Oleh: Kate Watson
“Moshi moshi, Ola ola,
hello, apa kabar?” Ruang kelas itu ramai dengan murid lelaki dan perempuan yang
sedang berdiri, tertawa, dan berbincang meriah. Mereka baru saja mempelajari
lagu dan gerakan (“Halo, apa kabar?” dalam berbagai bahasa) yang digunakan sebagai
pengantar untuk berkenalan dan mengobrol dengan teman baru.
Meski baru berjalan
tiga bulan di SMA Negeri 2 Kabupaten Sorong, namun program Pendidikan Kecakapan
Hidup Sehat (PKHS) sudah menunjukkan hasil positif sebagaimana tampak dari
kepercayaan diri para murid.
“Semuanya menarik dan
permainannya seru!” kata Dwirizki Sandola, 17 tahun. “Kami dibantu
mengekspresikan diri – kami bisa mengutarakan keinginan dan meminta sesuatu
hal!” tambahnya. Tidak banyak kesempatan yang diberikan pada murid-murid
Indonesia untuk berpendapat di ruang kelas. Partisipasi dalam kegiatan seperti
PKHS membantu mereka menemukan ‘suara’ dan merasa berdaya.
Menghadirkan
serangkaian topik mengenai kecakapan hidup, PKHS mendorong anak-anak muda
berdiskusi dan belajar melalui permainan, kuis, contoh kasus, dan debat. Setiap
sesi mengangkat satu topik, seperti menghadapi konflik dan memahami emosi,
serta topik seperti perundungan dan gender. Ada pula topik tentang risiko
tertentu seperti narkoba, kehamilan yang tidak diinginkan, dan HIV.
“Sebelum ada PKHS,
banyak dari kami yang bergaul dengan kelompok yang tidak baik atau berada dalam
situasi negatif,” terang Dwirizki. “Tapi, PKHS menunjukkan risiko yang kami
hadapi kelak.”
Pernyataan Dwirizki mewakili
salah satu tujuan PKHS, yaitu mendampingi anak muda mengambil keputusan yang
bisa jadi sulit dalam keseharian mereka. PKHS ingin meningkatkan rasa percaya
diri, membangun kecakapan sosial dan personal, dan membantu anak muda
menghadapi risiko-risiko yang ada.
“Dulu, saya sangat
nakal. Saya menggunakan kekerasan,” Dwirizki bercerita. “Namun, melalui program
ini, saya belajar cara mengendalikan emosi dan menahan diri.”
Meski tidak seharusnya,
namun anak muda di Provinsi Papua kerap menyaksikan peristiwa kekerasan. Tidak
heran apabila mereka meniru hal yang sama saat dilanda emosi. Siklus ini harus
diputus agar anak-anak muda bisa mengambil kendali atas masa depan mereka.
Murid lain, Rizky Tiara
Ramadani (17), juga menyadari ada perbedaan berkat pilihan-pilihan yang kini ia
ambil. “Saya dulu sering dibujuk ikut-ikutan [teman],” katanya. “Mereka memaksa
saya melakukan kenakalan dan saya tidak berani menolak. Saya tidak tahu
caranya,” jelasnya, lalu dengan tegas menambahkan bahwa sejak mengikuti PKHS ia
sekarang tahu persis bagaimana harus menolak. Ia telah memiliki suara.
Elemen penting lain
dari program ini adalah belajar melihat dunia sekitar dari sudut pandang orang
lain. Hal ini mengasah rasa empati murid sekaligus membantu mereka melihat
banyak kemungkinan lain di masa depan.
Menurut teman Dwirizki,
Kadek Windu Dea Atmaja yang juga berusia 17 tahun, “Bagi saya, yang paling
menarik di PKHS adalah belajar tentang toleransi.” Kadek baru tiba di Sorong
beberapa tahun yang lalu dari Bali. Meski sama-sama Indonesia, Bali dan Sorong
dipisahkan beberapa jam waktu tempuh dengan pesawat, dan sangat berbeda dalam
hal risiko serta tantangan yang dihadapi tiap kelompok budaya di negara ini.
“Mayoritas orang Bali
beragama Hindu, dan saya jarang bertemu dengan orang dari latar berbeda,” kata
Kadek. Ia butuh waktu lama beradaptasi di lingkungan baru dengan mayoritas
penduduk Kristiani. “Di Bali, sulit membayangkan ada orang yang cara hidupnya
berbeda.”
Melalui diskusi
kelompok di PKHS, saat Kadek dan teman-teman sekelas saling bercerita, ia pun
mulai menyadari bahwa latar belakang setiap orang berbeda dan perbedaan itu
membuat suasana jadi menarik.
“Sikap saya berubah.
Wawasan saya terbuka dan saya sekarang lebih toleran. Mungkin saya berbeda,
tapi sekarang saya mengerti bahwa kalau ada yang mengatakan hal buruk, itu
karena mereka tidak paham.”
Pengetahuan ini pun ia
sampaikan pada orang lain, termasuk neneknya yang sering mengeluh tidak
dimengerti tetangga. Sang nenek, dan semua anggota keluarga, menyimak
penjelasan Kadek; menurutnya, informasi yang ia bawa direnungkan bersama-sama
oleh keluarga.
Kelas PKHS ditutup
dengan wajah semringah dan tawa sembari para remaja berjalan keluar kelas
berdua atau bertiga untuk istirahat makan siang. “Saya rasa keadaan akan jauh
berbeda tanpa PKHS,” kata Dwirizki. “Mengubah hal negatif menjadi positif itu
hal besar! Tanpa bimbingan, kami tidak tahu ada pilihan lain, tidak tahu ke mana
harus melangkah,” tambahnya. “Mungkin juga kami masih nakal sampai sekarang!”