Saya bertemu Dissa beberapa minggu yang lalu di sebuah acara
karir yang diselenggarakan oleh universitas saya di Jepang, Ritsumeikan Asia
Pacific University (APU). Dia adalah alumni APU yang diundang untuk berbicara
di acara tersebut. Saat ini Dissa bekerja sebagai equity analyst di Credit
Suisse Singapore, serta pemilik DeafCafé Fingertalk, kafe pertama di Indonesia di mana semua karyawan tunarungu.
Meskipun usianya baru 25 tahun, dia telah memiliki banyak
pengalaman sebagai relawan di berbagai negara. Dia datang ke Jepang pada usia
16 tahun untuk belajar di APU, di mana ia terlibat dalam banyak kegiatan
sukarela dan penggalangan dana. Dissa juga pernah bekerja untuk hoshiZora yang merupakan LSM berbasis
siswa, dan juga sebuah LSM yang dibentuk orangtuanya yaitu As Sakinah Foundation. Kedua LSM tersebut menyediakan bantuan
pendidikan bagi anak-anak kurang mampu di Indonesia.
Sembari mengejar gelar S-2 di University of New South Wales, dia pergi ke India selama tiga
minggu dan bekerja untuk anak-anak Dalit,
kasta terendah yang mengalami diskriminasi sejak abad kesembilan belas. Tempat
terjauh yang pernah ia kunjungi adalah Granada, Nikaragua, di mana ia bekerja
sukarela sebagai asisten guru bahasa Inggris di pagi hari dan sebagai akuntan
untuk sebuah LSM di malam hari.
Keinginannya untuk menjadi relawan didorong oleh
keyakinannya bahwa "menyumbangkan hal-hal yang mungkin menurut Anda adalah
kecil, misalnya waktu Anda, bisa memiliki dampak besar dalam kehidupan orang
lain".
Saya sangat terinspirasi oleh kata-kata Dissa dan memutuskan
untuk mewawancarainya untuk mempelajari lebih lanjut tentang Fingertalk.
1. Apa yang mengilhami kamu untuk membuka Deaf Café
Fingertalk di Indonesia?
Selama menjadi relawan di Nikaragua saya mengunjungi sebuah
café yang sangat unik bernama "Café de Las Sonrisas", yang merupakan
kafe pertama di Amerika Latin di mana semua karyawannya tunarungu. Mereka juga
memiliki lokakarya untuk membuat tempat tidur gantung, di mana hasil penjualan diberikan
kepada para pekerja café tersebut.
Café ini mendorong saya untuk membuka Fingertalk di
Indonesia, karena saya tahu betapa sulitnya bagi kaum difabel untuk mencari
pekerjaan di Indonesia. Persaingan ini amat sengit, terutama bagi tunarungu
karena mereka harus bersaing dengan orang-orang yang bisa mendengar, dan
peluang kerja untuk mereka sangat terbatas. Kami berharap bahwa konsep kafe dan
lokakarya Fingertalk juga bisa menyatukan orang-orang tanpa memandang kemampuan
mereka.
2. Tantangan apa yang kamu hadapi dalam memulai Fingertalk?
Salah satu tantangan terbesar adalah menjadi bagian dari
komunitas tunarungu dan menemukan orang-orang yang ingin bekerja. Mencari seorang
tunarungu yang ingin bekerja di kafe dan berinteraksi dengan pelanggan
sepanjang hari tidaklah mudah. Beberapa bagian dari masyarakat Indonesia masih
memandang rendah kaum difabel, sehingga mempengaruhi kepercayaan dan harga diri
banyak teman tunarungu yang saya kenal.
Untuk mengatasi masalah ini saya tahu bahwa saya harus
menguasai bahasa isyarat, agar dapat berkomunikasi dengan mereka. Saya ingin
teman-teman tunarungu saya merasa nyaman, sehingga saya bisa mengajak mereka
untuk bekerja dengan kami di Fingertalk. Jadi saya memutuskan untuk belajar
bahasa isyarat, bahkan sampai hari ini.
3. Apa saja jenis dampak Fingertalk sejauh ini?
Kami sangat senang untuk mengatakan bahwa Fingertalk mampu
menyatukan orang tanpa memandang kemampuan pendengaran mereka. Sebagai kafe
tunarungu pertama di Indonesia, Fingertalk menjadi tempat untuk bertemu dan
berteman dengan kaum tunarungu. Banyak dari mereka yang datang ke Fingertalk
untuk belajar tentang bahasa isyarat dan berinteraksi dengan karyawan-karyawan
kami.
Fingertalk juga merupakan platform untuk menyebarkan
kesadaran tentang ketunarunguan dan budayanya. Kami ingin menghapus stigma
negatif yang mengelilingi kaum difabel, khususnya tunarungu. Kami membuka kelas
bahasa isyarat dan menerima siapa pun yang ingin belajar. Sekarang kami
memiliki dua atau tiga kelas seminggu untuk pelanggan yang ingin belajar bahasa
isyarat langsung dari karyawan kami.
4. Kamu sempat berbicara tentang pertemuanmu dengan
resepsionis tunarungu pertama di Gedung
Putih. Bagaimanakah kejadiannya?
Salah satu prestasi terbesar Fingertalk sejauh ini adalah ketika
menjadi tuan rumah kunjungan Program Kepemimpinan Pemuda Tunarungu AS-Indo. Dua
puluh pemuda tunarungu inspiratif dari AS dan Indonesia tergabung dalam program
ini, dan mereka mengunjungi Fingertalk.
Kami mengundang komunitas tunarungu setempat untuk menghadiri
sesi berbagi dengan delegasi tersebut. Ms. Leah Katz-Hernandez, resepsionis tunarungu pertama Gedung Putih, adalah salah satu peserta. Dia bekerja dengan Presiden
Obama di Gedung Putih dan pastinya salah satu orang paling inspiratif yang pernah
kami temui. Kunjungan mereka ke Fingertalk adalah momen yang tak terlupakan
bagi kami, para karyawan dan juga komunitas tunarungu.
5. Apa saran kamu untuk pemuda yang ingin membuat perubahan
sosial?
Mulailah sekarang dan lakukan perlahan-lahan. Kadang-kadang
sebagai orang muda, kita ingin membuat sesuatu yang besar, kita ingin mengubah
dunia... dalam waktu semalam. Bukannya tidak mungkin, tetapi akan lebih efektif
dan tahan lama jika kita melakukannya langkah demi langkah, komunitas demi
komunitas.
Perjalanan itu tidaklah akan mudah, tetapi jika kamu
memiliki sikap positif, haus pengetahuan dan memberikan upaya terbaikmu, kamu
bisa mengatasi semua tantangan dan bahkan mencapai lebih dari apa yang kamu
harapkan. Hidup ini bukan gladi resik dan kita tidak akan mendapatkan
kesempatan kedua untuk melakukan yang terbaik, jadi mulailah sekarang.
Fingertalk di Twitter: @dcfingertalk, Instagram: @dcfingertalk
Baca artikel originalnya di sini.
Fingertalk di Twitter: @dcfingertalk, Instagram: @dcfingertalk
Baca artikel originalnya di sini.