selama beberapa pekan atau bulan terakhir.
Waktu makan siang sudah hampir tiba dan saya tidak ingin menghalangi Safira dari makan siangnya. Saat saya bersiap untuk pergi, gadis kecil itu menatap saya dan bertanya, "Apakah kamu bisa membuat pesawat terbang? Ali suka pesawat terbang, ia ingin bisa menerbangkannya suatu hari nanti."
Saya pun melipat kertas dan mengatakan kepada diri saya bahwa bagi seorang anak lelaki yang dengan berani menjaga adik perempuannya dalam perjalanan penuh bahaya di laut, tidak ada mimpi yang tidak mungkin.