Selalu ada cerita yang tak terduga dalam setiap perjalanan mengunjungi Indonesia Timur bersama UNICEF. Bertemu dengan orang baru, berkomunikasi dengan cara pandang yang seringan mungkin dan melakukan interaksi dengan masyarakat setempat dengan gaya bahasa yang sesederhana mungkin, merupakan tantangan yang luar biasa.
Lebih dari semua itu, kunjungan ke daerah yang jauh dari hiruk pikuk Jakarta membuat saya lebih mensyukuri hidup, mengasah rasa tepa selira dan membuka cakrawala berfikir yang seringkali masih sempit mengenai arti hidup yang sesungguhnya, khususnya dunia anak-anak yang begitu indah.
Dari Ambon ke Saumlaki
Dalam perjalanan kali ini, Kepulauan Tanimbar / Maluku Tenggara Barat (MTB) adalah lokasi yang saya kunjungi. Jika dilihat dari peta, Kepulauan Tanimbar sendiri berlokasi tepat di atas Darwin, Australia atau boleh dikatakan letaknya juga di sebelah Tenggara bagian Barat Ambon – Kepulauan Maluku. Secara keseluruhan, ada 80 desa dan 1 kelurahan bernama Saumlaki dalam satu gugusan kepulauan MTB. Mata pencaharian utama dari penduduk di MTB adalah menjual kopra (bahan utama untuk sabun mandi), umbi-umbian (ubi dan singkong), sayur mayur (terong, cabe, tomat, dan bunga pepaya). Biasanya semua bahan ini akan dikirimkan ke pengepul yang akan menjualnya kembali ke Ambon, Surabaya dan Merauke.
Menggunakan Garuda Indonesia saya terbang dari Ambon ke Saumlaki dengan pesawat ATR 72-600 “Explore” berpenumpang 70 orang. Secara keseluruhan – belum termasuk waktu transit, dibutuhkan 3 jam waktu terbang dari Soekarno Hatta Airport ke Pattimura Airport di Ambon lalu dilanjutkan dengan 1,5 jam penerbangan dari Ambon ke Bandara Mathilda Batlayeri, Saumlaki.
Di perjalanan kali ini, saya tidak sendirian namun ditemani dua rekan dari UNICEF Ambon (Hellen Geertruida Parera dan Irma Anintya Tasya). Bersyukur sekali pendaratan di Saumlaki mulus, walau gerimis dan mendung menyambut kedatangan kami. Bergegas kami bertiga dibawa mobil menuju kota yang jaraknya sekitar 20 menit untuk check-in di Hotel Harapan Indah – lokasinya tidak jauh dari pintu masuk Pelabuhan dan Pasar Tradisional Saumlaki. Sehabis beberes, kami menyambangi mitra UNICEF – Pak John dan Pak Youngkie dari Dinas Kesehatan MTB dan Pak Fritz dari Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AMGPM). Ketiganya memberikan sedikit arahan tentang daerah yang akan kami kunjungi, termasuk tantangan alam seperti ombak yang tinggi dan kondisi jalan yang akan kami lalui. Tiga desa yang menjadi target untuk kami sambangi adalah Desa Larat, Lelingluan dan Batu Putih.
150 Kilometer menuju Larat
Perjalanan ke desa Larat harus ditempuh sepanjang 150 kilometer dalam waktu 3 jam. Meskipun terdengar cukup lama, perjalanan darat ini terasa singkat. Di dalam mobil, Pak John banyak menceritakan tentang tantangan yang ada di desa tersebut salah satunya tentang masih tingginya tingkat Kematian Ibu dan Anak, kasus HIV dan AIDS yang kian merebak serta wabah diare yang cukup mengkhawatirkan.
Untuk bisa sampai ke desa Larat, kami semua harus turun dan memarkir kendaraan di desa Siwahan, lalu naik perahu kecil untuk menyeberang. Sayangnya sore itu hujan turun sangat lebat sehingga kami harus menunggu sekitar 45 menit hingga hujan reda di desa Siwahan. Saya sempat mendokumentasikan sebuah toilet terbuka umum[1] yang memiliki desain cukup unik di sana. Sebelum akhirnya kami menyeberang dengan perahu motor kecil[2] selama 15 menit menuju Desa Larat.
Kami tiba sore hari di Desa Larat sebelum matahari tenggelam untuk sekedar check-in di Losmen Talenta. Listrik di sana hanya menyala sejak pukul enam sore hingga enam pagi dikarenakan asupan listrik dari Pemerintah yang sangat terbatas.
Tantangan di Desa Larat dan Lelingluan
Sayang sekali dikarenakan sedang ada pertemuan keagamaan sore itu di Desa Larat, maka kami tidak dapat melakukan interaksi lebih awal dengan Ibu Bidan di Puskesmas di sana. Kami memutuskan untuk mengunjungi Desa Lelingluan yang jaraknya hanya 10 menit dengan Kapal Mesin Kecil[3] untuk bertemu dengan Bapak Kades disana. Beliau bercerita tentang beberapa tantangan di desa Lelingluan antara lain tentang tidak adanya bidan, hanya ada 6 kader yang menangani 2 Posyandu kecil untuk menjawab kebutuhan kesehatan 1993 orang. Di tahun 2016, terdapat 1 bayi meninggal karena terlahir dengan jarak kelahiran yang sangat pendek dari kelahiran bayi pertama (dari ibu yang sama). Di bidang pendidikan, banyak guru yang absen disebabkan jarak yang jauh serta transportasi yang mahal. Masih tingginya tingkat pernikahan dini juga dipercaya sebagai penyumbang terbesar kematian ibu.
