Nick Baker, Communication and Knowledge Management Officer
Jakarta, 14 Januari 2015 - Konferensi pers pertama saya di UNICEF Indonesia adalah salah satu yang tidak bisa segera terlupakan bagi saya. Mengapa? Karena para wartawan yang hadir berusia antara 9 - 12 tahun, dan subjek utamanya adalah tinja.
Sepuluh murid peserta program Reporter Cilik dari Media Indonesia diundang untuk mewawancarai staf UNICEF tentang sebuah topik yang tidak nyaman - buang air besar sembarangan (BABS).
Lebih dari 54 juta penduduk Indonesia buang air besar di tempat terbuka, karena mereka tidak memiliki jamban atau toilet. Ini adalah angka yang kedua tertinggi di dunia. Hanya India yang memiliki jumlah yang lebih tinggi.
WASH Specialist Claire Quillet memberitahu mereka bagaimana BABS terkait dengan berbagai penyakit yang dapat dicegah namun berpotensi mematikan, misalnya diare dan pneumonia. Ini adalah kontributor utama untuk lebih dari 370 kematian balita per hari di negara ini.
BABS juga tidak terbatas pada daerah pedesaan miskin. Sebuah laporan WHO/UNICEF baru-baru ini menemukan bahwa 18 juta orang di perkotaan di Indonesia juga masih buang air besar di tempat terbuka.
Namun bukan hanya itu saja yang mengejutkan para calon wartawan ini. Mereka juga tampak sangat tertarik untuk mempelajari bagaimana masalah ini dapat mempengaruhi semua orang di Indonesia. "Siapapun bisa terkena penyakit akibat dari kotoran di lingkungan mereka," jelas Claire. "Masalah ini berpotensi mempengaruhi keluarga dan teman-teman kalian juga, di mana pun kalian berada."
Sepuluh murid peserta program Reporter Cilik dari Media Indonesia diundang untuk mewawancarai staf UNICEF tentang sebuah topik yang tidak nyaman - buang air besar sembarangan (BABS).
Lebih dari 54 juta penduduk Indonesia buang air besar di tempat terbuka, karena mereka tidak memiliki jamban atau toilet. Ini adalah angka yang kedua tertinggi di dunia. Hanya India yang memiliki jumlah yang lebih tinggi.
WASH Specialist Claire Quillet memberitahu mereka bagaimana BABS terkait dengan berbagai penyakit yang dapat dicegah namun berpotensi mematikan, misalnya diare dan pneumonia. Ini adalah kontributor utama untuk lebih dari 370 kematian balita per hari di negara ini.
BABS juga tidak terbatas pada daerah pedesaan miskin. Sebuah laporan WHO/UNICEF baru-baru ini menemukan bahwa 18 juta orang di perkotaan di Indonesia juga masih buang air besar di tempat terbuka.
Namun bukan hanya itu saja yang mengejutkan para calon wartawan ini. Mereka juga tampak sangat tertarik untuk mempelajari bagaimana masalah ini dapat mempengaruhi semua orang di Indonesia. "Siapapun bisa terkena penyakit akibat dari kotoran di lingkungan mereka," jelas Claire. "Masalah ini berpotensi mempengaruhi keluarga dan teman-teman kalian juga, di mana pun kalian berada."
WASH Specialist Claire Quillet menjawab pertanyaan dari para partisipan Reporter Cilik. ©UNICEF Indonesia/2015/Nick Baker |
Karena baru sampai di negara ini satu minggu yang lalu, hal ini cukup mengejutkan bagi saya. Saya tidak tahu bahwa BABS adalah suatu masalah yang sangat besar dan berbahaya di Indonesia.
Ternyata bukan saya saja yang merasa begitu. Diskusi masyarakat tentang topik ini masih sangat terbatas di Indonesia. Kegiatan seperti konferensi pers Reporter Cilik bertujuan untuk mengubah hal tersebut.
UNICEF Indonesia juga baru-baru ini meluncurkan sebuah kampanye bernama Tinju Tinja yang menggunakan media sosial untuk menyebarkan informasi tentang dampak kesehatan dari BABS.
Kampanye tersebut mengajak mereka yang aktif di media online untuk menjadi agen perubahan di komunitas dan keluarga mereka demi penggunaan dan pembuatan toilet atau jamban yang layak.
Pemerintah telah mencanangkan tujuan untuk mengakhiri BABS di seluruh negeri sebelum tahun 2019. Kampanye UNICEF ini bertujuan untuk membantu mencapai tujuan tersebut.
Para siswa meninggalkan kantor UNICEF Indonesia untuk menulis berita mereka untuk Media Indonesia dan publikasi lainnya.
Mudah-mudahan hasil tulisan mereka akan terus meningkatkan kesadaran akan risiko yang berkaitan dengan BABS, serta mendorong seluruh rakyat Indonesia untuk menjadi bagian dari solusi.
Belum pernah saya begitu tertarik pada sebuah diskusi tentang tinja.
Ternyata bukan saya saja yang merasa begitu. Diskusi masyarakat tentang topik ini masih sangat terbatas di Indonesia. Kegiatan seperti konferensi pers Reporter Cilik bertujuan untuk mengubah hal tersebut.
UNICEF Indonesia juga baru-baru ini meluncurkan sebuah kampanye bernama Tinju Tinja yang menggunakan media sosial untuk menyebarkan informasi tentang dampak kesehatan dari BABS.
Kampanye tersebut mengajak mereka yang aktif di media online untuk menjadi agen perubahan di komunitas dan keluarga mereka demi penggunaan dan pembuatan toilet atau jamban yang layak.
Pemerintah telah mencanangkan tujuan untuk mengakhiri BABS di seluruh negeri sebelum tahun 2019. Kampanye UNICEF ini bertujuan untuk membantu mencapai tujuan tersebut.
Para siswa meninggalkan kantor UNICEF Indonesia untuk menulis berita mereka untuk Media Indonesia dan publikasi lainnya.
Mudah-mudahan hasil tulisan mereka akan terus meningkatkan kesadaran akan risiko yang berkaitan dengan BABS, serta mendorong seluruh rakyat Indonesia untuk menjadi bagian dari solusi.
Belum pernah saya begitu tertarik pada sebuah diskusi tentang tinja.