CALANG, Indonesia, Oktober 2014 – Dian Permata Sari
berusia enam tahun ketika tsunami lautan India menghancurkan rumahnya di
Calang, sekitar 100 kilometer bagian selatan Banda Aceh di Sumatra.
Setelah gempa bumi yang dahsyat mengguncang di pagi
26 Desember 2004, keluarga Dian melihat air laut surut. Mereka berhasil lari ke
daerah pegunungan sebelum tsunami menghantam daratan. Selama dua hari keluarga
itu berlindung di sana, menjauhi pantai.
“Ketika kami kembali, semua bangunan telah hancur,
pohon-pohon tumbang, dan mayat-mayat serta sampah dan reruntuhan bercampur di
mana-mana,” ujar Dian, yang sekarang berusia 16 tahun.
*
Sekitar 700 kilometer dari situ di ibukota Sumatera
Utara, Medan, Elvi Zahara Siregar juga merasakan gempa bumi tersebut. Sebagai
guru yang baru mendapatkan kualifikasi, Elvi, 26, masih hidup bersama orang
tuanya pada saat itu.
Hari itu masih tercetak di ingatannya – gempa bumi
yang menyebabkan tsunami di Aceh mengguncang rumahnya di Medan dengan dahsyat
sampai dia tidak bisa berdiri selama lima menit. Air tumpah dari akuarium orang
tuanya menggenangi lantai.
Selama beberapa hari ke depan, dia menyaksikan di
TV betapa luar biasa dampak bencana tersebut di Provinsi Aceh.
*
Di Aceh, keluarga Dian harus membangun hidup mereka
kembali. Orang tuanya menginginkan ia kembali bersekolah sesegera mungkin.
“Mereka menganggap sangat penting bagi saya untuk
bersama anak-anak lain, dan untuk kembali ke rutinitas sekolah setiap hari,”
katanya mengenang masa tersebut.
Segera setelah bencana tersebut, UNICEF bekerja
bersama instansi Pemerintah Indonesia untuk membangun sekolah-sekolah sementara
di Aceh untuk memberi rasa normal pada anak-anak seperti Dian yang telah
selamat dari bencana.
Upaya yang dilakukan termasuk menyediakan
tenda-tenda untuk ruang-ruang kelas darurat, serta menyediakan peralatan yang
dibutuhkan lainnya. UNICEF juga merekrut guru-guru untuk menggantikan ribuan
yang telah meninggal karena tsunami.
*
Setiap pagi Elvi berangkat ke sekolah bersama suaminya. Setelah masa kerjanya sebagai guru relawan selesai, Elvi memutuskan untuk tetap tinggal di Aceh. © UNICEF Indonesia / 2014 / Achmadi |
Tidak lama setelah bencana, Elvi melihat iklan
lowongan di koran di Medan – UNICEF dan Kementerian Pendidikan memanggil
ratusan guru-guru untuk menjadi guru relawan di Aceh agar sekolah-sekolah dapat
beroperasi lagi. Ia langsung mendaftarkan diri.
“Saya hanya ingin melakukan sesuatu yang berguna,”
katanya.
Setelah menjalani ujian tertulis dan pelatihan
selama seminggu oleh anggota TNI, Elvi menandatangani kontrak enam bulan untuk
berangkat ke Calang, kota di daerah pesisir yang dirusakkan oleh tsunami, untuk
mengajarkan anak-anak di sana. Semua ini dia lakukan tanpa imbalan apapun.
Dalam waktu beberapa bulan setelah bencana, UNICEF
membantu merekrut 1.110 guru-guru sementara seperti Elvi, yang dipekerjakan di
13 kabupaten yang terdampak oleh tsunami.
*
Ketika menuruni kapal yang membawanya ke Calang,
Elvi terkejut. Semua jalan-jalan menuju kota tersebut telah dihancurkan oleh
tsunami.
“Seluruh kota telah tersapu habis, tidak ada
bangunan yang masih berdiri,” katanya mengingat-ingat pengalaman pertamanya di
Calang.
