Mendapat kesempatan untuk mengunjungi Papua adalah hal yang sangat menyenangkan sekaligus menegangkan. Awalnya, saya pikir akan banyak cerita-cerita menyedihkan yang akan ditulis sepulangnya dari sana. Ingat betul, sehari sebelum keberangkatan seorang teman di kantor berkata “siap-siap sedih deh Din kalau ke sana.”
Perasaan campur aduk antara takut, senang, dan penasaran menggandrungi diri saya ketika mendarat di bandar udara Wamena. Kota yang namanya memiliki arti “Babi Jinak” ini cukup banyak didatangi pendatang, mulai dari pedagang makanan, pegawai hotel, hingga pelayan masyarakat mayoritas bukan suku asli Papua. Salah satunya adalah Dokter Filan yang menemani saya dan beberapa teman officer UNICEF lainnya pergi mengunjungi desa-desa di pedalaman Wamena.
2010, dokter beranak satu ini ditugaskan menjadi pelayan kesehatan di Desa Wollo - desa pertama yang kami kunjungi. Bermodalkan semangat pengabdian, beliau belajar bahasa asli Suku di Wamena, demi memudahkan pelayanannya kepada masyarakat khususnya Ibu dan Anak.
“Tentu ada rasa takut dan cemas saat pertama kali bertugas di sini, tapi yang terpenting bagi saya yaitu manfaat untuk masyarakat.” Ungkap dokter Filan.
Tantangan utama lainnya menurut beliau adalah adaptasi dengan masyarakat setempat, medan perjalanan yang sulit dilalui (pada saat itu), dan menemukan kader-kader kesehatan untuk membantu pelayanan di Desa Wollo. Enam tahun merupakan waktu yang cukup panjang untuk akhirnya tidak ada lagi kematian Ibu saat melahirkan, mall nutrisi, stunting, ataupun masalah kesehatan lainnya. Bukan waktu yang sebentar untuk akhirnya jeripayah Dokter Filan membuahkan hasil.
Sepanjang perjalanan, salah satu teman officer yang juga seorang dokter bercerita mengenai salah satu Puskesmas di Kabupaten Jayawijaya yang didukung oleh UNICEF. “Dua tahun yang lalu Din, sebelum saya berangkat melanjutkan sekolah. Program di sana tuh dianggap gagal, karena mamah-mamah itu sedikit sekali yang datang untuk imunisasi, PosTu-nya sepi. Padahal salah satu indikator keberhasilan program itu adalah tempat pelayanan kesehatannya beroperasi dan berguna untuk masyarakat. Nah, kemarin pas saya datang berkunjung, udah ramai, dan beroperasi dengan baik, jumlah kematian juga berkurang signifikan.” Cerita Dokter Ratih penuh semangat.
Upaya yang dilakukan oleh Dokter Filan dan Dokter Ratih menegaskan bahwa butuh waktu yang tidak singkat untuk membuat perubahan bagi Ibu dan Anak. Bahwasanya ada proses, tenaga, sumberdaya, dan waktu yang dikorbankan untuk menyalakan masa depan anak-anak di Timur Indonesia. Sama halnya dengan saya, ada proses yang harus dilalui selama dua hari di sana, hingga akhirnya bisa mengatakan kepada teman lainnya yang akan berangkat nanti, “Siapkan kepala untuk merekam dan jari untuk menulis banyak cerita perubahan yang ada di sana. Papua itu bukan menyedihkan, tapi seperti Dokter Filan dan Dokter Ratih: MEMBANGGAKAN.”
Bagi saya, cerita keberhasilan dari kedua dokter di atas menandakan bahwa pekerjaan UNICEF pun tidak bisa berhenti sampai di sini. Ada 85 Juta Anak Indonesia yang harus terus dipenuhi haknya atas kesehatan. Ada banyak dokter lainnya yang juga harus didukung pengorbanannya untuk Anak Indonesia. Tentu ini tidak menjadi tanggung jawab UNICEF saja tapi banyak pihak lainnya di luar sana. Karena pemenuhan hak anak bukan hanya tugas Dokter Filan, Dokter Ratih, saya, anda, ataupun UNICEF, tapi tugas kita semua.
Ayo ikut nyalakan masa depan Anak Indonesia bersama UNICEF!