Annual Report

Friday 14 July 2017

Roots Day Sebagai Ajang untuk Menanggulangi Perilaku Bullying (Perundungan) di Makassar

Oleh Derry Fahrizal Ulum, Child Protection Officer


Saya dan para siswa selama kegiatan pada Roots Day di salah satu stan foto
© UNICEF Indonesia/Derry Ulum/2017

Makassar: "Saya percaya bahwa berteman dengan semua orang merupakan cara yang baik untuk mengatasi masalah perilaku bullying (perundungan). Ketika kita menunjukkan kepada teman-teman terdekat kita bagaimana berperilaku positif, hal ini akan mempengaruhi semua siswa untuk berubah sama seperti kita".

Pernyataan di atas disampaikan oleh salah satu dari 30 'pembuat perubahan' siswa selama 'Roots Day’ di SMPN 37 di Makassar, sebuah kota pelabuhan daerah di barat daya Pulau Sulawesi di Indonesia. ‘Roots Day’ merupakan puncak kegiatan anti-kekerasan yang dilakukan oleh siswa terhadap siswa lainya di sekolah yang diujicobakan oleh UNICEF dengan
tujuan untuk menghapus perilaku bullying (perundungan) guna mengoptimalkan pembelajaran dan meningkatkan keamanan siswa.

Kira-kira 50 persen siswa di Indonesia usia 13-15 tahun melaporkan bahwa mereka mengalami bullying di sekolah. Angka tersebut merupakan salah satu angka tertinggi di dunia. Keterlibatan anak muda merupakan kunci untuk mengatasi masalah ini. Dengan mengambil sikap melawan bullying dan menentang norma-norma yang membenarkan kekerasan sebagai bagian dari budaya, Indonesia dapat memberikan kesempatan yang lebih luas kepada anak-anak muda untuk belajar, tumbuh dan berkembang.

Sebagai hotspot bullying, Makassar adalah tempat dimana UNICEF memusatkan upaya untuk menguji strategi Roots Day. Kira-kira 58 persen siswa melaporkan bahwa mereka mengalami bullying di sekolah dalam sebuah kajian pra-uji coba yang dilakukan oleh UNICEF bekerja sama dengan mitra lokal, Yayasan Indonesia Mengabdi (YIM).


Program ini memfokuskan pada pengembangan iklim yang aman di sekolah dengan mengaktifkan peran siswa sebagai agen perubahan yang dapat mengidentifikasi akar dari bullying dan melaksanakan solusi. Sebagai agen perubahan, mereka mendesain kampanye anti-kekerasan di sekolah dengan tujuan untuk mengubah sikap di antara para siswa.

Ke 30 agen perubahan tersebut, yang dipilih melalui 'jajak pendapat tertutup' oleh teman sebaya mereka, diberi tugas untuk menyampaikan pesan efektif tentang perilaku positif. Karena popularitas mereka, 30 'influencer' ini diperkirakan akan memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap teman sebaya mereka, sehingga paling potensial untuk menggerakkan perubahan perilaku.

Sepuluh pertemuan yang mengawali Roots Day membantu agen perubahan memastikan bahwa kampanye mereka menimbulkan dampak maksimal. Para siswa, yang dibimbing oleh fasilitator-fasilitator muda dan diawasi oleh UNICEF, melakukan kegiatan-kegiatan interaktif seperti sandiwara dan film untuk menanamkan kesadaran tentang dampak negatif dari bullying

Pertemuan-pertemuan selanjutnya difokuskan pada penajaman pesan dan penyusunan strategi untuk menyebarluaskan pesan tersebut kepada para siswa

Untuk tujuan tersebut, 30 'pembuat perubahan' siswa bekerja sama pada delapan stan pameran terpisah, salah satunya adalah Stan U-Report dan satu lagi yang memvisualisasikan data tentang dampak negatif dari bullying.

Sangat luar biasa berada dalam suasana positif seperti itu, menyaksikan anak-anak muda berdiri untuk menjadi pemimpin dalam sebuah isu yang mempengaruhi mereka semua. Pihak sekolah juga mendukung. Selain tertarik dengan stan-stan, para guru mengizinkan siswa untuk membawa telepon genggam ke sekolah sehingga mereka bisa mendokumentasikan kegiatan-kegiatan pada akun media sosial mereka

Pendekatan teman sebaya ke teman sebaya untuk mencegah kekerasan ini merupakan suplemen penting untuk pembelajaran di kelas. Mereka menggunakan pengaruh tekanan teman sebaya yang kuat dan mengubahnya menjadi kekuatan positif yang mendorong anak-anak muda untuk hidup bebas dari kekerasan. Dalam uji coba Roots Day, ini dilakukan dalam lingkungan yang mendukung dan menerima yang mengakui anak-anak muda sebagai sumber daya.

Menghentikan kekerasan di sekolah sangat penting bagi perkembangan anak-anak kita, tetapi ini hanya terjadi ketika para guru dan siswa bersama-sama untuk menjadikan keselamatan fisik dan emosional sebagai prioritas sehingga tujuan tersebut dapat dicapai.

Masa depan tampak penuh harapan. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (dan juga pemerintah daerah di kota Gowa dan Makassar) telah menunjukkan keinginannya untuk memperluas uji coba tersebut ke daerah-daerah lain di Sulawesi Selatan.

Di antara para siswa, program ini diterima dengan baik sebagai langkah awal dalam menangani kekerasan di sekolah.

"Menghentikan perilaku bullying (perundungan) bagi saya merupakan prioritas. Saya memiliki pengalaman yang luar biasa dengan para fasilitator dan pembuat perubahan lainnya. Kita perlu berteman dengan lebih banyak orang, "kata salah satu pembuat perubahan.  

"Setiap anak berarti di sekolah ini, maka tidak satu pun anak boleh mengalami bullying."