Oleh Cory Rogers, Communication Officer
Sorong.
Hanya 15 menit ke arah timur dari pelabuhan Sorong terdapat STKIP Muhammadiyah
Sorong, sekolah tinggi keguruan dan ilmu pendidikan yang berdiri tenang di atas
birunya laut.
Di antara dua kolam di tengah kampus, Herman, seorang
mahasiswa semester ketiga di sekolah tinggi tersebut, mengernyitkan dahi ketika
menceritakan pengalamannya memulai masa sekolahnya.
“Kami sering tidak punya kertas untuk menulis
[di sekolah],” katanya, satu tangannya berputar-putar di udara seakan menulis
sesuatu, dan tangan yang lain menggaruk-garuk telinganya. “Jadi, kami
menulis di atas paha.”
menulis di atas paha.”
Apa yang dikatakan Herman membuat teman-temannya
berpikir: Berapa kata yang bisa ditulis di lutut seorang bocah berusia lima
tahun?
“Saya ingin kembali ke kampung setelah wisuda
[untuk mengajar],” lanjut Herman. “Anda tahu, separuh dari hari-hari sekolah di
sana, guru-gurunya tidak datang.”
Kendala geografis di dataran tinggi Papua membuat
banyak siswa harus berjalan kaki hingga beberapa kilometer ke sekolah setiap
hari. © Tom Brown/2014/UNICEF
Herman berasal dari Papua*, satu pulau di
perbatasan timur Indonesia yang besarnya seperempat dari wilayah total seluruh
negeri, tapi jumlah penduduknya tidak sampai satu persen dari jumlah total.
Dengan banyaknya guru yang absen dan tingkat keberaksaraan
yang rendah, sistem pendidikan di pulau ini tertinggal di belakang nilai
rata-rata nasional di hampir semua bidang.
Sebagai satu-satunya sekolah tinggi keguruan
dan ilmu pendidikan di pulau ini, STKIP Muhammadiyah Sorong menghasilkan
ratusan guru seperti Herman setiap tahun –pria dan wanita yang memiliki misi
untuk memperbaiki sistem.
Akan tetapi, hanya segelintir dari lulusan
sekolah ini yang melihat adanya masa depan bagi prasekolah atau taman
kanak-kanak –yang secara umum dikenal sebagai Pendidikan Anak Usia Dini, atau
PAUD. Sebagian alasannya adalah kesulitan mendapatkan dana serta rendahnya
pemintaan dari masyarakat setempat. Dan, juga karena kelangkaan guru-guru
terlatih.
Dampaknya, banyak wilayah di Papua yang tidak
memiliki PAUD sama sekali. Padahal, fakta menunjukkan bahwa investasi di awal
masa kanak-kanak adalah salah satu cara paling murah bagi pemerintah untuk
memperkecil perbedaan kelas sosial dan mendorong pendapatan masa depan yang
lebih baik bagi masyarakat di kawasan-kawasan tertinggal, seperti Papua.
“Sejak saya kecil, tidak ada PAUD sama sekali
di desa saya, yang ada hanya beberapa tempat penitipan anak di gereja,” kata
Robert, lulusan STKIP Muhammadiyah dan penduduk asli setempat yang giat
memobilisasi pembelajaran membaca di usia dini di Papua.
“Pada dasarnya, kalau anak sudah bisa menutup
kuping kiri dengan tangan kanannya melewati atas kepalanya, maka anak itu
langsung masuk ke sekolah dasar,” katanya, “tanpa melalui PAUD sama sekali.”
Pak Anang, kepala bagian jangkauan dan riset di
STKIP Muhammadiyah, telah bekerja keras untuk mengubah realitas tersebut.ejak 2013, dia telah memimpin suatu usaha
untuk meluncurkan program ijazah PAUD pertama di STKIP Muhammadiyah Sorong. Dan,
tahun depan, dia berharap akan ada 80 siswa terdaftar di program tersebut, yang
akan bergabung dengan hanya segelintir lulusan ijazah PAUD lainnya di
Nusantara.
“Tantangannya adalah bagaimana menggunakan
konteks lokal [untuk mendorong kualitas]”, kata Pak Anang, saat mendiskusikan
program kurikulum mendatang. “Kami berharap ada siswa-siswa yang pulang ke desa
masing-masing [di Papua] untuk mengajar, tapi kami akan merekrut dari mana saja,”
tambahnya.
Berkaitan dengan peluncuran program ijazah, di
bulan April ini para siswa yang dibimbing oleh Pak Anang akan membantu 10 PAUD
di wilayah Sorong dan sekitarnya untuk mengimplementasikan HI-ECD (Holistic Integrative Early Childhood
Development), atau perkembangan dini anak secara integral dan menyeluruh.
