Sebuah pulau yang pernah tercatat memiliki jumlah kasus malaria tertinggi, telah berhasil memberantas semua kasus malaria lokal, yang merupakan salah satu penyebab utama kematian di kalangan anak-anak balita.
"Di pulau
Sabang, pada dasarnya hampir setiap orang pernah terkena malaria pada satu
titik dalam hidup mereka. Kami sangat terbiasa dengan hal itu," ujar Rahmawati,
ibu dari Adelia. "Tapi ketika itu terjadi pada salah
satu dari anak-anak kita sendiri, saya sangat khawatir."
"Pada tahun 2008, kami mulai bekerja dengan UNICEF untuk memberantas malaria," kata Dr Titik Yuniarti, Kepala Pengendalian Penyakit Menular di Dinas Kesehatan Sabang. "Dan hari ini, kita bisa mengklaim bahwa kita tidak lagi memiliki kasus malaria lokal disini." |
Dulu di Batee Shok, desa dimana Adelia dan keluarganya tinggal, pernah memecahkan rekor karena memiliki jumlah kasus malaria yang tertinggi pada suatu desa di Sabang.
Memberantas malaria
Adelia belum lahir ketika tsunami Samudera Hindia melanda Provinsi Aceh pada tahun 2004 dan memicu respon pasca bencana besar di wilayah tersebut, tetapi dasar dari pelaksanaan intervensi malaria yang suatu hari nanti akan menyelamatkan hidupnya sudah dimulai.
"Setelah tsunami, terjadi peningkatan kasus malaria di Sabang ," kenang Dr Titik Yuniarti, Kepala Pengendalian Penyakit Menular di kantor kesehatan kabupaten." Pada tahun 2008, kami mulai bekerja dengan UNICEF untuk memberantas malaria."
Dukungan finansial dan teknis dari UNICEF katalis investasi pemerintah yang lebih besar dalam mengendalikan malaria dan dalam meningkatkan sistem kesehatan - dan alokasi anggaran dari pemerintah daerah telah meningkat terus. Sistem pelaporan yang sangat baik antara rumah sakit dan dokter, menjadikan kasus yang dilaporkan cepat terselidiki.
Selain komitmen politik dan keterlibatan masyarakat, pengawasan oleh departemen kesehatan setempat sangat penting. Dinas Kesehatan setempat mencatat setiap kasus malaria dalam database, dan memberikan informasi mengenai semua aspek yang mungkin telah mempengaruhi risiko seseorang terkena malaria, termasuk di mana dia tinggal dan apakah ada habitat larva nyamuk Anopheles di dekatnya.
Upaya-upaya ini telah menghasilkan sukses besar. "Hari ini kita bisa mengklaim bahwa kita tidak lagi memiliki kasus lokal di pulau ini," kata Dr Yuniarti .
Hasilnya, Adelia adalah kasus lokal malaria terakhir diantara 30.000 penduduk di Sabang. "Tidak ada yang harus mati karena gigitan nyamuk."
Relawan komunitas
yang dilatih oleh UNICEF, memainkan peran penting dalam mencegah penyebaran
penyakit. Para relawan pergi dari rumah ke rumah untuk memeriksa kesehatan
warga dan bertanya apakah mereka menggunakan insektisida kelambu mereka dengan
benar. Sebuah garis pertahanan pertama terhadap malaria, dan jaring tersebut
disalurkan oleh pemerintah daerah dengan dukungan dari Global Fund untuk memerangi
AIDS , Tuberkulosis dan Malaria.
Para relawan juga
mengumpulkan sampel darah. Meskipun pekerjaan mereka telah menerima julukan
"Dracula," pengujian untuk malaria sangat penting untuk
mengidentifikasi kasus aktif penyakit, melakukan perawatan tepat waktu dan
mencegah penyebaran lebih lanjut.
"Saya ingin
malaria dihilangkan dari pulau saya," kata salah satu relawan Srikayanti.
"Ini konyol, tidak ada yang harus mati karena gigitan nyamuk, terutama anak-anak."
Tiga tahun lalu,
dia sendiri yang mengunjungi rumah Adelia setiap harinya setelah ia didiagnosis
dengan malaria. Srikayanti ingin memastikan bahwa Adelia sepenuhnya
mematuhi pengobatannya - terapi kombinasi berbasis artemisinin - sehingga parasit malaria bisa sepenuhnya
dihapus dari tubuhnya.
Menyelamatkan nyawa
Adelia pernah positif terkena satu jenis malaria paling umum, yaitu parasite malaria vivax. Berkat pengobatan yang segera dan efektif, Adelia, yang kini berusia 9 tahun, berhasil sembuh. Ia adalah kasua malaria local terakhir di Sabang. |
Kemajuan di Sabang yang signifikan ini, menyelamatkan anak-anak seperti Adelia dari penyakit mematikan ini.