Annual Report

Friday, 26 December 2014

Indonesia mengenang Tsunami di Aceh dan berterimakasih kepada dunia internasional

- Devi Asmarani



Wakil Presiden Jusuf Kalla (kiri) di stand UNICEF di acara Tsunami Expo, didampingi oleh Koordinator Kantor UNICEF Banda Aceh Umar bin Abdul Azis (kedua dari kiri) dan Kepala Perwakilan UNICEF Indonesia Gunilla Olsson. ©UNICEF Indonesia/2014/Devi Asmarani

BANDA ACEH, Indonesia, 26 Desember 2014 – Ribuan orang berkumpul di Aceh hari ini untuk memperingati tsunami Samudra Hindia yang telah meluluhlantakan provinsi Aceh 10 tahun yang lalu. 

Banyak korban maupun tokoh-tokoh lokal dan asing yang menghadiri peringatan di Blang Padang di Banda Aceh tersebut yang menitikkan air mata ketika mereka mendengarkan puisi dan lagu yang dibawakan dengan iringan foto-foto dan video dari bencana tersebut.

Penyanyi Aceh Rafly mengajak penonton bersamanya menyanyikan lagu yang mengharukan dalam bahasa Aceh, dan penyair terkenal Taufik Ismail membacakan puisi yang mengenang gelombang tsunami yang membunuh sekitar 170.000 orang di provinsi tersebut.

“Ribuan mayat bergelimpangan di lapangan ini,” kata Wakil President Jusuf Kalla di acara tersebut. “Ada rasa bingung, kaget, sedih, takut dan sengsara. Kita semua berdoa.”

Namun bantuan yang luar biasa besarnya untuk Aceh tidak lama setelah tsunami, yang membuat hampir setengah juta warga kehilangan tempat tinggal mereka, membantu menguatkan semangat para korban yang hidup.


Kalla, yang saat itu wakil presiden di pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, menekankan pentingnya bantuan tanggap darurat internasional, termasuk pembagian bantuan yang cepat, pencarian korban, dan distribusi logistik.

“Tanpa bantuan internasional, tidak mungkin pemerintah dapat merehabilitasi daerah-daerah yang terdampak. Dalam 10 hari, kami mengadakan UN Summit di Jakarta, dan dalam beberapa jam di summit tersebut semua berkomitmen memberikan AS$5 milyar untuk mendanai proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh,” ujarnya. Bantuan tersebut digunakan untuk membangun kembali jalan-jalan, rumah sakit, perumahan dan mesjid, tambahnya.

Segera setelah bencana terjadi, UNICEF menjalankan peran penting dalam menyelamatkan anak-anak dari kematian dan penyakit, membantu mereka untuk bangkit dari pengalaman yang membuat trauma, membawa mereka kembali bersekolah, serta mempersatukan mereka kembali dengan orang tua atau wali mereka.

Berkat dukungan dan kontribusi keuangan dalam skala yang belum pernah ada sebelumnya dari dari donor-donor individu dan korporasi di seluruh dunia, senilai AS$336 juta untuk Aceh saja, UNICEF dapat melakukan kegiatan tanggap darurat yang masif, diikuti oleh investasi strategis dalam pembangunan jangka panjang provinsi tersebut berdasarkan prinsip “Membangun Kembali dengan Lebih Baik”.

Salah satu kontribusi penting UNICEF adalah dukungan yang diberikan kepada hampir 3.000 anak yatim atau yang terpisah dari orang tua mereka. Bersama mitranya, UNICEF berhasil mempersatukan kembali sekitar 110 anak dengan orang tua mereka, dan menempatkan yang lain di anggota keluarga terdekat atau dalam panti asuhan. UNICEF juga telah berhasil mengadvokasikan perlindungan anak dari perdagangan anak.

Seorang anak melihat foto-foto anak-anak yang hilang di Pusat Layanan Anak yang didukung oleh UNICEF di kamp pengungsian TVRI. Orang tua yang kehilangan anak mereka dapat mendaftarkan foto dan detail anak mereka di pusat layanan tersebut.  © UNICEF/NYHQ2005-0507/Donnan


Kepala Perwakilan UNICEF di Indonesia Gunilla Olsson memuji rakyat Aceh atas ketahanan mereka dan keberhasilan mereka bangkit dari kehancuran pasca bencana.

“Upaya rakyat Aceh yang luar biasa untuk membangun kembali dengan lebih baik apa yang telah dihancurkan oleh gelombang tsunami, dengan dukungan masyarakat internasional, telah memberikan hasil yang besar. Rekonstruksi berdasarkan prinsip Membangun dengan Lebih Baik telah memberikan kesempatan yang lebih baik bagi anak-anak untuk tumbuh sehat, dan mengembangkan potensi mereka,” ujar Olsson.

Peringatan 10-tahun Tsunami tersebut merefleksikan pelajaran yang telah dipetik dari bencana, yang sangat penting bagi Indonesia karena lokasinya yang membuatnya rawan bencana alam.

“Tidak ada pelajaran yang lebih besar dibandingkan meninggalnya lebih dari 100.000 orang,” kata Gubernur Aceh Zaini Abdullah, sambil menambahkan bahwa tsunami telah menyadarkan Aceh dan Indonesia akan pentingnya mitigasi bencana.

“Tsunami telah mendasari semangat Pemerintah Aceh untuk memasukkan program kebencanaan dalam RPJM kami,” ujarnya.

Dalam acara tersebut, Shuya Takahashi, Kepala Kantor Kebijakan Rekonstruksi di kota Higashi Matsushima, Jepang, berbagi pengalaman kotanya setelah tsunami 2011 yang menewaskan 1.109 orang dan berdampak pada 23.000 rumah tangga. Kedua kota di Jepang dan Indonesia tersebut baru-baru ini membangun kemitraan dalam berbagi informasi dan pengalaman dalam mitigasi bencana.


“Indonesia dan Jepang telah kehilangan banyak. Mari kita upayakan agar ini tidak terjadi lagi,” katanya.