Annual Report

Tuesday 24 April 2018

Cerita dari Bone

Oleh: Vyona, Fundrasider UNICEF Indonesia

Program Kembali ke Sekolah merupakan salah satu program UNICEF, yang berupaya mengembalikan kembali hak anak-anak yang putus sekolah di pedalaman. Mulai dari faktor ekonomi, maupun dari faktor pernikahan dini dan lain sebagainya.

Pada kesempatan ini, saya Vyona, salah satu Fundraiser UNICEF akan berbagi cerita tentang kunjungan lapangan bersama rekan-rekan kerja saya.

Kunjungan lapangan yang saya jalankan ke Bone, Sulawesi Selatan bersama 3 rekan fundraiser Saya (Intan Kamalia, Geraldy Candrawan, Niken Tamsil) terlaksana mulai tanggal 18 April 2018 sampai dengan 20 April 2018.

Hari Pertama
Terhitung mulai pukul 04:00 WIB, Saya bersama rekan memulai perjalanan kami dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta ke Bandara Sultan Hassanudin, Makassar. Sekitar kurang lebih 2 jam, Saya bersama tim pun sampai di Makassar dengan selamat. Namun, perjalanan yang harus kami tempuh ternyata masih cukup panjang, sesampainya di Makassar, kami harus menempuh 6 jam perjalanan dengan mobil dan melalui jalan yang penuh liku, gunung-gunung, jalan yang cukup sempit yang bahkan masih diapit oleh hutan alami dengan habitat alaminya. 


Kami dijadwalkan untuk bertemu BAPEDA Makassar untuk membicarakan seluruh kegiatan yang akan kami lakukan selama kami Field Trip. Sesampainya di tempat pertemuan, kami pun langsung disambut hangat oleh Bapak Drs. H. Abubakar Dahlan., MM, beliau adalah kepala dari BAPEDA Makassar. Kami pun mengobrol dan membahas tentang kegiatan kami selama disana sambil menyantap suguhan ala Bone yang makyus tenanDi tengah-tengah percakapan kami, Saya sangat tersentuh dengan suatu kalimat dari Bapak Abubakar yang membuat saya lebih semangat untuk terus bersosialisasi tentang program UNICEF yaitu, "Bagi kami, UNICEF adalah pahlawan kami. Kami sangat bersyukur dengan keberadaan UNICEF yang terus mendukung kami dan memberi inovasi baru kepada kami yang mebuat kami pun dapat terus berkembang seperti sekarang."

Kalimat ini sangat memotivasi saya untuk terus membantu dan mendukung program dari UNICEF. Benar adanya, bahwa bantuan dari para Pendekar Anak UNICEF yang mau berbagi sedikit rezekinya untuk anak-anak UNICEF sangat membantu adanya perubahan yang terjadi di setiap kehidupan anak-anak di daerah-daerah yang membutuhkan uluran tangan di Indonesia.


Bersama tim dari Bapeda Makassar. ©Raditya/UNICEF Indonesia/2018

Hari Kedua

Hari dimana jadwal kegiatan kami cukup padat karena banyaknya sekolah yang perlu kami datangi dalam jarak yang berbeda-beda pada waktu yang cukup sempit karena sekolah di Kabupaten Bone hanya sampai pukul 13:00 WITA. Kami memulai perjalanan kami ke sekolah pertama sekitar pukul 08:00 WITA. Sekolah pertama yang kami datangi adalah SD INPRESS 12/79 di dusun Cina, kecamatan Abbumpungeng.

Pada sekolah yang terdiri dari total murid 116 siswa ini sayangnya masih terdapat 4 orang anak yang putus sekolah, karena faktor orang tua maupun perekonomian. Beruntung 2 dari 4 murid yang putus sekolah ini pun kembali lagi untuk bersekolah sejak pihak UNICEF membantu anak tersebut. Mereka yang terputus sekolah karena ekonomi pun bisa dapat pendidikan yang sama seperti kita di Jakarta.

Selanjutnya, kami pergi ke SDN Cinennung, Cina, Bone. Sekolah ini adalah sekolah dari kelas 1-6 SD. Sama seperti sebelumnya, ada 2 orang anak yang putus sekolah pada sekolah ini yang sudah dikembalikan kembali ke sekolah. Anak-anak tersebut adalah Alam Susilo dan Didin Ariyadi. Alam yang 10 tahun sayangnya baru mencapai kelas 1 SD karena keterbatasan biaya yang ia alami.

Selain itu kami juga pergi ke SMPN 3 Ulaweng, yang berdiri sejak 2007 ini terdapat pada daerah yang cukup jauh melewati pepohonan. Beberapa anak pun ada yang harus berjalan sejauh 10 km. Ini pun salah satu alasan mengapa adanya anak yang putus sekolah.

Kami mengakhiri perjalanan kami di hari ke-2 Field Trip pun dengan perasaan senang karena baru bertemu dengan anak-anak yang sudah dibantu oleh UNICEF.
Bersama anak-anak dari SMPN 3 Ulaweng. ©Raditya/UNICEF Indonesia/2018

Hari Terakhir
Di hari terakhir kami pergi ke Desa Inklusi, desa khusus orang-orang disabilitas. Saya bertemu dengan gadis kecil bernama Fatiha Ramadhani.

Fatiha adalah seorang anak yang sangat berjiwa mulia meskipun keterbatasannya dalam mental. Setiap harinya ia rela menghabisakan waktu-waktunya untuk bermain dengan memasang kancing pada keluarga. Satu celana yang dipasang hanya dihargai 100 rupiah, which means, sehari ia hanya dapat Rp 10.000,- hanya untuk membantu orang tuanya. Fatiha pun punya cita-cita yang tinggi menjadi seorang pengusaha.

Setelah itu kami pun meninggalkan rumah Fatiha dengan berat, karena tiba saatnya kami pulang ke Jakarta. Meskipun begitu, Saya sendiri senang karena akhirnya bisa berkesempatan untuk ikut kunjungan lapangan yang sangat membuka mata saya, bahwa memang kita yang di kota merupakan orang-orang yang beruntung untuk dapat memiliki ekonomi stabil dan akses kemana pun yang lebih gampang. Jika bukan kita yang membantu mereka, siapa lagi?