Ada anggapan umum di Indonesia bahwa
kebanyakan orang Indonesia bertubuh pendek disebabkan oleh faktor keturunan.
Karena anggota keluarga dari generasi sebelumnya bertubuh pendek dan kecil,
banyak orang beranggapan bahwa perawakan tinggi seseorang adalah faktor genetik
diluar kendali kita.
Namun kajian ilmiah menemukan bahwa anggapan tersebut
seringkali tidak benar. Ibu hamil yang bertubuh pendek dan kurus akan
melahirkan bayi berukuran kecil dan kurang gizi, selanjutnya pertumbuhannya
juga lambat karena mereka tidak bisa mengkonsumsi cukup makanan bergizi atau
karena seringkali terjangkit diare atau penyakit menular lainnya. Anak ini akan
tumbuh menjadi remaja perempuan dan kemudian menjadi ibu hamil bertubuh pendek
dan kurus, menyebabkan siklus kurang gizi (malnutrisi) antar generasi terus berlanjut.
Saat ini hampir sembilan juta anak dibawah usia lima
tahun di Indonesia memiliki tinggi badan yang lebih pendek untuk umur mereka,
kondisi ini dikenal sebagai stunting.
Kebanyakan dari anak-anak ini tidak akan mampu untuk berprestasi di sekolah
karena zat gizi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan badan sama dengan zat gizi
yang diperlukan untuk pertumbuhan otak. Seribu hari pertama kehidupan yakni
dimana janin pertama kali terbentuk sampai dengan anak tersebut berusia dua
tahun adalah masa terpenting untuk pertumbuhan otak, dan segala kerusakan yang
terjadi pada masa ini kemungkinan akan menjadi permanen dan tidak dapat
diperbaiki. Ketika mereka beranjak dewasa, mereka akan memperoleh penghasilan
20 persen lebih kecil dibandingkan dengan rekan sebaya mereka yang mendapatkan
gizi baik oleh karena itu akan semakin sulit untuk mengangkat keluarga mereka
dari kemiskinan. Apabila tidak ada upaya untuk memperbaiki masalah ini, anak
dan cucu mereka akan menghadapi nasib yang serupa.
Laporan Gizi Global 2014 menempatkan Indonesia
diantara 31 negara yang tidak akan mencapai target global untuk menurunkan
angka kurang gizi di tahun 2025. Data pemerintah
menunjukkan 37% anak balita menderita stunting, 12% menderita wasting (terlalu kurus untuk tinggi
badan mereka) dan 12% mengalami kelebihan berat badan. Penduduk miskin di
Indonesia memiliki kemungkinan menderita stunting 50 persen lebih tinggi dibandingkan
dengan mereka dari golongan menengah keatas. Namun
demikian, hampir 30 persen anak Indonesia dari golongan menengah keatas juga mengalami
stunting. Kesenjangan prevalensi kekurangan
gizi antar provinsi dan kabupaten masih cukup lebar.
Angka-angka tersebut termasuk sangat tinggi bagi negara
berpenghasilan menengah. Upaya untuk menurunkan angka kurang gizi di Indonesia
sejak tahun 2007 belum menunjukkan hasil yang berarti, ini berarti jumlah anak
penderita kurang gizi terus meningkat seiring dengan bertumbuhnya jumlah
penduduk.
Kegagalan untuk menanggapi isu ini akan berdampak
besar bagi pertumbuhan ekonomi. Orang dewasa yang tumbuh dengan status kurang
gizi tidak akan mampu untuk memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan
ekonomi Indonesia karena tingkat produktivitas dan penghasilan yang lebih
rendah. Faktanya, sebuah kajian ilmiah menemukan bahwa kekurangan gizi
menyebabkan negara-negara di Afrika dan Asia kehilangan 11 persen dari pendapatan
nasional bruto mereka.[1]
Namun permasalahan ini tidak berakhir disana. Ketika
stunting dipadukan dengan pertambahan berat badan yang berlebihan ketika
dewasa, risiko obesitas, diabetes, dan penyakit kardiovaskular meningkat.
Situasi yang kerap kali disebut sebagai “beban ganda” masalah gizi adalah
situasi dimana isu kekurangan dan kelebihan gizi terjadi pada saat yang
bersamaan, realita yang semakin umum terjadi di Indonesia dimana sistem kesehatan
yang ada sekarang tidak akan mampu untuk menanggulanginya. Persentase perempuan
dewasa yang kelebihan berat badan (overweight)
dan obesitas di Indonesia berlipat ganda menjadi 33% antara tahun 2007 dan
2013, sementara diabetes dan penyakit kardiovaskular meningkat sangat pesat.
