"Saya lebih senang menjadi pelajar dari pada ibu," kata Sari*, sambil menggendong anaknya. ©UNICEF Indonesia/2015/Nick Baker. |
Desa-desa kecil yang tak terhitung jumlahnya memagari garis pantai Pulau Sulawesi. Deretan rumah panggung (rumah tradisional) berjajar di antara pantai-pantai nan indah dan hutan hijau membentang. Laksana taman firdaus. Tetapi pemandangan Indah ini sesungguhnya menyimpan krisis tersembunyi.
Sulawesi Barat memiliki tingkat perkawinan usia anak yang cukup mengkhawatirkan. Provinsi ini memiliki prevalensi terbesar anak perempuan yang menikah pada usia 15 tahun atau lebih muda di Indonesia. Karena berbagai alasan, seperti budaya, agama, ekonomi, masa kecil anak-anak perempuan hilang di daerah ini setiap harinya.
Ayu* adalah salah satu dari anak-anak perempuan tersebut. Perempuan belasan tahun yang bertutur-kata lembut ini tinggal di sebuah desa pertanian sepi yang disebut Amara*. "Ibu dan nenek saya keduanya menikah pada usia 14 tahun," katanya. Tradisi keluarga berjalan terus: "Saya berusia 15 tahun ketika saya menikah dengan suami saya, Ganes, yang berusia 23 tahun."
Ayu dan Ganes menikah di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Ayu memalsukan usianya. Pemalsuan seperti ini merupakan praktek yang sudah biasa dilakukan di desanya karena sebagian besar anak tidak memiliki akte kelahiran. "Saya hanya mengatakan kepada mereka saya berusia 18 tahun," katanya.
Para imam setempat tampaknya tidak melihat usia sebagai penghalang pernikahan. "Apakah anak telah akil balig atau belum ketika mereka berusia sembilan tahun, mereka sudah seharusnya bisa menikah," salah satu dari mereka menyatakan hal ini. "Pemerintah hanya mengijinkan orang untuk menikah [pada usia yang lebih dewasa] yang menurut saya tidak sepenuhnya benar."
Dengan restu seorang imam, pasangan Ayu dan Ganes memasuki kehidupan perkawinan bersama. Ayu segera hamil. Akan tetapi, hubungan mereka mulai retak. "Kami mulai bertengkar," kata Ayu. Perdebatan sengit semakin biasa terjadi. "Kemudian suatu hari Ganes mengemasi tasnya dan meninggalkan rumah."
Tak lama kemudian Ayu melahirkan dan menjadi orangtua tunggal. Rencana sekolah, pekerjaan dan masa depan semuanya harus dikesampingkan. Sambil mengayun-ayun anaknya sampai tertidur, Ayu tampak lesu. "Saya baik-baik saja sekarang. Tetapi saya sering marah, "katanya.
Sari dan Dewi adalah dua anak perempuan dari desa terdekat yang bernama Kenanga. Keduanya tumbuh di rumah bertetangga yang hanya dipisahkan oleh sebidang sawah. Mereka berbagi masa kecil bersama: sekolah, hobi, olahraga. Dan kehidupan mereka berubah dramatis ketika keduanya menikah tahun lalu; dengan laki-laki yang sama.
Ibu Dewi mengeluh. Ia mengaku awalnya berharap banyak pada pernikahan anak perempuannya yang berusia 15 tahun dengan seorang laki-laki usia 25 tahun yang bernama Hazar. "Kami tidak bisa membeli pakaian dan hal-hal lain yang ia perlukan," kata Ibu Dewi. "Saya kira nasibnya akan menjadi lebih baik jika ada orang yang merawatnya."
Tetapi pernikahan mereka tidak berlangsung lama. Segera setelah pernikahan, Hazar memutuskan untuk pindah ke tempat lain di Indonesia. Penduduk desa berpikir bahwa ia bekerja di pulau Kalimantan, yang jauhnya beberapa ratus mil.
Hazar tidak hanya meninggalkan istri-istri barunya, tetapi juga anak laki-laki dari masing-masing istri. Sari dan Dewi sekarang menghabiskan hari-hari mereka dengan menjalani kehidupan sebagai ibu, jauh sebelum waktunya. Tanggung jawab dan beban kerja seringkali melampaui kemampuan mereka.
Sari mengatakan bahwa ia merindukan kehidupan lamanya. "Saya lebih senang menjadi pelajar dari pada ibu," katanya, sambil menggendong anaknya. "Ketika saya masih di sekolah, semuanya lebih baik."
Seorang ibu dan anak laki-lakinya di Sulawesi Barat. ©UNICEF Indonesia/2015/Nick Baker |
Ini adalah perasaan yang juga disampaikan oleh Intan di desa tetangga Tambala. Perempuan berusia 16 tahun ini memiliki latar belakang yang sangat berbeda dengan banyak pengantin anak lainnya di daerah tersebut. Ia berasal dari keluarga yang sangat kaya.