Intervensi ini akan dibimbing oleh UNICEF dan
akan menargetkan 10 PAUD di Sorong, serta sepuluh lainnya di Waisai, ibukota
wilayah Raja Ampat, suatu tempat tujuan diving
dekat pesisir pantai.
Menurut Try Harysatoso, seorang Education Specialist di UNICEF yang
berbasis di Papua, HI-ECD yang ideal akan sekaligus menghasilkan perkembangan
fisik, emosional, dan mental. Dari segi pembelajaran, program tersebut berfokus
pada interaksi sosial, penerapan perilaku yang positif, pembentukan karakter
dan pengetahuan tentang lingkungan alam.
“Ini merupakan jenis pembelajaran yang membantu
anak-anak untuk maju,” kata Try, “yang dapat membangun rasa percaya diri,
mendorong mobilitas sosial, dan memberi peluang untuk meningkatkan pendapatan
di masa datang.”
Selama intervensi yang berdurasi sekitar satu
tahun ini, pekerjaan STKIP Muhammadiyah yang dilakukan pada PAUD di dekatnya,
yakni PAUD Alam Mentari, akan dipelajari dengan seksama. Di sana, para siswa
dan guru sudah melakukan ujicoba konsep HI-ECD dengan melibatkan tiga
guru.
“Walaupun kami tidak memiiki latar belakang
yang tepat, kami berkomitmen pada pendidikan dini ini,” kata guru ketua,
Kartini, lulusan Biologi.
“Kami ingin ‘menanam’ sesuatu pada anak-anak ini saat
mereka masih kecil,” tambahnya.
Kartini,
guru di PAUD Alam Mentari (kedua dari kiri), memimpin yel “semangat!” bersama
murid-muridnya sebelum kelas dimulai, di luar kota Sorong, Papua Barat. ©Cory
Rogers//2017//UNICEF
Para petugas sekolah lokal di sana pun mengutarakan
hal yang sama. Tapi, mereka mengatakan bahwa diperlukan
kesadaran dari atas dan permintaan lebih banyak dari bawah agar intervensi
semacam ini dapat bertahan secara berkesinambungan.
Sebagai contoh, tahun ini di Raja Ampat, dana
daerah untuk program PAUD dipotong, membuat ratusan anak tidak memiliki akses
ke pendidikan dini.
“Dana daerah tersebut disalurkan ke program
pemberantasan buta huruf orang dewasa,” kata Ibu Martha, yang memimpin instansi
pendidikan di wilayah tersebut. Dengan hilangnya dana ini, maka PAUD pun semakin
menghilang.
“Jumlah wilayah PAUD menyusut dari 68 menjadi
45 [di tahun 2016],” katanya.
Padahal, jika disesuaikan dengan program
pemerintah ‘satu desa, satu inisiatif PAUD’, maka semestinya ada 117 PAUD.
Pak Jon, yang mengamati PAUD di wilayah Raja Ampat, mengunjungi
salah satu PAUD yang tutup karena hujan lebat. ©Cory Rogers//2017//UNICEF
Di daerah urban di Sorong, di mana UNICEF dan
STKIP Muhammadiyah berencana membantu sepuluh PAUD mengimplementasikan HI-ECD,
situasinya tampak sama: kurang dari 50 persen penduduk di bawah 6 tahun
mengikuti PAUD. Dan, menurut Pak Soni yang mengepalai divisi pendidikan dasar
di daerah tersebut, faktor terbesar adalah tidak adanya kesadaran dari para
orangtua.
“Masyarakat di wilayah rural tidak tahu apa itu
HI-ECD, sehingga mereka tidak memintanya,” katanya. Di seluruh Indonesia,
anak-anak di area urban yang mengikuti PAUD hampir dua kali lipat dibandingkan
mereka yang di area rural.
“Jika dilihat bersama, tantangan-tantangannya
memberikan kesempatan bagi Papua,” kata Pak Anang. Terutama bagi pemerintah
yang berjanji akan memberikan prioritas pada “perkembangan di daerah-daerah
pinggiran"
Dia berharap bahwa program ijazah PAUD dan tempat-tempat
yang memeragakan HI-ECD akan membuat pemda Papua tertarik untuk memerhatikan
PAUD secara serius, dan yang terpenting, untuk berinvestasi.
“Sekarang ini, mereka [pemangku kepentingan]
tidak banyak memikirkan PAUD,” tambahnya. “Jadi, kamilah yang harus membuka
mata mereka.
“Kami harus membantu mereka untuk bisa melihat
pentingnya PAUD.”
*Papua
terdiri dari dua propinsi –Papua Barat dan Papua, keduanya terletak di bagian
paruh barat pulau New Guinea.