Annual Report

Wednesday, 1 March 2017

Lebih dari sekedar mainan anak

Oleh: Cory Rogers 


Beberapa Pengembangan Anak Usia Dini (PAUD) di Indonesia menyediakan fasilitas bermain perosotan, ayunan dan ring bola basket, dan sedikit dari mereka meletakannya di dalam ruangan.

"Kami harus memindahkan semua mainan itu ke dalam ruangan agar tidak dimainkan oleh orang dewasa,” kata Ibu Lastri, kepala sekolah PAUD Terpadu di Lombok barat laut, sebuah pulau dengan mayoritas penduduk Muslim yang berada di sebelah timur Pulau Bali. 

"Saya rasa mereka tidak memiliki mainan-mainan ini ketika mereka masih anak-anak!” katanya sambil tertawa.



Sebuah perpustakaan mini buku anak-anak berbatasan dengan perosotan dalam ruang kelas di PAUD Terpadu

Dan begitu juga banyak dari penduduk termuda di Indonesia. Meskipun 98 persen dari 85 juta anak Indonesia mulai masuk sekolah dasar pada usia 6 atau 7 tahun, tetapi hanya 70 persen dari mereka usia antara 3 dan 6 tahun memiliki akses ke pelayanan pendidikan anak usia dini (PAUD) untuk jenis apapun.

"Ini artinya bahwa terdapat 10 juta anak yang tidak memperoleh stimulasi otak yang dapat diberikan oleh PAUD - stimulasi yang terbukti memberikan manfaat, baik bagi setiap anak maupun masyarakat pada umumnya," kata Widodo Suhartoyo, Spesialis PAUD UNICEF Indonesia. 

Ibu Lastri berdiri di luar sekolahnya dengan pot bunga terbuat dari botol air daur ulang.

Ibu Lastri merupakan contoh utama orang yang menolak untuk berkompromi, meskipun kesulitan dalam memberikan layanan yang berkualitas tinggi di sebuah daerah disebabkan oleh kekurangan dana. PAUD yang dikelolanya, yang berada tepat di bawah lereng Gunung Rinjani, memiliki tiga ruang yang kokoh, sejumlah mainan, dan kurikulum terkini yang mendukung permainan dan interaksi dengan membaca dan menghafal.

"Jenis PAUD holistik ini merupakan cara yang harus kita lakukan," kata perempuan usia 53 tahun tersebut, yang telah mengajar sejak awal usia 20 tahunan. “Akan tetapi, di banyak tempat,  kami masih diminta untuk bersabar [untuk PAUD] - sebagian besar karena kurangnya dana." 

Pengembangan Anak Usia Dini Holistik Integratif (PAUD HI)

Seperti Ibu Lastri, UNICEF menganggap bahwa pengembangan anak usia dini holistik integratif (PAUD-HI) sebagai cara terbaik untuk mengembangkan otak muda. 

"PAUD-HI yang ideal menyatukan pendidikan, pemeriksaan kesehatan, gizi dan perlindungan anak dalam pelayanan di bawah satu atap bagi anak-anak pada tahap perkembangan mereka yang sangat penting," kata Widodo  dari UNICEF.

"Guru sebaiknya memprioritaskan interaksi sosial yang sehat, stimulasi kejiwaan dan konsep-konsep terapan, dan melibatkan semua pemangku kepentingan, terutama para orang tua, dimana kontribusi mereka terhadap perkembangan otak anak jauh lebih besar daripada dua jam sehari yang mungkin ia peroleh di pusat PAUD ," tambahnya 

Pada tahun 2015 dan 2016, UNICEF membantu 10 PAUD di Lombok Utara dalam mengadopsi pedoman PAUD-HI, memberikan dana hibah, mengadakan pelatihan, dan melakukan advokasi atas nama mereka.

 Anak-anak di PAUD Bani Manaf menikmati kelompok bernyanyi dengan guru-guru mereka.

PAUD Banu Manaf, yang berada di sebelah selatan PAUD Terpadu dengan waktu tempuh satu jam, merupakan salah satu pusat PAUD pertama yang menerima bantuan UNICEF. Sekolah ini terletak di jalan yang curam dekat pantai, di sebuah bekas warung desa (restoran kecil). Sebuah sungai yang diwarnai dengan batu besar terguling menimbulkan suara di bawah jendela belakang sekolah, yang memberikan jalur suara (soundtrack) alami bagi pembelajaran. 

