Oleh: Vyona, Fundrasider UNICEF Indonesia
Program Kembali ke Sekolah merupakan salah satu program UNICEF, yang berupaya mengembalikan kembali hak anak-anak yang putus sekolah di pedalaman. Mulai dari faktor ekonomi, maupun dari faktor pernikahan dini dan lain sebagainya.
Program Kembali ke Sekolah merupakan salah satu program UNICEF, yang berupaya mengembalikan kembali hak anak-anak yang putus sekolah di pedalaman. Mulai dari faktor ekonomi, maupun dari faktor pernikahan dini dan lain sebagainya.
Pada kesempatan ini, saya Vyona, salah satu Fundraiser
UNICEF akan berbagi cerita tentang kunjungan lapangan bersama
rekan-rekan kerja saya.
Kunjungan lapangan yang saya jalankan ke Bone, Sulawesi Selatan
bersama 3 rekan fundraiser Saya (Intan Kamalia, Geraldy Candrawan, Niken
Tamsil) terlaksana mulai tanggal 18 April 2018 sampai dengan 20 April 2018.
Hari Pertama
Terhitung mulai pukul 04:00 WIB, Saya bersama rekan memulai perjalanan kami dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta ke Bandara
Sultan Hassanudin, Makassar. Sekitar kurang lebih 2 jam, Saya bersama tim pun
sampai di Makassar dengan selamat. Namun, perjalanan yang harus kami tempuh
ternyata masih cukup panjang, sesampainya di Makassar, kami harus menempuh 6 jam
perjalanan dengan mobil dan melalui jalan yang penuh liku, gunung-gunung, jalan
yang cukup sempit yang bahkan masih diapit oleh hutan alami dengan habitat
alaminya.
Kami dijadwalkan untuk bertemu BAPEDA
Makassar untuk membicarakan seluruh kegiatan yang akan kami lakukan selama kami
Field Trip. Sesampainya di tempat pertemuan, kami pun langsung disambut hangat
oleh Bapak Drs. H. Abubakar Dahlan., MM, beliau adalah kepala dari BAPEDA
Makassar. Kami pun mengobrol dan membahas tentang kegiatan kami selama disana
sambil menyantap suguhan ala Bone yang makyus tenan. Di
tengah-tengah percakapan kami, Saya sangat tersentuh dengan suatu kalimat dari
Bapak Abubakar yang membuat saya lebih semangat untuk terus bersosialisasi
tentang program UNICEF yaitu, "Bagi kami, UNICEF adalah pahlawan kami.
Kami sangat bersyukur dengan keberadaan UNICEF yang terus mendukung kami dan memberi
inovasi baru kepada kami yang mebuat kami pun dapat terus berkembang seperti
sekarang."
Bersama tim dari Bapeda Makassar. ©Raditya/UNICEF Indonesia/2018
Hari Kedua
Hari dimana
jadwal kegiatan kami cukup padat karena banyaknya sekolah yang perlu kami
datangi dalam jarak yang berbeda-beda pada waktu yang cukup sempit karena
sekolah di Kabupaten Bone hanya sampai pukul 13:00 WITA. Kami memulai
perjalanan kami ke sekolah pertama sekitar pukul 08:00 WITA. Sekolah pertama
yang kami datangi adalah SD INPRESS 12/79 di dusun Cina, kecamatan
Abbumpungeng.
Pada sekolah yang terdiri dari total murid 116 siswa ini
sayangnya masih terdapat 4 orang anak yang putus sekolah, karena faktor orang
tua maupun perekonomian. Beruntung 2 dari 4 murid yang putus
sekolah ini pun kembali lagi untuk bersekolah sejak pihak UNICEF membantu anak
tersebut. Mereka yang terputus sekolah karena ekonomi pun bisa dapat pendidikan
yang sama seperti kita di Jakarta.
Selanjutnya, kami pergi ke SDN Cinennung, Cina, Bone.
Sekolah ini adalah sekolah dari kelas 1-6 SD. Sama seperti sebelumnya, ada 2
orang anak yang putus sekolah pada sekolah ini yang sudah dikembalikan kembali
ke sekolah. Anak-anak tersebut adalah Alam Susilo dan Didin Ariyadi. Alam yang
10 tahun sayangnya baru mencapai kelas 1 SD karena keterbatasan biaya yang ia
alami.
Selain itu kami juga pergi ke SMPN 3 Ulaweng, yang berdiri sejak 2007 ini terdapat pada daerah yang cukup jauh melewati pepohonan. Beberapa anak pun ada yang harus berjalan sejauh 10 km. Ini pun salah satu alasan mengapa adanya anak yang putus
sekolah.
Kami mengakhiri perjalanan kami di hari ke-2 Field Trip
pun dengan perasaan senang karena baru bertemu dengan anak-anak yang sudah
dibantu oleh UNICEF.
Bersama anak-anak dari SMPN 3 Ulaweng. ©Raditya/UNICEF Indonesia/2018
Hari Terakhir
Di hari terakhir kami pergi ke Desa Inklusi, desa khusus orang-orang disabilitas. Saya bertemu dengan gadis kecil bernama Fatiha Ramadhani.
Di hari terakhir kami pergi ke Desa Inklusi, desa khusus orang-orang disabilitas. Saya bertemu dengan gadis kecil bernama Fatiha Ramadhani.
Fatiha adalah seorang anak yang sangat berjiwa mulia
meskipun keterbatasannya dalam mental. Setiap harinya ia rela menghabisakan
waktu-waktunya untuk bermain dengan memasang kancing pada keluarga. Satu celana
yang dipasang hanya dihargai 100 rupiah, which means, sehari
ia hanya dapat Rp 10.000,- hanya untuk membantu orang tuanya. Fatiha pun punya cita-cita
yang tinggi menjadi seorang pengusaha.
Setelah itu kami pun meninggalkan rumah Fatiha dengan
berat, karena tiba saatnya kami pulang ke Jakarta. Meskipun begitu, Saya
sendiri senang karena akhirnya bisa berkesempatan untuk ikut kunjungan lapangan yang sangat
membuka mata saya, bahwa memang kita yang di kota merupakan orang-orang yang
beruntung untuk dapat memiliki ekonomi stabil dan akses kemana pun yang
lebih gampang. Jika bukan kita yang membantu mereka, siapa lagi?