Upacara kelulusan We Are Siblings. ©UNICEF Indonesia/2015 |
"Dulu aku sudah berkali-kali hampir menyerah.Tapi sekarang aku bahagia karena tidak jadi melakukannya."
Kalimat sederhana yang diucapkan oleh Cynthia Andriani, anggota We Are Siblings, saat proyek percontohan (pilot project) mereka berakhir di Bogor ini membuatku meneteskan air mata. Cynthia telah merangkum jerih payah dan kesuksesan yang dirasakan bersama para inovator muda lainnya dalam beberapa bulan terakhir.
We Are Siblings adalah proyek mentoring tentang anti-bullying (perundungan) yang dikembangkan oleh mahasiswa Intitut Pertanian Bogor (IPB). Proyek ini memenangi Kompetisi Global Design for UNICEF Challenge pada awal tahun ini sehingga mendapatkan dana hibah 2.500 dolar Amerika dari UNICEF untuk mengimplementasikan inisiatif mereka.
Proyek ini diawali dari enam mentor We are Siblings yang mendampingi 29 anak untuk menemukan cara-cara inovatif dalam mengatasi perundungan, baik secara tatap muka maupun online. Sesi tatap muka melibatkan satu mentor yang langsung terjun mendampingi sekelompok anak melalui modul anti-penindasan; Sementara sesi online menjadi sarana pendukung, menjalin komunikasi sehari-hari lewat SMS dan aplikasi pengirim pesan lainnya.
Inisiatif seperti ini sangat penting di Indonesia – mengingat kekerasan terhadap anak telah meluas di seluruh daerah. Studi UNICEF terbaru, “Hidden in Plain Sight” mengungkap bahwa 40% pelajar usia 13-15 tahun melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik di sekolah.
We Are Siblings mengakhiri proyek percontohannya lewat acara kelulusan yang memberikan masukan menarik pada proyek ini dan menunjukkan bagaimana para inovator dapat benar-benar mengubah kehidupan para pelajar muda.
Hari kelulusan diawali dengan sebuah drama tentang tiga remaja yang ditindas secara verbal, fisik, bahkan di media sosial – untuk menunjukkan bahwa perundungan dapat terjadi pada anak muda Indonesia di mana saja. Bagi beberapa orang bahkan seolah tidak ada jalan keluar.
Anak-anak muda itu kemudian menuturkan kisah-kisah pribadi mereka tentang perundungan dan kemudian membahas tema “semua anak unik dan berharga.” Hal ini merefleksikan apa yang telah dilakukan We Are Siblings, membantu peserta membangun kepercayaan diri yang lebih lewat modul pelatihannya.
“Anak saya dulu selalu di-bully, mulai dari kata-kata sampai fisik, tapi dia tidak langsung cerita ke saya," ujar Pak Nyoman Heru sebagai perwakilan orang tua. "Sejak bergabung dengan proyek ini, dia jadi lebih terbuka cerita perasaan dan pengalamannya terkena bully."
Pernyataan kuat lain berasal dari Jabir Al Hayyan, peserta yang duduk di bangku kelas 6 SD. "Senang ikut programnya. Saya siap untuk meneruskannya, mendukung teman-teman lain yang di-bully," ujarnya.
Tayangan cuplikan video dari proyek percontohan ini mendapat tepuk tangan gemuruh. "Presiden di masa depan, pilot di masa depan, olahragawan di masa depan": kalimat pembuka ini diikuti oleh foto anak-anak yang memiliki mimpi-mimpi tersebut. Video ini pun menekankan bagaimana We Are Siblings telah mengembangkan jati diri dan cita-cita peserta.
Para mentor telah membangun hubungan yang sangat dekat dengan tiap anak. Salah satu mentor, Nensi Sarina berkata, "Kalian memiliki cita-cita luar biasa dalam hidup, ada Sahrul yang ingin menjadi polisi, ada Alifa jadi pramugari." "Aku benar-benar senang bisa bersama kalian, Mutia yang pintar dan sopan, Nirwan yang cerewet tapi mengayomi adiknya," ucap Irsalina Nurin Oktafiani yang menunjukkan akrabnya hubungan dengan setiap anak bimbingannya.
Keenam mentor kemudian naik ke atas panggung di akhir acara dan semua anak berlari untuk memberikan bunga kepada mentor mereka masing-masing diikuti dengan ucapan terima kasih yang menyentuh dari Cynthia. Menyerah bukan pilihan Karena setiap masalah ada jalan keluarnya.
Mengimplementasikan sebuah proyek yang baru dan inovatif tentu memiliki banyak suka duka, namun itu semua terbayar sudah. Proyek ini benar-benar sesuai dengan namanya: Kita Bersaudara, We Are Siblings!