"Sebelum kami membangun PAUD ini, ibu-ibu harus mengantar anak-anak mereka ke PAUD di desa lain yang berjarak dua kilometer," kata kepala sekolah Pak Lukman. "Kini mereka cukup mengantar anak-anak mereka ke sini." 

Kecuali jika sebagian besar ibu lebih suka untuk menunggu di luar kelas selama dua jam di tangga depan, sambil ngobrol, makan snak dan menikmati matahari. 

"Mereka sangat sayang dengan anak-anak mereka," kata Ibu Saadah, salah satu dari tiga guru di sekolah itu. Keakraban membantu memperkuat etos komunitas PAUD-HI, dan juga memudahkan untuk selalu memberikan informasi kepada orang tua, katanya. 


"Sayangnya, beberapa orang tua masih mengharapkan kami untuk mengajar anak-anak ini tentang bagaimana menulis dan membaca, sehingga saya harus mengingatkan mereka bahwa pada usia ini mereka seharusnya bermain! Saya sampaikan kepada mereka bahwa hal ini sesungguhnya memberikan rasa percaya diri yang lebih besar kepada anak-anak dan membuat mereka lebih siap untuk bersekolah, "tambahnya.


Ibu Saadah (kanan) dengan dua guru lainnya di PAUD Bani Manaf 

 Ibu Saadah pertama kali belajar tentang PAUD-HI selama dua pelatihan yang diadakan oleh UNICEF tahun lalu di Bandung. "Saya belajar bagaimana membangun pelajaran tentang hal-hal seperti matahari dan air," katanya, "agar lebih terorganisir, dan pentingnya bersikap sabar ... sehingga kami mencoba untuk tidak mengajarkan semuanya sekaligus [seperti yang biasanya kami lakukan sebelumnya].”

Anak-anaknya senang bermain dengan adonan mainan yang dibuat dari tanah di kebun dan tepung - resep yang ia dapatkan dari pelatihan - dan untuk membangun dengan blok-blok kayu yang dibeli dengan bantuan UNICEF. "Tetapi, hal yang paling mereka sukai adalah menulis di papan tulis," katanya sambil tertawa. "Saya tidak tahu mengapa." 

Anak-anak menikmati adonan mainan buatan sendiri di beberapa pusat PAUD di Lombok Utara 

‘Ini semua tanggung jawab kita'

Karena PAUD di Indonesia dikelompokkan sebagai 'pendidikan non-formal', maka secara teknis, PAUD tersebut merupakan lembaga-lembaga swasta. Tetapi, kenyataannya adalah bahwa PAUD masih mengandalkan pendanaan publik - subsidi pemerintah, pengeluaran tingkat kabupaten dan juga dana desa - yang semuanya itu tidak memberikan jaminan keamanan.

"Hanya data yang baik yang memastikan akses ke dana tersebut", kata Pak Tirep, Kepala Bagian PAUD Dinas Pendidikan Kabupaten Lombok Utara. “Bantuan kepada para kepala sekolah PAUD dalam mengumpulkan data tersebut merupakan tujuan utama pada tahun 2017”, katanya. 

Tetapi upaya untuk mendorong orang tua agar tertarik dengan PAUD-HI juga merupakan bagian penting lainnya, kata Sudiartono, yang mengawasi kurikulum PAUD di kabupaten tersebut.

"Orang tua seringkali mengharapkan PAUD menjadi seperti SD (sekolah dasar). Itu tidak benar," katanya. "Mereka harus lebih memahami tentang apa saja manfaat [PAUD-HI] bagi anak-anak mereka." Ia mengatakan bahwa ia berharap agar pusat-pusat PAUD yang didukung oleh UNICEF dapat memberikan inspirasi untuk replikasi.

Dengan kira-kira 7.000 anak di bawah usia 6 tahun di kabupaten, "itu semua merupakan tanggung jawab kita untuk peduli terhadap masa depan anak-anak kita," kata Ibu Saadah, guru di PAUD Bani Manaf.

Karena langit gelap dan mulai bergemuruh, maka ia memutuskan untuk membubarkan kelas sedikit lebih awal. "Dengan PAUD-HI ini, anak-anak kami memiliki kesempatan yang lebih banyak daripada yang kami lakukan," katanya. "Kini mereka memiliki kesempatan untuk menjadi apa saja yang mereka inginkan."