Elvi adalah salah satu dari 50 guru relawan yang
dikirim ke Kabupaten Aceh Jaya. Di sana mereka bertemu orang-orang yang masih
trauma oleh bencana tersebut. Kebanyakan
dari mereka masih tinggal di tenda sementara, dan hidup dari jatah beras dan
bahan makanan yang dibagikan oleh LSM.
Ini juga menjadi bagian dari hidup Elvi. Dia
tinggal di bagian bangunan yang masih berdiri di salah satu sekolah lokal, dan
mulai memberikan pelajaran setiap hari.
“Saya mengajar anak-anak dari berbagai usia, dari
usia 6-18 tahun, siapapun yang ada dan ingin belajar,” katanya.
Pada mulanya, sumber daya masih terbatas dan belum
ada buku bacaan sekolah, sehingga Elvi harus berimprovisasi. Untungnya dia
telah mengantisipasi ini dan membawa persediaan pensil dan kertas dari Medan.
Dalam beberapa minggu UNICEF telah membangun lebih
dari 1.000 ruang kelas sementara di tenda-tenda dan menyediakan 230.000 buku
pelajaran serta hampir 7.000 “Sekolah dalam Kotak”, perangkat mengajar dan
belajar, untuk lebih dari setengah juta anak-anak.
Bersama Save the Children, World Vision, the
International Rescue Committee, AusAid, USAID dan lembaga donor lainnya, UNICEF
meluncurkan kampanye Kembali ke Sekolah yang menjadi landasan bantuan tanggap
kemanusiaan dan pembangunan kembali jangka panjang di Aceh. Sebagai bagian dari
program ini, UNICEF membantu membangun 345 sekolah baru tahan gempa dan ramah
anak. Dalam period pembangunan kembali pasca tsunami, UNICEF terus berfokus
pada perbaikan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah di Aceh.
*
Murid-murid SMK Negeri 1 Calang. Sebagian besar dari mereka telah kehilangan rumah dan keluarga akibat bencana tsunami. © UNICEF Indonesia / 2014 / Achmadi |
Ketika Elvi mulai bekerja di Calang, banyak dari
murid-muridnya yang masih terdampak secara psikologis oleh apa yang terjadi
kepada mereka, keluarga dan teman-teman mereka. Dia menjelaskan mereka penyebab
tsunami untuk membuat mereka mengerti.
Tinggal dan bekerja dalam kondisi seperti saat itu
sangat berat secara fisik dan mental. Ketika kontrak enam bulannya telah
selesai, Elvi siap untuk kembali ke Medan. Namun masyarakat lokal menginginkan
dia untuk tinggal. Bersama mereka mengumpulkan uang untuk membayar gajinya.
“Menjadi guru adalah panggilan saya,” ujar Elvi,
“Dan saya memutuskan saya bisa mengajar di mana saja, tidak perlu di Medan.
Karena itu saya memutuskan untuk menetap di sini.”
Enam bulan menjadi setahun, lalu dua tahun. Dengan
situasi perlahan beralih menjadi normal di Calang, salah satu sekolah negeri
menawarkan Elvi kontrak permanen, dan ia menerimanya. Pada tahun 2007, Elvi
menikahi tunangannya yang berhasil ia yakinkan untuk pindah ke Aceh dari Medan.
*
Sekarang, 10 tahun kemudian, Elvi masih hidup dan
bekerja di Calang. Dia mengajar bisnis kepada murid-murid SMKN 1, termasuk
Dian. Kelas-kelasnya berlangsung dengan interaktif dan menyenangkan.
Murid-murid dibagi dalam beberapa kelompok untuk menangani proyek bisnis yang
kemudian mereka presentasikan di kelas.
“Saya merasa menjadi bagian dari masyarakat di
sini,” katanya. “Kadang-kadang saya masih bertemu anak-anak yang saya ajar di
tahun 2005. Mereka seperti adik-adik saya sendiri. Mengetahui keberadaan mereka
adalah salah satu alasan saya tetap di sini.”