Setelah pamitan dengan Pak Kades di Lelingluan, kami kembali ke Larat untuk mengunjungi Puskesmas disana. Lumayan mengejutkan, ketika hendak mengambil sepatu (mungkin karena gelap), tangan saya diantuk seekor kalajengking. Beruntung setibanya di Puskesmas Larat, saya diberikan suntikan untuk anti sakit oleh Ibu Bidan Opi. Sembari ngobrol dengan Bidan Opi, beliau menceritakan kegelisahannya tentang keterbatasan tenaga kesehatan di Desa Larat. Seringkali hal tersebut membatasi ruang geraknya sebagai tenaga kesehatan. Harapan Ibu Bidan ini adalah agar Desa Larat dapat bertambah baik bukan hanya fasilitasnya (seperti mobil Ambulans yang baru saja diganti) melainkan juga tenaga perawat yang cukup untuk menangani masyarakat di desa. Lebih lanjut, berdasarkan data 2016 disinyalir bahwa kasus kekerasan terhadap wanita cukup tinggi di Desa Larat. Mungkin hal ini disebabkan oleh ketidaksiapan mental para generasi muda dalam menghadapi pernikahan dini.
Tanpa Listrik dan Sinyal handphone di Batu Putih
Keesokan harinya kami berencana untuk menuju Desa Batu Putih. Namun untuk bisa sampai kesana kami lebih dulu harus kembali ke Saumlaki. Menaiki rakit[4] adalah satu satunya jalan yang sama harus kami tempuh.
Perjalanan ke Batu Putih sendiri tantangannya sangat kontras berbeda dengan perjalanan ke Larat dan Lelingluan. Dibutuhkan kesabaran ekstra untuk melalui medan jalan yang masih penuh dengan lumpur kering dan basah. Jalan ini seyogyanya merupakan akses yang sedang diupayakan Pemerintah Provinsi – dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum kota Ambon untuk bisa dirampungkan paling lambat tahun 2017 mendatang. Bagi masyarakat Batu Putih, setidaknya akses jalan ini lebih baik dari kondisi jalan sebelumnya[5] .
Dibutuhkan 8 kali turun naik dari kendaraan yang saya tumpangi supaya mobil dapat terus melaju dan menerjang lumpur.[6] [7] [8]
Secara keseluruhan dibutuhkan 7.5 jam pulang pergi menuju Batu Putih dari kota Saumlaki. Sebenarnya jalan laut dapat pula ditempuh, namun saat ini kondisi cuaca dan ombak yang tidak bersahabat sama sekali tidak dianjurkan. Desa ini didiami 292 kepala keluarga dengan jumlah pria dan wanita yang hampir sama. Listrik sama sekali belum terinstalasi di desa ini. Sinyal telepon sama sekali hilang di tengah perjalanan menuju Batu Putih. Tidak ditemukan isu gizi namun terdapat 1 kasus ibu berberat badan tidak wajar (Ibu Seli - berumur 17 tahun). Ada juga tantangan lainnya di desa ini yaitu, 80 anak murid sering terbengkalai dikarenakan ketidakhadiran guru di Desa ini. Rendahnya tingkat kepedulian ibu untuk melakukan imunisasi dini berakibat juga pada kematian bayi. Desa yang memiliki pantai sangat indah ini sayangnya juga masih mempraktekkan buang air besar sembarangan yang mengakibatkan kasus diare semakin meningkat.
Akhirnya, perjalanan kembali ke Saumlaki diakhiri dengan kenangan lumpur yang melekat di baju dan celana saya. Mobil yang kami tumpangi tertahan oleh truk yang terperangkap dalam lumpur sejak sore hari. Kami terpaksa harus turun dan berjalan dalam genangan lumpur di kegelapan malam bermandikan bintang bintang. Akhirnya sopir yang luar biasa mengambil inisiatif mengambil jalan baru melalui semak semak untuk keluar dari jebakan lumpur. Kami tiba kembali di Hotel pada pukul 23.30 WIB.
Perjalanan saya ke Saumlaki, Larat dan Lelingluan merupakan perjalanan perdana dan pastinya bukan menjadi perjalanan terakhir. Bersama UNICEF, saya ingin mengundang Anda untuk juga melihat dan merasakan langsung kehidupan masyarakat di bagian timur Indonesia lainnya. Pada saat tulisan ini dibuat, saya sedang bersiap untuk berangkat menuju Wamena, Papua. Tunggu cerita saya bersama anak-anak Indonesia lainnya.
*Sumber Gambar:
Map Saumlaki dan Tanimbar
- https://adeulfah.files.wordpress.com/2011/01/saumlaki1.jpg
- https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgGSxu9IhxGPW9N-hz0k_4Gz1FUMSGo62kf0KQi2mVgpVHvj4miwLHxg08sKT56y2S0F4IX8bMGOJyADpa600Hze5tq8ZyRZ7DSdlQC18WctgM6jblzL_DkCvkAiZcqZ7770KQ1oqKBZBum/s1600/peta+saumlaki.jpg
Video 1
Video 2
Video 3
Video 4
Video 5
Video 6
Video 7
Video 8