Lima menggunakan sempoa di sekolahnya di daerah rural Wamena, Papua. © UNICEF Indonesia/2014/Andy Brown. |
Desa Maima, Papua, April 2014 - Udara terasa sejuk dan matahari baru saja terbit ketika Tolaka (8 tahun) dan adiknya Lima (7 tahun) berangkat menuju sekolah pada pukul 06:00. Jarak yang harus ditempuh adalah 1 jam dari rumah mereka, di dekat tepi sungai Baliem di Kecamatan Asolokobal, Papua.
Rute yang harus ditempuh menuju SD Advent Maima meliputi padang-padang rumput yang tergenang air dan hutan-hutan penuh lumpur.
"Saya sudah terbiasa berjalan kaki jadi saya tidak capek sama sekali," kata Tolaka. "Saya senang pergi ke sekolah. Ada banyak teman di sini, kami suka main lompat karet bersama."
Ibu Tolaka, Dimika Satai, tahu betapa pentingnya pendidikan yang baik bagi kedua putrinya. Dia menghadiri sekolah yang sama semasa kecil, tetapi terpaksa berhenti ketika orangtuanya memutuskan sudah waktunya baginya untuk menikah. Sekarang suaminya telah meninggalkannya dan ia menanam sayuran seperti jagung, kentang dan kubis untuk makanan keluarganya, dan menjual sisanya di pasar.
"Jika anak-anak bersekolah, mereka akan bisa melakukan apapun yang mereka inginkan di masa depan. Saya ingin mereka berdua untuk menjadi pegawai kantoran. Saya tidak ingin mereka bertani seperti saya. Jangan sampai mereka menyesal tidak mendapatkan pendidikan, seperti saya," ucapnya.
Namun, memotivasi anak-anak untuk berjalan ke sekolah adalah suatu tantangan. Seluruh 121 murid di SD Advent Maima tinggal di daerah Lembah Baliem, yang hanya bisa diakses dengan pesawat atau jalan kaki selama 21 hari dari Jayapura.
Perkembangan di bagian Provinsi Papua ini terhitung lambat. Masih banyak keluarga yang tinggal di rumah-rumah jerami tradisional bernama honai, serta beternak dan bertani sebagai mata pencaharian utama. Beberapa murid harus berjalan hingga dua jam untuk mencapai sekolah.
Tolaka dan Lima berjalan ke sekolah selama satu jam melalui padang rumput dan hutan. © UNICEF Indonesia/2014/Andy Brown |
Menginsipirasi pendidikan
UNICEF Indonesia bekerja sama dengan dinas-dinas pendidikan di kabupaten Papua dan Papua Barat untuk memastikan anak-anak mendapatkan pendidikan dasar yang berkualitas baik. Tujuannya adalah untuk menciptakan lingkungan yang aman, sehat dan inspiratif bagi anak-anak.
"Tingkat buta huruf di Papua dan Papua Barat masih tinggi," kata Education Specialist UNICEF Sri Rezki Widuri, "sekitar 30 persen secara keseluruhan dan sampai 90 persen di kabupaten-kabupaten dataran tinggi. Bahkan beberapa guru tidak memiliki keterampilan membaca dan menghitung yang baik. "
Di SD Advent Maima, program pelatihan UNICEF telah mendorong para guru untuk memperkenalkan sejumlah perubahan. Sekarang, setiap guru menyambut anak-anak pada apel pagi dengan berjabat tangan dan menyapa. Anak-anak diajarkan untuk mencuci tangan dan wajah mereka serta menyisir rambut di awal hari.
Di kelas-kelas yang lebih rendah, para guru menggunakan lagu-lagu dan permainan sebagai metode pengajaran. Ini lebih menyenangkan dan partisipatif untuk anak-anak. Anak-anak yang lebih tua berbaris di luar kelas setiap pagi dan guru akan bertanya tentang pelajaran hari sebelumnya sebelum mereka diizinkan masuk ke kelas. Kelas-kelas mereka juga menjadi lebih interaktif.
"Pendekatan baru ini telah mendorong anak-anak untuk datang ke sekolah," ucap Anie Joyce Nirupu, sang kepala sekolah. "Tingkat kehadiran telah meningkat tinggi. Ketika mereka bersama guru baru yang belum terbiasa dengan metode ini, anak-anak tidak memiliki hubungan yang sama dengan mereka."
Tolaka dan Lima bersama ibunya di depan rumah mereka. © UNICEF Indonesia/2014/Andy Brown. |
Dulu Tolaka sering bolos sekolah, tapi setelah gurunya berbicara kepada ibunya tentang pentingnya kehadiran rutin, kini dia datang ke kelas hampir setiap hari. "Saya paling suka menyanyi dan menggambar, dan saya ingin menjadi guru waktu besar nanti," ujarnya.
Dengan pendanaan dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia, UNICEF bermitra dengan Pemerintah Indonesia untuk melaksanakan program sekolah ramah anak di Papua dan Papua Barat. Hal ini telah membawa perubahan positif dalam pengalaman belajar anak-anak di sekolah-sekolah perkotaan dan semi-urban. Kemitraan ini sekarang telah diperluas ke sekolah-sekolah di daerah pedesaan dan terpencil.
Berkat program ini, anak-anak seperti Tolaka dan Lima sudah menerima kesempatan pendidikan yang lebih besar daripada orang tua mereka. Tapi Papua bukan satu-satunya provinsi di mana tingkat buta huruf masih tinggi, dan masih banyak lagi anak-anak di seluruh Indonesia yang membutuhkan bantuan, terutama di daerah terpencil.