Annual Report

Thursday, 3 September 2015

Memutus Lingkaran Kekerasan

Nick Baker, Communication and Knowledge Management Officer

Senjata yang dibuat oleh Rama (15 tahun). ©UNICEF Indonesia/2015/Nick Baker

Di pusat komunitas Sulawesi Selatan, Rama* (15) memperlihatkan sebuah koleksi anak panah bermata logam yang tajam. Remaja yang berbicara dengan lembut ini menjelaskan bagaimana dia membuat dan menjual anak-anak panah tersebut kepada teman-teman sebayanya. Mereka terbiasa dengan perkelahian antar kelompok yang terkadang terjadi di lingkungan tempat tinggal mereka. “Kekerasan ada dimana-mana,” ujarnya.

Kisah kehidupan rama sama dengan banyak anak muda di Indonesia. Dia tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kekerasan-kekerasan orang tua, guru, teman. Ketika Rama memasuki masa remajanya, kekerasan bukan hanya hal yang maklum, tetapi sebuah rutinitas hidup.

“Saya mulai berkelahi di sekolah. Saya juga akan berkelahi di jalan,” ujarnya. Hal ini merupakan lereng terjal yang harus dilalui Rama. “Suatu hari paman saya memberi pisau badik. Lalu saya berkelahi dengan pisau dan saya tertikam,” ujar Rama sambil mengangkat kaus yang dipakainya dan menunjukkan bekas luka.


Hidup Rama menjadi tidak terarah. Dia putus sekolah, meninggalkan rumahnya, ikut terlibat dalam gerombolan geng lokal dan pernah dipenjarakan. “Saya bahkan sampai lupa sudah berapa kali bermasalah dengan polisi,” ujarnya.

Dan selama  ini, Rama melihat kekerasan sebagai solusi, bukan masalah.

Profesor Siti Aisyah Kara adalah pemuka agama yang aktif dalam menekan angka kekerasan terhadap anak. ©UNICEF Indonesia/2015/Nick Baker

Menetapkan Pendirian

Kekerasan tersebar luas di Indonesia: Dalam survei terkini, 40 persen anak-anak berusia 13-15 tahun dilaporkan telah diserang di sekolah dalam jangka 12 bulan terakhir; 48 persen perempuan percaya bahwa kekerasan rumah tangga adalah hal yang lumrah; angka bullying merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. “Namun tetap saja dialog nasional terkait hal ini masih absen.”

Sejumlah masyarakat Indonesia dari latar belakang yang berbeda mencoba untuk mengubah hal ini. Beberapa dari mereka pernah mengalami kekerasan langsung, beberapa yang lain merasa bahwa kekerasan mempengaruhi kehidupan secara tidak langsung. Semua berkumpul untuk mengakhiri kebisuan seputar topik kekerasan.

Kepala Bidang Kualitas Hidup, Perlindungan Perempuan dan Anak, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi Sulawesi Selatan, Nur Anti Madjid memiliki delapan juta konstituen di provinsinya. “Dimanapun desanya, dusun atau kota, kekerasan terhadap anak bersifat universal.”

Nur Anti mengatakan bahwa disiplin adalah motivator utama. “Orang tua dan guru merasa bahwa hukuman fisik dibutuhkan untuk mendisiplinkan anak,” ujarnya. Hukuman-hukuman yang kerap dilakukan mulai dari mencubit, menjambak rambut, menampar, hingga memukul. Umumnya dilakukan dengan alasan “demi kebaikan anak.”

UNICEF memulai kerja sama dengan Pemerintah Sulawesi Selatan. Pelatihan dan lokakarya Anti-Kekerasan telah dikembangkan untuk orang tua dan guru di Provinsi tersebut. “Kami melakukannya dengan cara-cara yang positif,” ujar Nur Anti. “Kami menunjukkan bagaimana mendisiplinkan anak tanpa menggunakan hukuman fisik adalah hal yang positif bagi orang tua, guru dan anak-anak.”

Di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Profesor Siti Aisyah Kara menerapkan langkah yang berbeda untuk menekan angka kekerasan. Ahli ajaran Islam ini tengah menjalankan misi untuk mendidik masyarakat Indonesia tentang bagaimana Al-Qur’an dan Hadis melarang kekerasan seksual, emosional dan fisik terhadap anak-anak.

“Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk Muslim,” ujarnya. “Banyak orang di sini melihat dunia melalui kacamata agama. Jadi akan sangat efektif untuk menyampaikan isu kekerasan terhadap anak-anak melalui cara pandang agama.”

UNICEF bekerja sama dengan Profesor Aisyah untuk membuat kajian materi terkait perlindungan anak untuk pemuka agama. Para pemuka agama ini lalu menggunakan bahan ini untuk mendidik komunitas mereka. “Setiap anak punya hak untuk bebas dari kekerasan,” ujarnya. “Saya mencoba untuk menunjukkan bagaimana hal ini adalah tanggung jawab semua orang.”

Profesor Aisyah juga fokus pada perkawinan usia anak, yang berdampak pada satu dari enam anak perempuan di Indonesia . Anak perempuan yang menikah diumur yang terlalu dini akan lebih berisiko terhadap kekerasan dalam rumah tangga dan penganiayaan. “Perkawinan anak tidak datang dari ajaran Islam,” ujarnya. “Sebaliknya, kita harus mendukung kemajuan anak-anak perempuan Indonesia,

Debi, Firda, Dhanu dan Auzain adalah anggota Forum Anak Sulawesi Selatan, dimana mereka berdiskusi tentang kekerasan terhadap anak. ©UNICEF Indonesia/2015/Nick Baker

Masa Depan yang Lebih Baik

Anak muda Indonesia mulai mengangkat suara mereka terkait kekerasan. Mereka menghadapi populasi yang segan membicarakan topik yang tabu ini, dibarengi juga dengan banyaknya tradisi dan kesalahpahaman. Tetapi untuk Forum Anak Sulawesi Selatan, tantangan ini dapat diatasi.

Forum Anak telah dibentuk di seluruh Indonesia oleh KPPPA, dengan dukungan UNICEF. Forum ini memberikan anak-anak kesempatan untuk berpartisipasi dalam isu sosial yang mempengaruhi kehidupan mereka. UNICEF baru saja menggelar diskusi dengan anggota Forum Anak Sulawesi Selatan untuk mendapatkan pandangan anak terhadap kekerasan.

Seluruh anak-anak muda ini dapat mengingat kembali kapan mereka melihat terjadinya kekerasan. “Seorang anak di tempat tinggal saya mencuri uang sehingga ibunya memukulnya dengan batu besar,” ujar Debi. “Di sekolah, seorang guru memukul muridnya dengan penggaris hingga tangan murid itu patah,” ingat Galo. Satu cerita sangatlah mengenaskan. “Seorang anak yang saya kenal dibakar dengan bahan kimia sebagai bentuk pendisiplinan.”

Auzan merangkum situasi saat ini: “Masyarakat kita berpikir kekerasan itu normal,” ujarnya. “Kita hidup di tengah kekerasan setiap hari. Tetapi anak-anak Indonesia tidak layak untuk diperlakukan seperti itu. Jadi kami mencoba untuk mengatasinya.”

Kelompok ini melakukan banyak cara. Mereka memulai debat terkait topik kekerasan melalui sosial media, bekerja sama secara langsung dengan komunitas yang memiliki tingkat penganiayaan yang tinggi dan memberikan bantuan untuk anak-anak yang berisiko terpapar kekerasan. “Kami memulai dengan diskusi,” tambah Dhanu.

Dan solusi yang paling efektif tampaknya adalah yang paling sederhana. “Sangat penting untuk menjadi contoh,” ujar Auzan. “Kami mau menunjukkan bahwa kekerasan tidak boleh digunakan, apapun itu masalahnya.” Ini adalah langkah penting dalam mengubah masyarakat yang sudah mempunyai penerimaan terhadap kekerasan.

Sementara itu bagi Rama, hidupnya perlahan berubah sejak tahun lalu. Dia mulai ikut serta dalam program anti-kekerasan, termasuk yang didukung oleh UNICEF. Perjalanannya masih panjang tetapi ada aspirasi di dalamnya. “Saya sekarang memikirkan masa depan saya,” ujar Rama, dengan nada yang bahagia.

Setidaknya satu lingkaran kekerasan telah terurai.

*Bukan nama sebenarnya