Annual Report

Monday, 8 December 2014

Guru Relawan yang tinggal dan membangun masyarakat setempat

Elvi Zarahah Siregar kini mengajar di SMK Negeri 1 Calang, Aceh Jaya. Sepuluh tahun yang lalu, ia adalah anggota dari kelompok guru relawan pertama yang dikirim ke Aceh setelah tsunami. © UNICEF Indonesia / 2014 / Achmadi


CALANG, Indonesia, Oktober 2014 – Dian Permata Sari berusia enam tahun ketika tsunami lautan India menghancurkan rumahnya di Calang, sekitar 100 kilometer bagian selatan Banda Aceh di Sumatra.

Setelah gempa bumi yang dahsyat mengguncang di pagi 26 Desember 2004, keluarga Dian melihat air laut surut. Mereka berhasil lari ke daerah pegunungan sebelum tsunami menghantam daratan. Selama dua hari keluarga itu berlindung di sana, menjauhi pantai.

“Ketika kami kembali, semua bangunan telah hancur, pohon-pohon tumbang, dan mayat-mayat serta sampah dan reruntuhan bercampur di mana-mana,” ujar Dian, yang sekarang berusia 16 tahun.

*

Sekitar 700 kilometer dari situ di ibukota Sumatera Utara, Medan, Elvi Zahara Siregar juga merasakan gempa bumi tersebut. Sebagai guru yang baru mendapatkan kualifikasi, Elvi, 26, masih hidup bersama orang tuanya pada saat itu.

Hari itu masih tercetak di ingatannya – gempa bumi yang menyebabkan tsunami di Aceh mengguncang rumahnya di Medan dengan dahsyat sampai dia tidak bisa berdiri selama lima menit. Air tumpah dari akuarium orang tuanya menggenangi lantai.

Selama beberapa hari ke depan, dia menyaksikan di TV betapa luar biasa dampak bencana tersebut di Provinsi Aceh.


*


Di Aceh, keluarga Dian harus membangun hidup mereka kembali. Orang tuanya menginginkan ia kembali bersekolah sesegera mungkin.

“Mereka menganggap sangat penting bagi saya untuk bersama anak-anak lain, dan untuk kembali ke rutinitas sekolah setiap hari,” katanya mengenang masa tersebut.

Segera setelah bencana tersebut, UNICEF bekerja bersama instansi Pemerintah Indonesia untuk membangun sekolah-sekolah sementara di Aceh untuk memberi rasa normal pada anak-anak seperti Dian yang telah selamat dari bencana.

Upaya yang dilakukan termasuk menyediakan tenda-tenda untuk ruang-ruang kelas darurat, serta menyediakan peralatan yang dibutuhkan lainnya. UNICEF juga merekrut guru-guru untuk menggantikan ribuan yang telah meninggal karena tsunami.


*

Setiap pagi Elvi berangkat ke sekolah bersama suaminya. Setelah masa kerjanya sebagai guru relawan selesai, Elvi memutuskan untuk tetap tinggal di Aceh.
© UNICEF Indonesia / 2014 / Achmadi  


Tidak lama setelah bencana, Elvi melihat iklan lowongan di koran di Medan – UNICEF dan Kementerian Pendidikan memanggil ratusan guru-guru untuk menjadi guru relawan di Aceh agar sekolah-sekolah dapat beroperasi lagi. Ia langsung mendaftarkan diri.

“Saya hanya ingin melakukan sesuatu yang berguna,” katanya.

Setelah menjalani ujian tertulis dan pelatihan selama seminggu oleh anggota TNI, Elvi menandatangani kontrak enam bulan untuk berangkat ke Calang, kota di daerah pesisir yang dirusakkan oleh tsunami, untuk mengajarkan anak-anak di sana. Semua ini dia lakukan tanpa imbalan apapun.

Dalam waktu beberapa bulan setelah bencana, UNICEF membantu merekrut 1.110 guru-guru sementara seperti Elvi, yang dipekerjakan di 13 kabupaten yang terdampak oleh tsunami.

*

Ketika menuruni kapal yang membawanya ke Calang, Elvi terkejut. Semua jalan-jalan menuju kota tersebut telah dihancurkan oleh tsunami.

