|
©Center for International Forestry Research/2016 |
Oleh Cory Rogers, Petugas Layanan Komunikasi
Jakarta. Ketika kebakaran hutan tahunan di Indonesia mulai
terjadi di setiap musim gugur, dengan menyemburkan kabut asap yang tajam ke
daerah Kalimantan, Sumatra, dan mancanegara, udara yang dihisap oleh masyarakat
di daerah tersebut menjadi sesuatu yang membahayakan kesehatan mereka: Sekolah
ditutup, ribuan orang jatuh sakit, dan beberapa orang akan meninggal akibat
penyakit pernapasan.
Ada sedikit perdebatan yang menyatakan bahwa kabut
asap menyebabkan kematian, tetapi sampai saat ini solusinya belum juga
terlihat, sehingga jutaan penduduk rural Indonesia tetap terekspos pada bahaya.
Memang, walaupun peraturan pembakaran lahan dan hutan sudah ditetapkan setelah
terjadinya kabut asap yang disebabkan oleh El NiƱo pada tahun 2015 (suatu studi
melaporkan bahwa kejadian tersebut menyebabkan kematian dini pada 100.000 orang),
kabut asap kembali terjadi di tahun 2016. Jelas, ide-ide baru sangat
dibutuhkan.
|
Tim desain menyisir sumber materi utama mengenai hidup dengan kabut asap ©UNICEF/Cory Rogers/2016 |
Pada bulan lalu, sekelompok orang yang terdiri dari
30 desainer, kreatif teknik, serta ahli perkembangan dan pemasaran bertemu di
Jakarta untuk meninjau kembali masalah kabut asap. Diselenggarakan oleh
PulseLab Jakarta yang bermitra dengan UNICEF dan Reality Check Approach (RCA), workshop yang didesain bersama-sama ini berusaha
menemukan berbagai cara untuk melindungi anak-anak. Sebagai langkah pertama
dari perjalanan yang akan memakan waktu berbulan-bulan, workshop tersebut merupakan bagian dari komitmen UNICEF Indonesia
untuk mengurangi risiko di era di mana musibah yang disebabkan oleh alam maupun
manusia semakin pesat.
“Dari sisi inovasi, nilai suatu pertemuan yang
menghadirkan peserta dari sektor-sektor berbeda di satu ruangan adalah adanya pendekatan-pendekatan
berbeda pada masalah yang sama,” kata Valerie Crab, Specialis Program Inovasi
UNICEF, yang berpartisipasi dalam workshop.
“Hal ini medorong kami dari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk keluar dari cara
pemikiran yang biasa dan memertimbangkan sudut-sudut pandang yang beda.”
Filosofi “desain yang berpusat pada manusia”, yang
memosisikan pengalaman orang-orang yang sedang didesain pada pusat proses
desain, membuat setiap fase workshop jadi
meriah –dari riset hingga brainstorming hingga pembuatan prototip.
|
Kliping berita sepertin ini merupakan satu dari banyak tipe sumber bukti utama yang dimasukkan ke paket informasi packets ©UNICEF/Cory Rogers/2016 |
Akan tetapi, untuk mensukseskan program workshop ini dari Jakarta, diperlukan
beberapa pendekatan kreatif: Pertama-tama, cerita-cerita digital yang berasal
dari anak-anak dan para orang tua di Riau dan Kalimantan Barat (dua propinsi
yang mengalami kerusakan paling parah) diseleksi oleh RCA. Sekumpulan peta,
anekdot-anekdot asli, foto-foto dan material lainnya digunakan sebagai stimuli
tambahan, sementara beberapa aktor, yang telah dipersiapkan secara teliti
sebelumnya, diminta untuk berperan sebagai para ahli dan korban yang bisa
diwawancara. Walaupun identitas mereka dirahasiakan bagi para partisipan workshop, testimoni mereka adalah
berdasarkan rekaman serta wawancara asli.
Semua unsur tersebut menghasilkan suatu pandangan yang
relatif transparan mengenai kehidupan di
era kabut asap.
“Metode-metode ini membantu menghidupkan proses brainstorming dengan memicu empati,
membuatnya lebih terhubung dengan pengalaman dari orang-orang yang sebenarnya,”
kata Richard Wecker, Spesialis Reduksi Risiko Musibah dari UNICEF Indonesia.
“Idenya adalah untuk menyalakan kreativitas melalui suatu penggambaran lebih
jelas tentang apa saja yang bisa dilakukan se-efektif dan se-efisien mungkin.”
