Annual Report

Thursday, 25 February 2016

VOY Inspire! dengan Dissa Syakina Ahdanisa: Pendiri Deaf Café Fingertalk


Foto: Dissa Syakina Ahdanisa

Saya bertemu Dissa beberapa minggu yang lalu di sebuah acara karir yang diselenggarakan oleh universitas saya di Jepang, Ritsumeikan Asia Pacific University (APU). Dia adalah alumni APU yang diundang untuk berbicara di acara tersebut. Saat ini Dissa bekerja sebagai equity analyst di Credit Suisse Singapore, serta pemilik DeafCafé Fingertalk, kafe pertama di Indonesia di mana semua karyawan tunarungu.

Meskipun usianya baru 25 tahun, dia telah memiliki banyak pengalaman sebagai relawan di berbagai negara. Dia datang ke Jepang pada usia 16 tahun untuk belajar di APU, di mana ia terlibat dalam banyak kegiatan sukarela dan penggalangan dana. Dissa juga pernah bekerja untuk hoshiZora yang merupakan LSM berbasis siswa, dan juga sebuah LSM yang dibentuk orangtuanya yaitu As Sakinah Foundation. Kedua LSM tersebut menyediakan bantuan pendidikan bagi anak-anak kurang mampu di Indonesia.

Sembari mengejar gelar S-2 di University of New South Wales, dia pergi ke India selama tiga minggu dan bekerja untuk anak-anak Dalit, kasta terendah yang mengalami diskriminasi sejak abad kesembilan belas. Tempat terjauh yang pernah ia kunjungi adalah Granada, Nikaragua, di mana ia bekerja sukarela sebagai asisten guru bahasa Inggris di pagi hari dan sebagai akuntan untuk sebuah LSM di malam hari.

Keinginannya untuk menjadi relawan didorong oleh keyakinannya bahwa "menyumbangkan hal-hal yang mungkin menurut Anda adalah kecil, misalnya waktu Anda, bisa memiliki dampak besar dalam kehidupan orang lain".

Saya sangat terinspirasi oleh kata-kata Dissa dan memutuskan untuk mewawancarainya untuk mempelajari lebih lanjut tentang Fingertalk.

1. Apa yang mengilhami kamu untuk membuka Deaf Café Fingertalk di Indonesia?

Selama menjadi relawan di Nikaragua saya mengunjungi sebuah café yang sangat unik bernama "Café de Las Sonrisas", yang merupakan kafe pertama di Amerika Latin di mana semua karyawannya tunarungu. Mereka juga memiliki lokakarya untuk membuat tempat tidur gantung, di mana hasil penjualan diberikan kepada para pekerja café tersebut.

Café ini mendorong saya untuk membuka Fingertalk di Indonesia, karena saya tahu betapa sulitnya bagi kaum difabel untuk mencari pekerjaan di Indonesia. Persaingan ini amat sengit, terutama bagi tunarungu karena mereka harus bersaing dengan orang-orang yang bisa mendengar, dan peluang kerja untuk mereka sangat terbatas. Kami berharap bahwa konsep kafe dan lokakarya Fingertalk juga bisa menyatukan orang-orang tanpa memandang kemampuan mereka.

2. Tantangan apa yang kamu hadapi dalam memulai Fingertalk?

Salah satu tantangan terbesar adalah menjadi bagian dari komunitas tunarungu dan menemukan orang-orang yang ingin bekerja. Mencari seorang tunarungu yang ingin bekerja di kafe dan berinteraksi dengan pelanggan sepanjang hari tidaklah mudah. Beberapa bagian dari masyarakat Indonesia masih memandang rendah kaum difabel, sehingga mempengaruhi kepercayaan dan harga diri banyak teman tunarungu yang saya kenal.

Untuk mengatasi masalah ini saya tahu bahwa saya harus menguasai bahasa isyarat, agar dapat berkomunikasi dengan mereka. Saya ingin teman-teman tunarungu saya merasa nyaman, sehingga saya bisa mengajak mereka untuk bekerja dengan kami di Fingertalk. Jadi saya memutuskan untuk belajar bahasa isyarat, bahkan sampai hari ini.

3. Apa saja jenis dampak Fingertalk sejauh ini?

Kami sangat senang untuk mengatakan bahwa Fingertalk mampu menyatukan orang tanpa memandang kemampuan pendengaran mereka. Sebagai kafe tunarungu pertama di Indonesia, Fingertalk menjadi tempat untuk bertemu dan berteman dengan kaum tunarungu. Banyak dari mereka yang datang ke Fingertalk untuk belajar tentang bahasa isyarat dan berinteraksi dengan karyawan-karyawan kami.

Fingertalk juga merupakan platform untuk menyebarkan kesadaran tentang ketunarunguan dan budayanya. Kami ingin menghapus stigma negatif yang mengelilingi kaum difabel, khususnya tunarungu. Kami membuka kelas bahasa isyarat dan menerima siapa pun yang ingin belajar. Sekarang kami memiliki dua atau tiga kelas seminggu untuk pelanggan yang ingin belajar bahasa isyarat langsung dari karyawan kami.

4. Kamu sempat berbicara tentang pertemuanmu dengan resepsionis tunarungu  pertama di Gedung Putih. Bagaimanakah kejadiannya?

Salah satu prestasi terbesar Fingertalk sejauh ini adalah ketika menjadi tuan rumah kunjungan Program Kepemimpinan Pemuda Tunarungu AS-Indo. Dua puluh pemuda tunarungu inspiratif dari AS dan Indonesia tergabung dalam program ini, dan mereka mengunjungi Fingertalk.

Kami mengundang komunitas tunarungu setempat untuk menghadiri sesi berbagi dengan delegasi tersebut. Ms. Leah Katz-Hernandez, resepsionis tunarungu pertama Gedung Putih, adalah salah satu peserta. Dia bekerja dengan Presiden Obama di Gedung Putih dan pastinya salah satu orang paling inspiratif yang pernah kami temui. Kunjungan mereka ke Fingertalk adalah momen yang tak terlupakan bagi kami, para karyawan dan juga komunitas tunarungu.

5. Apa saran kamu untuk pemuda yang ingin membuat perubahan sosial?

Mulailah sekarang dan lakukan perlahan-lahan. Kadang-kadang sebagai orang muda, kita ingin membuat sesuatu yang besar, kita ingin mengubah dunia... dalam waktu semalam. Bukannya tidak mungkin, tetapi akan lebih efektif dan tahan lama jika kita melakukannya langkah demi langkah, komunitas demi komunitas.


Perjalanan itu tidaklah akan mudah, tetapi jika kamu memiliki sikap positif, haus pengetahuan dan memberikan upaya terbaikmu, kamu bisa mengatasi semua tantangan dan bahkan mencapai lebih dari apa yang kamu harapkan. Hidup ini bukan gladi resik dan kita tidak akan mendapatkan kesempatan kedua untuk melakukan yang terbaik, jadi mulailah sekarang.


Fingertalk di Twitter: @dcfingertalk, Instagram: @dcfingertalk

Baca artikel originalnya di sini.