Annual Report

Monday, 20 March 2017

Sekolah tinggi keguruan menanam harapan PAUD di Papua

Oleh Cory Rogers, Communication Officer
 
Sorong. Hanya 15 menit ke arah timur dari pelabuhan Sorong terdapat STKIP Muhammadiyah Sorong, sekolah tinggi keguruan dan ilmu pendidikan yang berdiri tenang di atas birunya laut.
Di antara dua kolam di tengah kampus, Herman, seorang mahasiswa semester ketiga di sekolah tinggi tersebut, mengernyitkan dahi ketika menceritakan pengalamannya memulai masa sekolahnya.
“Kami sering tidak punya kertas untuk menulis [di sekolah],” katanya, satu tangannya berputar-putar di udara seakan menulis sesuatu, dan tangan yang lain menggaruk-garuk telinganya. “Jadi, kami
menulis di atas paha.”
Apa yang dikatakan Herman membuat teman-temannya berpikir: Berapa kata yang bisa ditulis di lutut seorang bocah berusia lima tahun?
“Saya ingin kembali ke kampung setelah wisuda [untuk mengajar],” lanjut Herman. “Anda tahu, separuh dari hari-hari sekolah di sana, guru-gurunya tidak datang.”
Kendala geografis di dataran tinggi Papua membuat banyak siswa harus berjalan kaki hingga beberapa kilometer ke sekolah setiap hari. © Tom Brown/2014/UNICEF


Herman berasal dari Papua*, satu pulau di perbatasan timur Indonesia yang besarnya seperempat dari wilayah total seluruh negeri, tapi jumlah penduduknya tidak sampai satu persen dari jumlah total.
Dengan banyaknya guru yang absen dan tingkat keberaksaraan yang rendah, sistem pendidikan di pulau ini tertinggal di belakang nilai rata-rata nasional di hampir semua bidang.
Sebagai satu-satunya sekolah tinggi keguruan dan ilmu pendidikan di pulau ini, STKIP Muhammadiyah Sorong menghasilkan ratusan guru seperti Herman setiap tahun –pria dan wanita yang memiliki misi untuk memperbaiki sistem.
Akan tetapi, hanya segelintir dari lulusan sekolah ini yang melihat adanya masa depan bagi prasekolah atau taman kanak-kanak –yang secara umum dikenal sebagai Pendidikan Anak Usia Dini, atau PAUD. Sebagian alasannya adalah kesulitan mendapatkan dana serta rendahnya pemintaan dari masyarakat setempat. Dan, juga karena kelangkaan guru-guru terlatih.
Dampaknya, banyak wilayah di Papua yang tidak memiliki PAUD sama sekali. Padahal, fakta menunjukkan bahwa investasi di awal masa kanak-kanak adalah salah satu cara paling murah bagi pemerintah untuk memperkecil perbedaan kelas sosial dan mendorong pendapatan masa depan yang lebih baik bagi masyarakat di kawasan-kawasan tertinggal, seperti Papua.
“Sejak saya kecil, tidak ada PAUD sama sekali di desa saya, yang ada hanya beberapa tempat penitipan anak di gereja,” kata Robert, lulusan STKIP Muhammadiyah dan penduduk asli setempat yang giat memobilisasi pembelajaran membaca di usia dini di Papua.
“Pada dasarnya, kalau anak sudah bisa menutup kuping kiri dengan tangan kanannya melewati atas kepalanya, maka anak itu langsung masuk ke sekolah dasar,” katanya, “tanpa melalui PAUD sama sekali.”


Robert, STKIP Muhammadiyah Sorong staff, berdiskusi tentang kelangkaan PAUD di propinsi Papua. © Cory Rogers//2017//UNICEF

