By: Astrid Gonzaga Dionisio, Child Protection Specialist
Mamuju, Indonesia,
Oktober 2014 – Hari itu adalah hari yang cerah di Mamuju. Dari jendela
kamar hotel saya, terlihat Pulau Karampuang di Sulawesi Selatan, tujuan kami
pada hari itu. Bagi penduduk Pulau Karampuang ini adalah hari yang istimewa: 84
pasangan, baik tua dan muda, serta lebih dari 200 anak akan mendapatkan
pendaftaran resmi pernikahan dan kelahiran.
Total populasi di Karampuang adalah sekitar 3.300 orang,
lebih dari 50 persen berusia di bawah 18 tahun. Banyak dari mereka yang tidak
memiliki akta kelahiran karena orang tua mereka tidak menikah secara resmi[1].
Sebagian besar pernikahan di pulau ini hanya dilakukan secara agama, namun
tidak terdaftarkan.
Perjalanan kami menuju Karampuang dimulai dari pelabuhan
Mamuju pada pukul 8 pagi. Perjalanan 20 menit ke tepi pantai Karampuang
ditempuh dengan menggunakan perahu motor. Di atas perahu, kami ditemani oleh
Asisten Bupati Mamuju, Kepala Pengadilan Agama dan delapan hakim lainnya,
Kepala Dinas Pendidikan, tim dari Kantor Urusan Agama, serta dari Kantor
Catatan Sipil.
Dari pantai, kami sudah bisa melihat kegembiraan orang-orang
meskipun matahari sangat terik. Sebagian besar pasangan telah mengenakan
pakaian terbaik mereka. Saya terkesan dengan seorang nenek, usia 70 tahun
lebih, yang sedang memegang dokumen untuk mendaftarkan pernikahannya.
"Kalau pernikahan saya disahkan berarti identitas hukum anak-anak dan
cucu-cucu saya terjamin," jelasnya dengan bangga.
Jarak ke daratan Mamuju adalah alasan utama warga mengapa
pernikahan dan kelahiran anak-anak mereka tidak terdaftar. Perjalanan ke kota
tersebut memakan biaya sekitar Rp 20.000, dan biaya ini terlalu berat untuk
sebagian besar warga.
Namun pada hari itu, para warga bisa mendaftarkan pernikahan
dan kelahiran anak-anak mereka secara langsung. Empat meja didirikan di pos warga:
1) meja Pengadilan Agama untuk peresmian
pernikahan; 2) meja Kantor Urusan Agama untuk penerbitan surat nikah; 3) meja Badan
Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT[2])
untuk verifikasi dokumen pencatatan kelahiran; dan 4) meja Kantor Catatan Sipil
untuk penerbitan akta kelahiran.
Sembilan hakim, termasuk Ketua Pengadilan Agama, menjalankan
proses secara bersamaan. Untuk setiap pasangan, butuh waktu sekitar 15 sampai
20 menit tergantung kesiapan para saksi, karena orang yang sama bisa menjadi
saksi untuk tiga atau lebih pasangan. Dalam kasus seperti ini, beberapa
pasangan harus menunggu saksi mereka. Begitu pernikahan diresmikan dan
disahkan, dokumen mereka langsung didaftarkan oleh Kantor Urusan Agama agar
bisa diberikan sertifikat pernikahan, dan akhirnya ke BPPT dan meja Catatan
Sipil untuk menerima akte kelahiran anak-anak mereka.
Sembilan hakim menjalankan proses pendaftaran secara bersamaan. © UNICEF Indonesia/2014/Astrid Dionisio |
Ibu Rosita dan Bapak Rashid adalah termasuk di antara mereka
yang hadir untuk mendaftarkan pernikahan dan kelahiran putra mereka yang sudah
berusia empat tahun. Mereka menikah lebih dari lima tahun yang lalu, namun
hanya dengan upacara keagamaan tanpa registrasi formal. Akibatnya, kedua anak
mereka yang berusia empat dan satu tahun tidak punya akta kelahiran.
Setelah pendaftaran, Ibu Rosita dengan malu-malu berkata:
"Sekarang saya bisa mengaku sebagai istri sah suami saya, dan anak-anak
saya mendapatkan identitas hukum mereka." Pak Rashid menambahkan:
"Anak-anak kami sekarang akan bisa bersekolah dan kami harap mereka akan
memiliki masa depan yang lebih baik. "
Ibu Rosita dan Bapak Rasyid dengan putra mereka yang berusia 4 tahun, salah satu pasangan yang pernikahannya disahkan. © UNICEF Indonesia/2014/Astrid Dionisio |
Berkat dukungan dana dari Komite Nasional Australia, UNICEF akan
dapat bekerja sama dengan Kantor Catatan Sipil, Pengadilan Agama, Kantor Urusan
Agama, dan penyedia layanan penting lainnya untuk kesehatan dan pendidikan,
serta dengan LSM lokal seperti Yayasan Karampuang untuk memperluas model
layanan terpadu ini secara lebih lanjut agar pendaftaran kelahiran semua anak
terpenuhi di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat dan di lima provinsi lain di
seluruh Indonesia.
[1] Pasal 50
ayat 2 UU Nomor 24/2013 tentang Perubahan UU No 23/2006 tentang Administrasi
Kependudukan menetapkan seorang anak adalah sah bila pernikahan orangtua adalah
sah secara agama dan hukum.
[2] Sebelum
amandemen UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan pada bulan Desember 2013,
perolehan akta kelahiran dikenakan biaya.