Oleh: Tomi Soetjipto
Satu hari di bulan September adalah
hari yang memiliki arti tersendiri bagi anak-anak di Waimahu Passo di kota
Ambon, ibukota provinsi Maluku. Ada sekitar 23 anak yang terdaftar untuk
menerima vaksin MR, sebagai bagian dari kampanye nasional imunisasi untuk 31,9
juta anak. Terletak di Indonesia bagian timur ini, Ambon adalah bagian
dari kepulauan Maluku yang terkenal dan pernah menjadi tujuan utama
negara-negara penjajah untuk mencari rempah-rempah.
Dengan penuh keyakinan bak seorang
tentara, Jupe Rusmani, empat tahun, masuk ke ruangan kecil yang dipenuhi oleh
para pekerja kesehatan yang memegang jarum suntik. Ketenangannya
mengejutkan semua orang, termasuk Ibu Jupe, Nor Rusmani yang menunggu di luar
sambil tersenyum lega.
Armendo Fransesco menerima vaksin Campak & Rubella (MR) ©Fauzan Yo/UNICEF Indonesia/2018 |
"Berani sekali kamu nak,"
ujar salah seorang perawat sebelum ia menyuntikkan vaksin penyelamatan dan
Campak dan Rubella (MR) pada lengan kiri atas Jupe. Ketika ditanya oleh bibinya
apakah ia merasakan sakit, Jupe menggeleng dengan tegas.
Sikap Jupe menambah kepercayaan diri
anak-anak lain untuk dengan yakin termasuk Gloria Titahena yang
berusia delapan tahun. Untuk menutupi rasa takutnya ia tidak membuka mata
ketika jarum suntik itu diletakkan di lengan atasnya yang kurus. Dengan senyum
malu, Gloria kemudian berpose untuk untuk difoto memegang tulisan dalah bahasa
setempat, “Beta brani disuntik Rubella”. Anak lain, Armendo Fransesco, lima
tahun, seorang anak laki-laki yang lincah dengan rambut keriting sebahu,
memegang tanda lain yang bunyinya “Mau sehat? Harus Imunisasi Rubella ”
Hingga awal September, sekitar 50
persen anak-anak berusia di atas sembilan bulan hingga di bawah 15 tahun di
kota Ambon, yang jumlahnya sekitar 50-ribu telah divaksinasi terhadap MR. Kota
pelabuhan ini menargetkan sekitar 114 ribu anak divaksin, sementara target
provinsi sekitar 514 ribu anak.
Para ibu di Waimahu Passo di kota Ambon,membawa anak-anaknya untuk menerima vaksin Campak & Rubella (MR) ©Fauzan Yo/UNICEF Indonesia/2018 |
Waimahu Passo adalah lingkungan yang
punya sejarah tersendiri. Komunitas rumah darurat dibangun dari sebuah bab
gelap dalam sejarah Ambon kala kota mengalami kerusuhan massa pada tahun 1999.
Seluruh penduduknya yang berjumlah sekitar 300 penduduk yang tinggal di wilayah
padar penduduk ini ini kehilangan rumah dan harta benda mereka ketika kekacauan
melanda Ambon.
18 tahun berlalu, komunitas ini
telah menjadikan Waimaho Passo sebagai rumah baru mereka, banyak dari mereka
telah menemukan pekerjaan di sektor informal sebagai penjual sayur atau ojek.
LSM lokal, Yayasan Pelangi Maluku,
telah bekerja keras untuk melakukan vaksinasi untuk anak-anak di komunitas
ini
“Pada awalnya kami mendekati tokoh
masyarakat tentang rencana pemerintah, lalu kami datang ke komunitas ini
beberapa kali, memberi tahu mereka tentang bahaya MR. Sejauh ini respon nya
luar biasa, ”kata Rosa Penturi, Kepala Yayasan, berbicara saat tangan kirinya
ditutupi boneka kaus kaki. Saat itu Rosa tengah melakukan pertunjukan
boneka dan bernyanyi untuk meredakan ketegangan anak-anak.
Rosa Penturi sedang melakukan pertunjukan boneka dan bernyanyi untuk meredakan ketegangan anak-anak selama proses pemberian vaksin Campak & Rubella (MR) ©Fauzan Yo/UNICEF Indonesia/2018 |
MEMBANGUN KEPERCAYAAN KE KOMUNITAS
Duduk di sebelah Rosa adalah kepala
Passo Puskesmas, dr. Eka. M. Susanti yang juga merupakan salah satu tokoh
pendukung kampanye MR menyatakan "tidak ada anak yang tertinggal. Untuk mencapai tujuan
ini, para pejabat kesehatan telah bekerja sama dengan pekerja komunitas."
"Kampanye ini sangat membantu
membangun kepercayaan kepada masyarakat…. penduduk di sini tidak punya waktu
untuk membawa anak-anak mereka ke Puskesmas. Kita yang harus pro-aktif
mendatangi mereka, ” kata Dr Susanti, menambahkan bahwa mereka telah mengadakan
beberapa sesi imunisasi di lingkungan yang sama sebelumnya.
Kepala Puskesmas Passo dr. Eka. M. Susanti dan anak-anak yang sudah menerima vaksin Campak & Rubella (MR) ©Fauzan Yo/UNICEF Indonesia/2018 |
Semua anak di komunitas ini
optimismistis tentang masa depan mereka. Jupe ingin menjadi dokter;
Gloria melihat dirinya sebagai seorang polisi wanita dan Armendo berharap untuk
menjadi seorang guru.
Di tempat lain, di pusat kota Ambon,
di sebuah daerah padat penduduk, Gang Buntu di Honipopu, sekelompok anak-anak
yang berasal dari keluarga kurang beruntung berkumpul pada suatu sore untuk
berbagi pengalaman vaksinasi MR mereka. Salah satunya adalah Mutiara Palappesi
berusia 13 tahun, siswa kelas delapan yang telah divaksin MR di sekolahnya, SMP
Alhilal.
Ibu Mutia dulunya seorang penyapu
jalan sebelum memutuskan untuk tinggal di rumah untuk menjaga adik perempuannya
yang berumur 5 bulan. Kini hanya ayahnya yang menjadi pencari nafkah bagi
keluarga. Ia bekerja sebagai penyapu jalan dan pengumpul sampah, membawa
pulang kardus untuk dijual kembali. Selama percakapan dengan Mutia, terlihat
jelas bahw ia punya informasi yang baik tentang MR. Meskipun ia mungkin tidak
tahu istilah teknis, tetapi cukup paham dalam menguraikan gejala MR.
Dengan kepolosan seorang anak, saat
ditanya apa cita-citanya, begini jawabnya "Saya ingin menjadi PNS (pegawai
negeri) ... Saya suka melihat para PNS, karena mereka selalu sibuk, dan
seragamnya bagus."
Mutia menghabiskan malamnya untuk
menambah penghasilan tambahan bagi keluarga. Setiap malam ia menjual lima surat
kabar di jalan utama kota Ambon; untuk setiap penjualan, koran yang terjual ia
mendapat Rp 1000.
Jalan mereka mungkin panjang dan
rumit, tetapi imunisasi MR memang langkah pertama dalam mewujudkan tujuan
mereka.
Armendo Fransesco yang pemberani setelah menerima vaksin Campak & Rubella (MR) ©Fauzan Yo/UNICEF Indonesia/2018 |