“Seluruh kota telah tersapu habis, tidak ada bangunan yang masih berdiri,” katanya mengingat-ingat pengalaman pertamanya di Calang.

Elvi adalah salah satu dari 50 guru relawan yang dikirim ke Kabupaten Aceh Jaya. Di sana mereka bertemu orang-orang yang masih trauma oleh  bencana tersebut. Kebanyakan dari mereka masih tinggal di tenda sementara, dan hidup dari jatah beras dan bahan makanan yang dibagikan oleh LSM.

Ini juga menjadi bagian dari hidup Elvi. Dia tinggal di bagian bangunan yang masih berdiri di salah satu sekolah lokal, dan mulai memberikan pelajaran setiap hari.

“Saya mengajar anak-anak dari berbagai usia, dari usia 6-18 tahun, siapapun yang ada dan ingin belajar,” katanya.

Pada mulanya, sumber daya masih terbatas dan belum ada buku bacaan sekolah, sehingga Elvi harus berimprovisasi. Untungnya dia telah mengantisipasi ini dan membawa persediaan pensil dan kertas dari Medan.

Dalam beberapa minggu UNICEF telah membangun lebih dari 1.000 ruang kelas sementara di tenda-tenda dan menyediakan 230.000 buku pelajaran serta hampir 7.000 “Sekolah dalam Kotak”, perangkat mengajar dan belajar, untuk lebih dari setengah juta anak-anak.

Bersama Save the Children, World Vision, the International Rescue Committee, AusAid, USAID dan lembaga donor lainnya, UNICEF meluncurkan kampanye Kembali ke Sekolah yang menjadi landasan bantuan tanggap kemanusiaan dan pembangunan kembali jangka panjang di Aceh. Sebagai bagian dari program ini, UNICEF membantu membangun 345 sekolah baru tahan gempa dan ramah anak. Dalam period pembangunan kembali pasca tsunami, UNICEF terus berfokus pada perbaikan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah di Aceh.

*

Murid-murid SMK Negeri 1 Calang. Sebagian besar dari mereka telah kehilangan rumah dan keluarga akibat bencana tsunami. © UNICEF Indonesia / 2014 / Achmadi


Ketika Elvi mulai bekerja di Calang, banyak dari murid-muridnya yang masih terdampak secara psikologis oleh apa yang terjadi kepada mereka, keluarga dan teman-teman mereka. Dia menjelaskan mereka penyebab tsunami untuk membuat mereka mengerti.

Tinggal dan bekerja dalam kondisi seperti saat itu sangat berat secara fisik dan mental. Ketika kontrak enam bulannya telah selesai, Elvi siap untuk kembali ke Medan. Namun masyarakat lokal menginginkan dia untuk tinggal. Bersama mereka mengumpulkan uang untuk membayar gajinya.

“Menjadi guru adalah panggilan saya,” ujar Elvi, “Dan saya memutuskan saya bisa mengajar di mana saja, tidak perlu di Medan. Karena itu saya memutuskan untuk menetap di sini.”

Enam bulan menjadi setahun, lalu dua tahun. Dengan situasi perlahan beralih menjadi normal di Calang, salah satu sekolah negeri menawarkan Elvi kontrak permanen, dan ia menerimanya. Pada tahun 2007, Elvi menikahi tunangannya yang berhasil ia yakinkan untuk pindah ke Aceh dari Medan.


*

Sekarang, 10 tahun kemudian, Elvi masih hidup dan bekerja di Calang. Dia mengajar bisnis kepada murid-murid SMKN 1, termasuk Dian. Kelas-kelasnya berlangsung dengan interaktif dan menyenangkan. Murid-murid dibagi dalam beberapa kelompok untuk menangani proyek bisnis yang kemudian mereka presentasikan di kelas.

“Saya merasa menjadi bagian dari masyarakat di sini,” katanya. “Kadang-kadang saya masih bertemu anak-anak yang saya ajar di tahun 2005. Mereka seperti adik-adik saya sendiri. Mengetahui keberadaan mereka adalah salah satu alasan saya tetap di sini.”