Stunting dan bentuk kekurangan gizi lainnya bukan
kondisi yang tidak dapat dicegah. Investasi untuk menanggapi masalah ini dapat memberikan hasil yang
sangat menguntungkan. Kajian ilmiah menunjukkan bahwa upaya-upaya untuk
mengurangi stunting di Indonesia akan menghasilkan 48 juta rupiah untuk setiap
investasi 1 juta rupiah.[2]
Pemerintah Indonesia serius untuk mengurangi angka
kurang gizi. Faktanya, stunting pada balita adalah salah satu dari indikator
pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk
2015-19. Pemerintah Indonesia menyadari bahwa mereka tidak dapat mencapai hasil
ini tanpa adanya upaya bersama dari seluruh pemangku kepentingan termasuk
seluruh rumah tangga dan masyarakat.
Gerakan Seribu Hari Pertama Kehidupan yang juga
dikenal dengan Scaling Up Nutrition
(SUN) Movement menyediakan kesempatan emas untuk
memanfaatkan investasi dari pemerintah, lembaga PBB, donor, organisasi
masyarakat dan sektor swasta secara lebih efektif. Hal ini telah meningkatkan
bobot politik isu masalah gizi di tingkat nasional. Sekarang semua
kabupaten/kota di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan akses bagi anak-anak,
perempuan dan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan-pelayanan penting yang
dapat mengurangi permasalahan gizi. Kemajuan dalam upaya perbaikan gizi perlu
diukur; dan pihak pemerintah daerah kabupaten/kota perlu bertanggung jawab
untuk hal ini.
Badan PBB UNICEF, World
Food Programme, World Health
Organization dan Food and Agriculture
Organization dengan bangga mendukung Gerakan SUN.
Kami bekerja bersama dengan pemerintah untuk
memastikan bahwa keluarga di Indonesia memiliki akses untuk informasi dan
konseling menyusui bagi anak mereka, untuk menyediakan vitamin dan mineral bagi
perempuan dan anak-anak, dan untuk mengatasi kurang gizi ketika upaya
pencegahan gagal. Selain itu, kami juga membantu upaya-upaya untuk mencegah dan
mengobati penyakit yang menyebabkan kurang gizi, terutama diare, malaria, dan
HIV.
Kami juga sangat prihatin dengan tingginya angka
kehamilan usia remaja – 500,000 per tahun di Indonesia – karena kehamilan di
usia remaja sangat berbahaya bagi pertumbuhan dan kesehatan ibu dan bayinya.
Namun demikian perbaikan masalah gizi membutuhkan
upaya dari banyak sektor.
Keluarga miskin kerap kali menderita kurang gizi, oleh
karena itu kita berusaha untuk memperbaiki dampak terhadap status gizi dengan program-program
perlindungan sosial. Kita bekerja sama dengan sektor pertanian, kelautan serta
perdagangan untuk meningkatkan penyediaan sumber makanan yang bergizi dan aman,
dan untuk menyediakan air bersih dan sanitasi. Sektor swasta didorong untuk turut
memperbaiki status gizi dan memasarkan makanan dan minuman secara bertanggung
jawab, terutama ketika makanan tersebut ditujukan untuk bayi dan anak balita.
Gizi baik adalah kepentingan kita bersama dan kita
perlu lebih banyak tokoh panutan di setiap lapisan masyarakat – kepala desa, tenaga kesehatan, tokoh agama,
pemilik industri, selebriti, politikus dan lainya – untuk membantah pernyataan
bahwa masyarakat Indonesia ditakdirkan untuk bertubuh pendek.
Dengan upaya bersama seluruh bangsa, semua anak
Indonesia dapat tumbuh sehat, kuat dan cerdas sebagaimana layaknya mereka
tumbuh.
(Gunilla
Olsson, Perwakilan UNICEF, Anthea Webb, Perwakilan WFP, Dr
Khanchit Limpakarnjanarat, Perwakilan WHO and Mark Smulders, Perwakilan FAO)
[1] Horton, S & Steckel, R H
2011. Malnutrition: Global economic losses attributable to malnutrition
1900-2000 and projections to 2050. Copenhagen: Copenhagen Consensus on Human
Challenges
[2] Hoddinott, J, Alderman, H,
Behrman, J R, Haddad, L & Horton, S 2013. The economic rationale for
investing in stunting reduction. Maternal & Child Nutrition, 9, 69-82