Pak Anang, kepala bagian jangkauan dan riset di STKIP Muhammadiyah, telah bekerja keras untuk mengubah realitas tersebut.ejak 2013, dia telah memimpin suatu usaha untuk meluncurkan program ijazah PAUD pertama di STKIP Muhammadiyah Sorong. Dan, tahun depan, dia berharap akan ada 80 siswa terdaftar di program tersebut, yang akan bergabung dengan hanya segelintir lulusan ijazah PAUD lainnya di Nusantara.
“Tantangannya adalah bagaimana menggunakan konteks lokal [untuk mendorong kualitas]”, kata Pak Anang, saat mendiskusikan program kurikulum mendatang. “Kami berharap ada siswa-siswa yang pulang ke desa masing-masing [di Papua] untuk mengajar, tapi kami akan merekrut dari mana saja,” tambahnya.
Berkaitan dengan peluncuran program ijazah, di bulan April ini para siswa yang dibimbing oleh Pak Anang akan membantu 10 PAUD di wilayah Sorong dan sekitarnya untuk mengimplementasikan HI-ECD (Holistic Integrative Early Childhood Development), atau perkembangan dini anak secara integral dan menyeluruh.
Intervensi ini akan dibimbing oleh UNICEF dan akan menargetkan 10 PAUD di Sorong, serta sepuluh lainnya di Waisai, ibukota wilayah Raja Ampat, suatu tempat tujuan diving dekat pesisir pantai.
Menurut Try Harysatoso, seorang Education Specialist di UNICEF yang berbasis di Papua, HI-ECD yang ideal akan sekaligus menghasilkan perkembangan fisik, emosional, dan mental. Dari segi pembelajaran, program tersebut berfokus pada interaksi sosial, penerapan perilaku yang positif, pembentukan karakter dan pengetahuan tentang lingkungan alam.   
“Ini merupakan jenis pembelajaran yang membantu anak-anak untuk maju,” kata Try, “yang dapat membangun rasa percaya diri, mendorong mobilitas sosial, dan memberi peluang untuk meningkatkan pendapatan di masa datang.”
Selama intervensi yang berdurasi sekitar satu tahun ini, pekerjaan STKIP Muhammadiyah yang dilakukan pada PAUD di dekatnya, yakni PAUD Alam Mentari, akan dipelajari dengan seksama. Di sana, para siswa dan guru sudah melakukan ujicoba konsep HI-ECD dengan melibatkan tiga guru.
“Walaupun kami tidak memiiki latar belakang yang tepat, kami berkomitmen pada pendidikan dini ini,” kata guru ketua, Kartini, lulusan Biologi.
“Kami ingin ‘menanam’ sesuatu pada anak-anak ini saat mereka masih kecil,” tambahnya.

Kartini, guru di PAUD Alam Mentari (kedua dari kiri), memimpin yel “semangat!” bersama murid-muridnya sebelum kelas dimulai, di luar kota Sorong, Papua Barat. ©Cory Rogers//2017//UNICEF
Para petugas sekolah lokal di sana pun mengutarakan hal yang sama. Tapi, mereka mengatakan bahwa diperlukan kesadaran dari atas dan permintaan lebih banyak dari bawah agar intervensi semacam ini dapat bertahan secara berkesinambungan.
Sebagai contoh, tahun ini di Raja Ampat, dana daerah untuk program PAUD dipotong, membuat ratusan anak tidak memiliki akses ke pendidikan dini.
“Dana daerah tersebut disalurkan ke program pemberantasan buta huruf orang dewasa,” kata Ibu Martha, yang memimpin instansi pendidikan di wilayah tersebut. Dengan hilangnya dana ini, maka PAUD pun semakin menghilang.
“Jumlah wilayah PAUD menyusut dari 68 menjadi 45 [di tahun 2016],” katanya.
Padahal, jika disesuaikan dengan program pemerintah ‘satu desa, satu inisiatif PAUD’, maka semestinya ada 117 PAUD.
 Pak Jon, yang mengamati PAUD di wilayah Raja Ampat, mengunjungi salah satu PAUD yang tutup karena hujan lebat. ©Cory Rogers//2017//UNICEF


Di daerah urban di Sorong, di mana UNICEF dan STKIP Muhammadiyah berencana membantu sepuluh PAUD mengimplementasikan HI-ECD, situasinya tampak sama: kurang dari 50 persen penduduk di bawah 6 tahun mengikuti PAUD. Dan, menurut Pak Soni yang mengepalai divisi pendidikan dasar di daerah tersebut, faktor terbesar adalah tidak adanya kesadaran dari para orangtua.

“Masyarakat di wilayah rural tidak tahu apa itu HI-ECD, sehingga mereka tidak memintanya,” katanya. Di seluruh Indonesia, anak-anak di area urban yang mengikuti PAUD hampir dua kali lipat dibandingkan mereka yang di area rural.

“Jika dilihat bersama, tantangan-tantangannya memberikan kesempatan bagi Papua,” kata Pak Anang. Terutama bagi pemerintah yang berjanji akan memberikan prioritas pada “perkembangan di daerah-daerah pinggiran"

Dia berharap bahwa program ijazah PAUD dan tempat-tempat yang memeragakan HI-ECD akan membuat pemda Papua tertarik untuk memerhatikan PAUD secara serius, dan yang terpenting, untuk berinvestasi.

“Sekarang ini, mereka [pemangku kepentingan] tidak banyak memikirkan PAUD,” tambahnya. “Jadi, kamilah yang harus membuka mata mereka.

“Kami harus membantu mereka untuk bisa melihat pentingnya PAUD.”

*Papua terdiri dari dua propinsi –Papua Barat dan Papua, keduanya terletak di bagian paruh barat pulau New Guinea.