Annual Report

Monday, 18 April 2016

Bersama SATAP Meraih Harapan Hidup yang Lebih Baik



Anak lelaki itu serius memperhatikan gurunya yang sedang menunjukkan cara membuat kerajinan dari anyaman bambu. Bersama teman-temannya, ia mencoba menganyam sebuah keranjang seperti arahan gurunya.

“Bagus sekali keranjangmu, Nang, kuncinya sabar dan teliti supaya hasil anyamannya rapi,” kata sang guru kepada anak lelaki bernama Nanang Sujatmiko itu. Nanang duduk di kelas 8 SMPN SATAP Grujugan, Bondowoso

Di kelas, Nanang tampak ceria belajar dan bermain dengan teman-teman sebayanya. Seusai jam sekolah, ia bergegas pulang ke rumah dan mulai bekerja. Di usia sangat muda, Nanang yang lahir dari keluarga miskin sudah harus menanggung beban hidup keluarga membantu ibunya yang seorang buruh tani, setelah sang ayah meninggal dunia. Tugasnya setiap hari mencari rumput untuk sapi milik tetangga yang menjadi tanggung jawab bapaknya semasa hidup dan kerja tani serabutan lain demi mendapat penghasilan untuk makan sehari-hari.

Kondisi demikian membuat sekolah dengan segala biaya dan kebutuhannya menjadi hal yang tampak tidak terjangkau bagi Nanang dan ibunya. Beruntung di desanya ada Sekolah Satu Atap atau SATAP sehingga ia bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP. Lokasi sekolah ini bisa dijangkau dengan berjalan kaki sehingga Nanang tidak harus mengeluarkan biaya transportasi.


Beruntung Nanang bersekolah di SATAP. Selain pelajaran akademis, di SATAP Nanang juga belajar keterampilan menganyam bambu yang dibuat menjadi karya kerajinan  seperti keranjang buah, kap lampu, tempat souvenir, dll. Keterampilan ini sangat bermanfaat untuk menambah pendapatan keluarga karena karya kerajinan tangan yang dihasilkan bisa dijual. Nanang juga mengajarkan keterampilan ini kepada ibunya dan mereka sudah mulai mendapatkan hasil meski belum seberapa. Nanang senang karena ada sumber pendapatan lain dalam keluarganya.

Hidup yang keras tidak membuat Nanang menjadi pribadi yang getir. Semangatnya tetap menyala untuk menuntut ilmu setiap hari. Sekolah baginya adalah sebuah istana tempat ia belajar ilmu yang berguna dari bapak dan ibu guru yang ramah dan penyayang, tertawa dan bermain bersama teman-temannya. Saat ini lingkungan belajar di sekolahnya juga lebih menyenangkan karena ruang kelasnya bersih, indah, nyaman, dan penuh sumber belajar yang setiap saat dapat diakses. Di sekolah, Nanang bisa menjadi dirinya sendiri tanpa harus memikirkan sapi yang harus diberi makan dan beban di pundaknya. Di sekolah, ia bisa kembali menjadi seorang anak. Di sekolah, hidup tampak lebih cerah.

Selepas SMP kelak, ia berharap bisa melanjutkan ke jenjang SMA meski ia belum punya bayangan dari mana biaya sekolah akan diperoleh. Selain itu, ia juga tidak bisa meninggalkan ibunya bekerja sendiri. Tapi masa depan memiliki jawabannya sendiri dan Nanang tahu dengan kerja keras dan keteguhan hati semua hal yang indah bisa terjadi, bahkan untuk seorang anak penggembala sapi.