Para peserta workshop
menemukan bahwa bahaya kabut asap lebih dari sekadar menyebabkan penyakit pernapasan
dan kematian dini, yaitu termasuk kerusakan perkembangan kognitif dan kehilangan
kesempatan bersekolah. Dan, tidak ada yang pernah menduga sebelumnya, bahwa ketika
sekolah ditutup akibat kabut asap, risiko anak-anak terekspos pada bahayanya justru
meningkat, karena mereka cenderung menghabiskan waktu lebih lama berada di area
terbuka. Banyak tim peserta yang menjelajahi paradoks ini secara lebih dalam
pada sesi brainstorming.
|
Richard Wecker dari UNICEF berbagi ide tentang bagaimana membantu anak-anak tetap bisa belajar saat kabut asap melanda ©UNICEF/Cory Rogers/2016 |
Dengan tidak keluar dari pendekatan ‘desain yang
berpusat pada manusia’, para peserta juga diminta untuk melakukan langkah
ekstra dan mengantisipasi ekosistem di mana projek mereka dapat diberlakukan. Itu
berarti, mereka harus berpikir lebih keras tentang faktor-faktor
sosial-lingkungan yang bisa membatasi sisi efektivitas, serta membuat rencana
untuk mengatasi hal-hal tersebut.
“Misalnya, sementara platform informasi online yang terbuka untuk anak-anak muda
mungkin bisa menjadi solusi untuk menjawab masalah terputusnya penyediaan data
bagi penduduk yang terkena dampak kabut asap,” menurut PulseLab Jakarta,
“sejumlah faktor dapat membatasi efektivitas implementasi platform tersebut
–seperti akses teknologi, kemampuan membaca data, dan tidak adanya proses
validasi.” Maka, inisiatif-inisiatif pelengkap seperti informasi offline pada lokasi strategis, menjadi
sangat penting bagi projek secara keseluruhan.
|
©UNICEF/Cory Rogers/2016 |
Pada akhirnya, masing-masing dari enam tim workshop bersepakat untuk memilih satu prototip,
yang kemudian dibuat menjadi suatu miniatur dengan menggunakan material seperti
kardus dan styrofoam –“material-material yang simpel supaya para peserta bisa
lebih fokus pada konsepnya daripada estetikanya,” pemimpin desain dari PulseLab
jakarta, Kautsar Anggakara, menjelaskan.
Beberapa tim desain sangat menyarankan penggunaan sistem
dan ruang pembelajaran baru sebagai wacana untuk melindungi anak-anak dari
kabut asap dan membuat mereka tetap
bersekolah.
|
Peserta membangun purwa rupa (prototype) ruang belajar bebas asap ©UNICEF/Cory Rogers/2016
|
“Kami telah merancang satu “sistem cadangan” yang
kami namakan pembelajaran massal dari jarak jauh, berdasarkan komunitas,” kata Saras,
desainer yang mencetuskan ide untuk menyediakan perpustakaan digital berisi
pelajaran-pelajaran yang dapat diakses secara mobile, sehingga para pelajar dapat belajar di rumah masing-masing
selama kabut asap. “Tapi untuk mengoptimalkannya, kami perlu mencari cara untuk
memastikan bahwa rumah mereka juga bebas dari kabut asap,” katanya.
Menurut JP, seorang spesialis inovasi dari satu
perusahaan solusi lingkungan yang berbasis di Hong Kong, “tidak ada peluru
perak” yang bisa melindungi anak-anak dari kabut asap. Prototip yang dibuatnya,
‘Keliling Fantasi’ –suatu ruang kelas yang berkeliling selama kabut asap, dan
berubah fungsi sebagai sumber data selama musim hujan tanpa kabut asap– dapat
dianggap sebagai pembelajaran tentang lingkungan, bukan kurikulum nasional.
Oleh karena itu, kemungkinan besar pendanaannya harus datang dari sektor swasta,
katanya.
Pada bulan-bulan berikutnya,
UNICEF berharap untuk dapat melihat prototip-prototip yang lebih disempurnakan
melalui beberapa workshop dengan
peserta dari pihak-pihak yang berkepentingan lainnya, “untuk memastikan bahwa
ide-ide dan pengertian pandangan yang sudah dihasilkan dapat semakin berkembang
dari konsep kreatif menjadi aksi nyata untuk perubahan,” kata Richard.
“Beberapa prototip menunjukkan peluang yang menjanjikan untuk menarik minat;
target kami adalah mendukung pihak-pihak yang berkepentingan untuk mendanai,
mengeksekusi serta memerbaiki satu atau dua area yang menderita dampak kabut
asap.”
|
‘Rumah bermain bebas asap' ©UNICEF/Cory Rogers/2016 |
“Mendapatkan komitmen dari pemimpin komunitas serta
partisipasi nyata dari anak-anak muda –hal-hal
ini adalah tantangan kunci untuk projek perdana yang sukses,” tambah Valerie.
Konsep yang didesain bersama-sama tersebut mungkin perlu diuji coba di daerah-daerah
yang terkena dampak kabut asap. “Kami berharap dapat meluncurkan proses untuk
anak muda seperti ini di Kalimantan Tengah, atau mungkin Riau,” katanya. “Suatu
workshop yang didesain bersama-sama
bisa sangat efektif mendorong para anak muda untuk menjadi agen perubahan.”
“Ketika anak-anak muda menjadi bagian yang aktif
dari solusi –saat itulah Anda mendapat potensi besar untuk suatu perubahan,”
tambahnya.