Kepala Perwakilan UNICEF Indonesia Angela Kearney bersama K.H Said Aqil Siradj, Ketua PBNU |
Jakarta, Agustus 2013 – UNICEF Indonesia menandatangani sebuah kemitraan dengan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia, untuk meningkatkan segala usahanya dalam rangka memperbaiki status gizi anak dan mengurangi tingkat prevalensi balita pendek (stunting).
Kolaborasi ini fokus pada penyelesaian masalah balita pendek melalui penguatan program pemberian Dana Tunai Bersyarat pemerintah, yang dikenal dengan PKH. Model ini sedang diujicobakan di dua kabupaten: Brebes di Jawa Tengah dan Sikka di Nusa Tenggara Timur, melalui program yang bernama PKH Prestasi.
Bagi UNICEF Indonesia, kerjasama dengan organisasi Islam ini merupakan yang pertama kalinya. Dengan perkiraan jumlah pengikut sekitar 50 juta orang, Nahdlatul Ulama merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di dunia. Sekitar 60% penduduk Brebes adalah pengikut, sehingga NU memiliki basis massa dan pengaruh yang kuat. NU memiliki mayoritas afiliasi dengan pesantren besar di seluruh Indonesia, termasuk di Brebes. NU juga mendanai rumah sakit dan sekolah, baik yang khusus Islam maupun umum.
Menurut penilitian formatif yang dilakukan UNICEF, organisasi keagamaan di Indonesia memiliki tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi. “Meskipun ini hanya langkah kecil dari sesuatu yang kami harapkan akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama, namun ini merupakan langkah yang sangat penting,” ujar Angela Kearney, Kepala Perwakilan UNICEF Indonesia dalam acara penandatanganan kerjasama kemitraan tersebut di awal Agustus kemarin.
“Pemerintah Indonesia dan UNICEF, berkolaborasi dengan organisasi masyarakat madani seperti NU, berkomitmen untuk mengatasi masalah balita pendek di Indonesia.” K.H Said Aqil Siradj, Ketua PBNU mengatakan bahwa isu balita pendek (stunting) adalah namun beliau tidak mengira bahwa isu tersebut bahkan terjadi di daerah kota seperti Brebes. “NU sangat mendukung usaha mengatasi persoalan tersebut melalui jejaring kami (para Ulama) di pesantren untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang masalah balita pendek ini.” Acara peluncuran tersebut juga dihadiri oleh Fiona Howell, penasihat pada Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).
Hampir 9 juta anak balita di Indonesia, atau sepertiga anak di kelompok usia tersebut, menderita balita pendek, yaitu lebih pendek dari rata-rata minimum tinggi anak seusianya. Efek dari balita pendek adalah seumur hidup dan tidak dapat diputar kembali. Tidak hanya mempengaruhi tinggi badan, masalah itu juga berdampak negatif terhadap perkembangan mental dan pertumbuhan. Anak yang menderita balita pendek lebih besar kemungkinannya menjadi kurang terpelajar, lebih tidak mampu dalam hal materi, mudah sakit dan rentan terhadap penyakit.
UNICEF, NU dan pemerintah akan bekerja bersama-sama untuk meningkatkan pemahaman para pimpinan agama (halaqoh) di tingkat nasional dan daerah akan pengetahuan tentang gizi dan balita pendek, dan memfasilitasi dialog antar mereka, serta menyusun modul pelatihan sehingga mereka dapat menyebarluaskan pesan kunci melalui ceramah dan kegiatan lainnya.
Meskipun kegiatan ini hanya dimulai di Brebes, namun kerjasama ini diharapkan dapat direplikasi secara nasional. NU secara khusus juga memiliki jejaring yang luas di antara para ulama dan kyai, yang berhubungan langsung dengan keluarga yang memiliki atau mungkin memiliki balita pendek. Mereka akan menjadi agen perubahan di masyarakat.