Awal tahun lalu, terjadi hubungan asmara antara Intan dan seorang anak laki-laki bernama Amet. Awalnya dimulai dari pertukaran pesan teks sederhana, yang kemudian berkembang dengan cepat menjadi sesuatu yang lebih serius. Intan sangat terkejut. Ia hamil.
"Saya tidak tahu jika hubungan seksual dapat menyebabkan kehamilan," kata Intan. Ini merupakan pengakuan umum anak-anak perempuan di sekitar Sulawesi Barat, bahkan mereka yang berada pada pertengahan sampai akhir remaja. Tabu tentang seks, khususnya pergaulan bebas (seks di luar nikah) berarti bahwa masalah tersebut jarang dibicarakan.
Kehamilan yang tidak direncanakan kerap mendasari pernikahan yang terburu-buru. "Ketika seorang anak perempuan hamil, ia harus menikah," kata kepala desa. Umur tidak menjadi masalah. "Tidak apa-apa bagi perempuan untuk menikah pada usia 15 tahun. Hal ini sangat disayangkan, namun masih banyak orang di dalam komunitas kita yang mendukung pandangan ini, "katanya.
Intan mengatakan, "Karena saya hamil, saya diijinkan untuk menikah". Ia mengatakan bahwa hari pernikahannya “seperti kabur”. Sejak meninggalkan sekolah, Intan menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah. "Saya ingin kuliah seperti saudara- saudara saya lainnya," katanya. "Sekarang saya tidak bisa menentukan impian saya. Sulit untuk membayangkannya."
Sulit bagi kebanyakan pengantin anak di Sulawesi Barat untuk membicarakan masa depan. Setelah menikah, kegiatan mereka hampir seluruhnya dipusatkan pada tugas-tugas rumah tangga. Belajar dan berkembang berubah menjadi memasak dan memelihara kebersihan.
Kasus serupa juga terjadi pada Dina di desa Mahara. Tahun yang lalu, ia duduk di bangku Kelas 3 SMA. Peluang setelah lulus nampak terbuka luas. Akan tetapi, atas dorongan dari keluarganya, Dina meninggalkan sekolah dan menikah dengan teknisi perbaikan mobil setempat.
"Ibu saya juga menikah muda," kata Dina di ruang tamu rumah barunya. Hari-harinya sangat berbeda dengan ketika ia masih menjadi pelajar. "Sekarang saya menyiapkan semua makanan untuk keluarga saya. Saya melakukan semua pekerjaan rumah. Dan dia mengerjakan tugas tambahan menjadi seorang ibu baru. "Suami saya tidak mengurus anak kami sehingga saya juga bertanggung jawab untuk mengurusnya".
Bukan keinginan Dina untuk mengalami transisi yang tidak mulus untuk menjadi orang dewasa. Kadang-kadang ia memikirkan kembali apa yang telah terjadi. "Saya ingin kembali ke sekolah. Mungkin setelah setahun," katanya. Tetapi untuk saat ini, yang ia pikirkan adalah apa yang harus ia siapkan untuk makan malam. "Saya senang memasak ikan dan sayuran."
Ada penerimaan yang sunyi dari kasus Ayu, Sari, Dewi, Intan dan Dina. Masyarakat tampaknya menerima saja perkawinan usia anak sebagai bagian dari struktur sosial. Dampak dan akibat dari perkawinan usia anak jarang dibicarakan. Keprihatinan, apalagi ketidaksetujuan terhadap dampak perkawinan anak tampaknya tidak mengemuka pada masyarakat Sulawesi Barat.
Jika ’kesunyian’ ini tidak segera dipecahkan, maka keadaan ini akan terus berlanjut untuk waktu yang sangat lama.
* Nama anak-anak perempuan dan desa-desa di atas bukan nama asli.
Perkawinan usia anak merupakan hal yang umum di seluruh Indonesia dimana satu dari enam anak perempuan menikah sebelum ulang tahun ke-18 mereka. Undang-undang perkawinan saat ini memungkinkan anak laki-laki untuk menikah pada usia 19 tahun, tetapi anak perempuan dapat menikah pada usia 16 tahun. UNICEF mengadvokasi dan mendukung berbagai upaya untuk mengatasi perkawinan usia anak di Indonesia, menjangkau anak-anak, orang muda, keluarga, masyarakat serta pemerintah Indonesia.
Tahun ini merupakan saat yang historis bagi upaya-upaya global untuk mengakhiri perkawinan usia anak. Pada bulan September, Pemerintah di setiap negara di seluruh dunia akan menyetujui untuk menghapus perkawinan usia anak pada tahun 2030 sebagai bagian dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG).