Oleh
Cory Rogers, UNICEF Indonesia Communication Officer
Stevlin menjalani USG di Puskesmas Sorong, Papua Barat.
Sorong: Stevlin,
32, ibu dari lima anak, berbaring di atas dipan pemeriksaan diiringi dengung
mesin USG.
Tak lama kemudian, suara detak jantung mengisi ruangan.
Stevlin tersenyum lebar: mendengar denyut jantung calon bayi untuk pertama
kalinya merupakan pengalaman yang unik.
Untuk pemeriksaan kehamilan itu, Stevlin datang ke
Puskesmas Malawei di Sorong, Provinsi Papua Barat.
“Saya harus pastikan kehamilan berjalan lancar agar bayi
saya dapat lahir dengan sehat,” katanya. Kedua alisnya bertaut. Pada awal tahun
2000, Stevlin pernah kehilangan seorang anak akibat komplikasi penyakit. Kini,
ia bertekad berusaha semampu mungkin untuk memastikan kesehatan sang bayi.
Artinya, Stevlin harus mengonsumsi makanan sehat, berolahraga, cukup
beristirahat, dan menjalani pemeriksaan kesehatan—terutama HIV.
“Di Papua Barat, risiko HIV 15 kali lebih tinggi dari
rata-rata nasional. Menjalani tes HIV wajib bagi para ibu mengandung di sini,”
kata Beth Nurlely, UNICEF Indonesia Health Officer di Papua Barat. Tanpa
pengobatan, 1 dari 3 anak berisiko tertular HIV dari ibu. Namun begitu, di Indonesia,
hanya 14 persen ibu yang pernah melakukan tes penting itu.
Lepas dari risiko itu, menurut
Stevelin ia baru menjalani tes HIV pada tahun 2014. Saat itu, ia sudah
melahirkan tiga orang anak.
“Tingkat penularan sudah turun sampai hampir nihil
dengan terapi antiretroviral,” kata Nurlely lagi. “Yang diperlukan sekarang
adalah cara-cara kreatif untuk meningkatkan uji kesehatan.”
Papua
menjadi yang terdepan
Sorong, kota pelabuhan sibuk di Provinsi Papua Barat,
Papua*, adalah satu dari empat kota (selain Surabaya di Jawa Timur, Jakarta
Barat di DKI Jakarta, dan Bandung di Jawa Barat) tempat UNICEF dan Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) menguji pendekatan baru untuk mencegah penularan HIV dari
ibu ke anak (PMTCT).
Di Papua, risiko penularan tak lagi terbatas pada
kelompok-kelompok rentan seperti pekerja seks namun sudah memengaruhi populasi
umum. Ibu seperti Stevlin dan bayinya pun turut terancam. Menurut para ahli,
tanpa peningkatan signifikan dalam hal akses pada uji kesehatan dan pengobatan
secara nasional, jumlah anak pengidap HIV akan naik dua kali lipat dalam
sepuluh tahun mendatang.
“Jujur saja, saya tidak terlalu
paham soal HIV, tapi saya tahu saya perlu (diperiksa),” katanya, sembari bidan
mengambil sampel darah dari jarinya.
“Sekarang jadi gugup. Saya ingin
cepat tahu hasilnya.”
Memberdayakan
bidan
Uji cepat HIV yang dijalani Stevlin dilaksanakan oleh
salah seorang bidan Puskesmas, dan hal ini adalah pencapaian besar.
“Dulu, hanya tenaga laboratorium khusus yang boleh
melakukan tes,” ujar Nurlely. “Tapi, di Papua Barat, tenaga profesional yang
terlatih tidak banyak sehingga justru menghambat proses pemeriksaan.”
Meyakinkan pemerintah daerah untuk melatih dan
mengizinkan bidan untuk melakukan uji cepat menjadi tujuan penting dari program
percobaan UNICEF di seluruh Indonesia. Di Sorong, titik kemajuan terjadi pada
September 2014 ketika pemerintah daerah setuju bahwa perubahan itu memang
efektif untuk meningkatkan pemeriksaan dan melindungi ibu dan anak.
“Kami berhasil meyakinkan pejabat
daerah bahwa jumlah tenaga laboratorium memang tidak cukup untuk menjawab kebutuhan pemeriksaan. Hasilnya,
para bidan sekarang leluasa melaksanakan tugas penting ini,” ujar Nurlely.
Tiga tahun kemudian, tingkat
pemeriksaan sudah naik 60 persen di kalangan ibu hamil di Sorong—atau sekitar
lima kali lebih tinggi dari rata-rata nasional.
Menghapuskan formulir persetujuan
Menurut Roys Fetty Mulalinda, bidan
kepala di Malawei, melatih bidan agar memperlakukan pemeriksaan HIV sama seperti
tes darah lain adalah kunci untuk menurunkan penularan ibu ke anak.
Sebelum intervensi UNICEF, ibu
hamil diwajibkan menandatangani formulir persetujuan sebelum tes HIV
dilaksanakan. Secara teori, kebijakan ini memang baik. Namun, aturan pernyataan
persetujuan ternyata memberikan kesan negatif dan, menurut Nurlely,
mencerminkan stigma terhadap penyakit itu sendiri yang oleh banyak orang dianggap
sebagai “kutukan”.
Kini, kata Roys Fetty, berkat
keberhasilan mengadvokasi pemerintah daerah, formulir persetujuan sudah
dihapuskan dan tes sekarang dianggap selazim tes kesehatan lainnya. Sebagai
ganti formulir itu, perempuan sekarang harus menandatangani surat menolak
menjalani tes HIV dan menyatakan bahwa mereka paham risiko yang mungkin timbul
bagi diri dan bayi mereka.
“Bagi setiap perempuan hamil yang datang, tes HIV pasti
dilakukan,” ujar Roys Fetty. “Dari sisi kami, satu-satunya sebab tes tidak
dilakukan adalah jika kami kehabisan alat uji.”
Hibah baru Global Fund akan memungkinkan
UNICEF dan Pemerintah Indonesia untuk menambah 28 kabupaten sebagai wilayah
percobaan tahun depan. Hal ini akan membantu memperluas keberhasilan yang sudah
dibangun di Sorong.
Namun, faktanya, empat dari setiap 10 ibu
hamil masih menolak tes HIV. Untuk mengubah ini, masih dibutuhkan banyak upaya.
“Jika ingin dapat menjangkau semua ibu
hamil, maka diperlukan peraturan tingkat provinsi yang pemberlakuannya lebih
luas.”
Hingga saat ini, peraturan tersebut belum
terwujud. Tetapi, ada harapan: di 10 dari 13 kabupaten Papua, reformasi ke arah
PMTCT di tingkat daerah tengah berlangsung. Semoga, tak perlu waktu lama hingga
semua ibu hamil bisa mengakses tes yang amat penting ini.
*Papua,
pulau di wilayah paling timur Indonesia, terdiri dari Provinsi Papua Barat dan
Papua—dua provinsi termiskin Indonesia.