Tempat yang kami tuju untuk field trip UNICEF tidak seperti dugaanku. Bukan di tempat terpencil yang jauh dari kota, tapi ada di dalam kotanya sendiri, yang menunjukkan kompleksitas dari keragaman ekonomi penduduknya. Kota ini indah namun di dalamnya masih banyak ibu dan anak-anak yang masih kurang dari standarisasi hidup layak dan sejahtera.
Proyek kali ini adalah tentang proyek Urban WASH (Water, Sanitation and Hygiene). Sebelum pergi ke lokasi proyek, mitra UNICEF menjelaskan kepada kami tentang gaya hidup warga yang akan kami kunjungi, keadaan mereka, dan mengapa mereka yang dijadikan sasaran dari proyek ini.
Namun, yah.. sekedar teori bagi telinga tidak akan begitu berarti bukan kalau tidak dilihat dengan mata kepala sendiri.
Kami menuju lokasi dengan menggunakan mobil, hanya sekitar 15 menit dari lokasi kantor UNICEF di Makassar. Sampailah kami ke wilayah yang namanya Rappocini. Jalan rayanya bagus dan di samping jalan raya ini banyak rumah penduduk dengan keadaan ekonomi menengah ke atas. Dalam hati kecil saya berkata, mereka ngapain dibantu? Namun ternyata lokasi proyek itu bukan ditempat itu, berjalan lagi kira-kira 10 menit.
Saya masuk ke daerah lumayan kumuh, dan kemudian tim yang menuntun kami menunjukkan rumah-rumah warga yang menjadi sasaran proyek. Di antara rumah penduduk tersebut ada toilet kecil 2 unit dilengkapi dengan wastafel dan diatas toilet tersebut ada tangki penampungan air. Toiletnya bersih dan ergonomis desainnya. Di depan toilet ramah lingkungan ini, banyak tanaman yang ditanam dalam pot yang di daur ulang dari kaleng cat bekas.
Sembari dijelaskan oleh tim pemandu tentang sejarah dari toilet, tangki air dan wastafel, saya mengamati rumah-rumah penduduk dan anak-anak yang belum sekolah, meskipun seharusnya usia mereka sudah memadai untuk sekolah. Saya menanyakan, keadaan mereka sebelum mempunyai fasilitas yang dibantu oleh UNICEF.
Sembari dijelaskan oleh tim pemandu tentang sejarah dari toilet, tangki air dan wastafel, saya mengamati rumah-rumah penduduk dan anak-anak yang belum sekolah, meskipun seharusnya usia mereka sudah memadai untuk sekolah. Saya menanyakan, keadaan mereka sebelum mempunyai fasilitas yang dibantu oleh UNICEF.
Sumber air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari
|
Ternyata kebiasaannya cukup mencengangkan, dimana mereka sebelumya tidak mempunyai toilet/jamban yang dipakai untuk kegiatan MCK, dan melakukannya di tempat ‘bebas”, menggunakan air sumur tanah yang digali sendiri. Airnya kuning kecoklatan, dan kedalamannya dangkal dan berdekatan dengan septic tank. Dari keterangan dari tim pemandu, septic tanknya tidak memenuhi standarisasi sebuah tank, hanya dikeliling ring beton dan dasarnya langung berhubungan dengan tanah. Besar sekali kemungkinan bercampurnya air sumur dengan septic tank apalagi kalau sedang hujan.
"Dulu apa yang sering terjadi ibu?", tanya saya kepada salah seorang warga. Beliau menjawab bahwa kalau hujan sedikit saja, air yang mereka gunakan akan menyebabkan beberapa penyakit yaitu diare dan penyakit-penyakit kulit yang lainnya yang sering terjadi.
Namun dalam pemikiran saya, itu hanya penyakit sementara, bagaimana kalau airnya sudah dipakai menahun, mungkin akan ada penyakit yang tidak terdeteksi secara langsung dan kasat mata. Air bersih untuk keperluan masak-memasak dibeli seharga seribu rupiah per embernya, dengan kata lain biaya untuk air bersih jauh lebih mahal untuk mereka daripada warga menengah kebawah, karena saluran PDAM tidak sampai ke perumahan para warga ini.
Tangki air diatas toilet ternyata adalah air PDAM, dibawah toilet itu dibangun reservoir menampung air dari PDAM, kemudian dinaikkan ke tangki dengan pompa. Air tersebut dialirkan kerumah penduduk dengan menggunakan tenaga gravitasi. Sampai dirumah warga dipasang meteran air, sehingga mengetahui banyak pemakaian air dari warga. Ada wastafel untuk mengajarkan budidaya mencuci tangan buat anak-anak.
Toilet yang dibangun dengan tangki air diatasnya
|
Setelah proyek itu berhasil dibangun, ada toilet yang bisa mereka gunakan bersama, yaitu jumlahnya kurang dari 40KK. Demi ketertiban pemakaian, orang dewasa dikenakan biaya seribu rupiah untuk sekali pemakaian, namun untuk anak-anak tidak dikenakan biaya, asal didampingi orangtuanya. Dana yang terkumpul akan digunakan untuk membayar listrik, air yang terpakai (PDAM) dan membayar pengelola yang membersihkan toilet dan menjaga agar tetap bisa dipakai.
Untuk proyek yang cukup berhasil, kebersihan ditempat mereka sangat meningkat untuk dipakai secara umum karena ini bukan hanya sekedar pembangunan fasilitas tapi dengan tujuan perubahan perilaku. Untuk pembangunannya, masyarakat dilibatkan langsung dalam tenaga kerja dan lahan dan diskusi.
Toilet ramah lingkungan yang saat ini membantu warga
|
Untuk menggunakan fasilitas yang sudah disediakan pun ternyata perlu waktu untuk para warga. Seperti kutipan, setiap perubahan memerlukan waktu untuk terbiasa gaya hidup sehat. Butuh waktu juga untuk mereka untuk beralih dari kebiasaan hidup yang kumuh ke kebiasaan hidup sehat.
Bersyukur dengan adanya UNICEF yang membantu memfasilitas kebiasaan hidup ini. Menjadikan kehidupan ibu dan anak lebih baik. Program-program seperti ini tidak akan berjalan tanpa dukungan para donatur yang terus mensupport kehidupan ibu dan anak-anak di Indonesia menjadi lebih baik.