Annual Report

Saturday, 20 December 2014

Manfaat jangka panjang dari “Building Back Better”


Para siswa SD Muhammadiyah 1 Banda Aceh menggunakan tandu untuk mengangkat seorang 'korban' dalam latihan untuk menghadapi gempa. © UNICEF Indonesia/2014/Achmadi

BANDA ACEH, Indonesia, October 2014 – Bayangkan situasi ini: Minggu pagi di akhir bulan Desember di Banda Aceh, Anda dibangunkan oleh gempa bumi besar.

Tak lama kemudian Anda berlari menyelamatkan diri dari sapuan air bah tsunami,yang meratakan hampir semua yang dilewatinya. Anda tidak tahu di mana anggota keluarga Anda berada, hanya bagaimana menyelamatkan diri dengan mendaki ke tempat yang lebih tinggi yang ada di benak Anda. Akhirnya Anda mencapai puncak sebuah bukit, bersama dengan orang-orang lain yang telah terluka dalam perjuangan mereka untuk melarikan diri dari tsunami.

Di atas bukit tersebut Anda melihat kehancuran yang dialami kota Banda Aceh. Pohon, rumah dan jalanan tersapu bersih. Reruntuhan, potongan besi, dahan-dahan pohon… serta mayat berserakan dimana-mana. Anda telah kehilangan segalanya, dan bahkan tidak tahu apabila keluarga Anda selamat. Semua infrastruktur hilang. Ketika Anda mulai menyadari apa yang telah terjadi, Anda berpikir: Meskipun saya selamat, bisakah saya mendapatkan makanan dan minuman? Di mana saya akan tidur?

Inilah yang dialami ratusan ribu orang yang menjadi korban tsunami Samudra Hindia yang melanda Banda Aceh sepuluh tahun yang lalu pada tanggal 26 Desember 2014, dan menewaskan sekitar 170.000 orang di daerah tersebut. Bencana itu juga meninggalkan puluhan ribu orang tanpa sandang, pangan dan papan. Tak lama setelah itu, UNICEF memulai upaya untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhan dasar seperti air minum bersih untuk mengurangi risiko penyakit-penyakit berpotensi mematikan.


Air bersih untuk 100.000 pengungsi


Tak lama kemudian, UNICEF menemukan sebuah sebuah fasilitas pengolahan air yang telah rusak di Lambaro, suatu area di Banda Aceh yang tidak terkena dampak tsunami. UNICEF pun membantu insinyur dan teknisi Indonesia untuk memperbaiki fasilitas tersebut.

"Kami bekerja siang dan malam tanpa henti," kata Teuku Novizal Ayub, mantan direktur fasilitas pengolahan air tersebut.


Fasilitas pengolahan air di Lambaro ini tersambung ke dalam sistem pipa kota, memasok air minum bersih untuk sekitar 50.000 orang. © UNICEF Indonesia/2014/Achmadi

Fasilitas ini menyediakan air untuk sekitar 100.000 pengungsi yang tinggal di kamp-kamp di dalam dan sekitar Banda Aceh.

Namun, yang terpenting adalah upaya ini dilakukan dengan mempertimbangkan hasil dan tujuan jangka panjang.

"Kami berusaha memastikan agar proyek ini bisa menjadi sumber daya yang berkelanjutan, sehingga akan terus menyediakan air bersih untuk selama mungkin," ucap Pak Ayub.

Kini, sepuluh tahun sejak bencana tsunami terjadi, fasilitas di Lambaro ini masih terus melayani masyarakat Banda Aceh. Air yang dihasilkan tersalur ke dalam sistem pasokan air minum bersih kota, yang memasok sekitar 50.000.

Kinerja UNICEF pada fasilitas pengolahan air ini adalah salah satu contoh dari pendekatan ‘Membangun Kembali Dengan Lebih Baik' (‘Building Back Better’) pasca tsunami Samudera Hindia.


Membangun Sekolah Yang Lebih Baik


Anak-anak di sekolah dasar Muhammadiyah di Banda Aceh juga mendapatkan manfaat dari pendekatan ini. Bangunan sekolah ini hancur akibat tsunami. Hanya 17 dari 300 siswa selamat pada hari itu.

Pada awalnya, sekolah ini dibangun dengan struktur semi permanen yang terbuat dari beton dan kayu yang sering bocor ketika hujan. Meja dan kursi pun terbuat dari kayu lapis tipis.

UNICEF berkomitmen untuk membangun kembali dengan lebih baik, agar sekolah Muhammadiyah yang baru akan mampu bertahan ketika terjadi bencana alam di masa depan.

Setelah tsunami, para ahli merancang gedung-gedung sekolah baru yang tahan gempa, dengan fondasi yang lebih dalam dan sistem penunjang yang kokoh. Meja sekolah pun kini menggunakan permukaan kayu tebal yang dipasang dengan penyangga logam.

"Kini kami merasa sangat nyaman karena anak-anak lebih aman," kata Ibu Zahariah, sang kepala sekolah.

SD Muhammadiyah menjadi acuan bagi lebih dari 300 sekolah yang dibangun UNICEF di Aceh setelah tsunami. 

Murid-murid SD Muhammadiyah 1 berlindung di bawah meja saat pelatihan menghadapi gempa. Bangunan sekolah baru dirancang agar tahan gempa dan dilengkapi dengan meja-meja kayu tebal berkaki besi. © UNICEF Indonesia/2014/Achmadi

Murid-murid dilatih cara menghadapi gempa secara teratur. Ketika alarm berbunyi, mereka diajarkan untuk berlindung di bawah meja masing-masing, dan menjauh dari kaca jendela. Setelah getaran gempa berlalu, mereka harus pergi meninggalkan bangunan.

Nasywa Zulkarmain, 11 tahun, tahu tentang tsunami dari kisah-kisah orang tua dan saudaranya. Keluarganya selamat karena mereka berhasil mencapai dataran tinggi dengan menggunakan mobil.

“Saya takut dengan gempa,” ucap siswa kelas 6 SD ini, yang baru berusia 1 tahun ketika tsunami melanda. “Tapi saya tahu apa yang harus dilakukan kalau terjadi”, tambahnya. 

Para murid SD Muhammadiyah 1 dilatih untuk melindungi kepala mereka dengan menggunakan tas sekolah jika gempa terjadi. © UNICEF Indonesia/2014/Achmadi

Ibu Zahariah, sang Kepala Sekolah, sangat terpukul ketika begitu banyak muridnya meninggal akibat tsunami pada tahun 2004. Sekarang dia tahu anak-anak seperti Nasywa memiliki kesempatan yang lebih baik untuk bertahan hidup jika tsunami lain menyerang Banda Aceh.

"Menurut saya anak-anak tidak akan panik," katanya. "Rasanya lega mengetahui bahwa mereka siap dan akan mampu melindungi diri mereka sendiri."

UNICEF bekerja keras bukan hanya untuk membangun kembali infrastruktur, tetapi untuk membangun kembali dengan lebih baik. Sepuluh tahun kemudian, manfaat dari proyek –proyek yang dimulai UNICEF sebagai respon terhadap tsunami masih dirasakan oleh masyarakat setempat.