Sarah Grainger
Novianti, 7 tahun, bersama ibunya Amelia di atas pantai dekat rumah mereka. © UNICEF Indonesia/2014/Sarah Grainger |
FUNGAFENG, Provinsi NTT, Indonesia, April 2014 - Novianti Atafan, 7 tahun, adalah salah satu anak terakhir di desanya yang mendapatkan jamban di rumah. Dia tinggal di desa Fungafeng di pinggir pantai pulau Alor di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Keluarganya tinggal di sebuah rumah adat lopo yang terbuat dari bambu dan kayu dengan atap jerami.
Setiap pagi, Novianti dan ibu, ayah, kakek serta 5 kakaknya
harus menuruni lereng di belakang rumahnya untuk buang air besar di dekat
pantai.
Semua itu berubah ketika seorang sanitarian - petugas
kesehatan lokal yang memiliki spesialisasi dalam sanitasi dan hygiene -
mengunjungi desanya.
"Saya merasa malu tentang apa yang kami lakukan," ucap
Amelia, ibunda Novianti. "Dan saya bisa melihat hubungan antara buang air
di pantai dengan lalat yang mengkontaminasi makanan dan air kita."
Keluarga ini membangun jamban mereka sendiri beberapa meter
dari rumah mereka, dan kini semua anggota keluarga menggunakannya.
"Sekarang kita tidak perlu membuang-buang waktu berjalan
turun ke pantai setiap pagi," kata Amelia.
Pemicuan
Agnes Gale, seorang sanitarian dari Puskesmas setempat,
ialah orang yang berhasil memacu keluarga Atafan untuk bertindak. Dia
mengunjungi Fungafeng dan tiga desa lain untuk mencoba memicu warga untuk
membangun dan menggunakan jamban, dan tidak buang air besar sembarangan (BABS).
Dia menunjukkan bagaimana tinja bisa mencemari air dan
makanan. Dia juga menekankan kepada warga bahwa tetangga mereka bisa melihat ketika
mereka buang air besar di tempat terbuka.
Sanitarian
Agnes Gale mengunjungi Novianti dan Amelia di rumah adat lopo mereka.
© UNICEF Indonesia/2014/Sarah Grainger
|
"Dua elemen yang paling efektif dalam mengubah perilaku
seseorang adalah rasa malu dan jijik," katanya.
Sebelum proses pemicuan, 90 dari 129 rumah tangga di
Fungafeng memiliki jamban, dan masih ada orang yang buang air besar
sembarangan. Kini penduduk mengklaim bahwa desa mereka telah bebas dari
perilaku BABS. Namun beberapa orang masih sharing toilet dengan tetangga, dan ada
juga yang memiliki jamban tanpa septic tank.
"Kami ingin mempromosikan peningkatan kualitas toilet
yang dimiliki orang," ujar Agnes. "Tujuan kami adalah agar semua
orang memiliki jamban sehat dan permanen. Jika satu orang saja kembali buang
air besar di tempat terbuka, seluruh warga beresiko terkena kontaminasi."
Memantau Perkembangan
Indonesia mempunyai jumlah orang yang mempraktekkan BABS
tertinggi kedua di dunia (setelah India), dan masalah ini paling akut di
provinsi NTT.
Sanitasi yang buruk meningkatkan kasus penyakit diare. Tingkat
diare adalah 66% lebih tinggi di antara anak-anak dari keluarga yang BABS, dibandingkan
dengan rumah tangga yang memiliki toilet pribadi dan septic tank. Diare juga
masih merupakan pembunuh utama anak-anak di Indonesia: Sekitar 31% kematian
bayi dan 25% kematian anak-anak usia satu hingga lima tahun disebabkan oleh
diare.
Bersama dengan Dinas Kesehatan, UNICEF melatih Agnes dan 9
sanitarian lainnya di Alor tentang cara penggunaan SMS untuk memantau desa-desa
yang menjadi tanggung jawab mereka.
Agnes Gale mengirim laporan SMSnya dari Puskesmas
© UNICEF Indonesia/2014/Sarah Grainger
|
Setiap kali Agnes mengunjungi Fungafeng, ia mencatat jenis
fasilitas sanitasi yang digunakan setiap rumah tangga. Ada empat kategori -
buang air besar terbuka, jamban bersama, jamban semi permanen dan jamban
permanen.
Dia mengirimkan informasi ini melalui SMS ke database pusat
yang dipantau oleh petugas kesehatan kabupaten. Sistem ini jauh lebih cepat
daripada metode sebelumnya di mana sanitarian mengirimkan laporan perkembangan
di desa-desa mereka setiap tiga bulan.
"Sekarang kami mendapatkan data secara langsung dan bisa
melihat seberapa efektif upaya sanitarian kami," kata Dominggus Prakameng,
Kepala Kesehatan Lingkungan di kabupaten Alor. "Ini membantu kami dalam merencanakan
alokasi sumber daya ke tempat-tempat di mana sanitasi masih menjadi
masalah."
Para sanitarian juga lebih memilih sistem pelaporan SMS baru
ini. "Lebih cepat dan lebih mudah. Kami tidak perlu mengisi formulir,
cukup mengumpulkan informasi dan mengirimkannya, "kata Agnes.
Proses pemicuan dan pemantauan tampak memiliki efek pada
kesehatan di Fungafeng. Dulu desa ini mengalami wabah diare setiap tahun, namun
Agnes mengatakan bahwa ini tidak terjadi lagi.
Berkat dukungan dari Bill and Melinda Gates Foundation dan
Unilever, UNICEF meluncurkan sistem pemantauan SMS ini di Sulawesi Selatan, NTT
dan Papua.