Oleh: Cory Rogers
Beberapa
Pengembangan Anak Usia Dini (PAUD) di Indonesia menyediakan fasilitas bermain perosotan,
ayunan dan ring bola basket, dan sedikit dari mereka meletakannya di dalam
ruangan.
"Kami harus memindahkan semua mainan itu ke dalam ruangan agar tidak dimainkan oleh orang dewasa,” kata Ibu Lastri, kepala sekolah PAUD Terpadu di Lombok barat laut, sebuah pulau dengan mayoritas penduduk Muslim yang berada di sebelah timur Pulau Bali.
"Saya rasa mereka tidak memiliki mainan-mainan ini ketika mereka masih anak-anak!” katanya sambil tertawa.
"Kami harus memindahkan semua mainan itu ke dalam ruangan agar tidak dimainkan oleh orang dewasa,” kata Ibu Lastri, kepala sekolah PAUD Terpadu di Lombok barat laut, sebuah pulau dengan mayoritas penduduk Muslim yang berada di sebelah timur Pulau Bali.
"Saya rasa mereka tidak memiliki mainan-mainan ini ketika mereka masih anak-anak!” katanya sambil tertawa.
Sebuah
perpustakaan mini buku anak-anak berbatasan dengan perosotan dalam ruang kelas
di PAUD Terpadu
Dan
begitu juga banyak dari penduduk termuda di Indonesia. Meskipun 98 persen dari
85 juta anak Indonesia mulai masuk sekolah dasar pada usia 6 atau 7 tahun, tetapi
hanya 70 persen dari mereka usia antara 3 dan 6 tahun memiliki akses ke pelayanan
pendidikan anak usia dini (PAUD) untuk jenis apapun.
"Ini
artinya bahwa terdapat 10 juta anak yang tidak memperoleh stimulasi otak yang dapat
diberikan oleh PAUD - stimulasi yang terbukti memberikan manfaat, baik bagi setiap
anak maupun masyarakat pada umumnya," kata Widodo Suhartoyo, Spesialis PAUD
UNICEF Indonesia.
Ibu Lastri
berdiri di luar sekolahnya dengan pot bunga terbuat dari botol air daur ulang.
Ibu Lastri merupakan
contoh utama orang yang menolak untuk berkompromi, meskipun kesulitan dalam memberikan
layanan yang berkualitas tinggi di sebuah daerah disebabkan oleh kekurangan
dana. PAUD yang dikelolanya, yang berada tepat di bawah lereng Gunung Rinjani,
memiliki tiga ruang yang kokoh, sejumlah mainan, dan kurikulum terkini yang mendukung
permainan dan interaksi dengan membaca dan menghafal.
"Jenis PAUD holistik ini merupakan
cara yang harus kita lakukan," kata perempuan usia 53 tahun tersebut, yang
telah mengajar sejak awal usia 20 tahunan. “Akan tetapi, di banyak tempat, kami masih diminta untuk bersabar [untuk PAUD]
- sebagian besar karena kurangnya dana."
Pengembangan Anak Usia Dini
Holistik Integratif (PAUD HI)
Seperti Ibu Lastri, UNICEF
menganggap bahwa pengembangan anak usia dini holistik integratif (PAUD-HI) sebagai
cara terbaik untuk mengembangkan otak muda.
"PAUD-HI yang ideal menyatukan
pendidikan, pemeriksaan kesehatan, gizi dan perlindungan anak dalam pelayanan
di bawah satu atap bagi anak-anak pada tahap perkembangan mereka yang sangat
penting," kata Widodo dari UNICEF.
"Guru sebaiknya
memprioritaskan interaksi sosial yang sehat, stimulasi kejiwaan dan konsep-konsep
terapan, dan melibatkan semua pemangku kepentingan, terutama para orang tua, dimana
kontribusi mereka terhadap perkembangan otak anak jauh lebih besar daripada dua
jam sehari yang mungkin ia peroleh di pusat PAUD ," tambahnya.
Pada
tahun 2015 dan 2016, UNICEF membantu 10 PAUD di Lombok Utara dalam mengadopsi pedoman
PAUD-HI, memberikan dana hibah, mengadakan pelatihan, dan melakukan advokasi
atas nama mereka.
PAUD Banu
Manaf, yang berada di sebelah selatan PAUD Terpadu dengan waktu tempuh satu jam,
merupakan salah satu pusat PAUD pertama yang menerima bantuan UNICEF. Sekolah ini
terletak di jalan yang curam dekat pantai, di sebuah bekas warung desa
(restoran kecil). Sebuah sungai yang diwarnai dengan batu besar terguling menimbulkan
suara di bawah jendela belakang sekolah, yang memberikan jalur suara (soundtrack) alami bagi pembelajaran.
"Sebelum kami membangun PAUD
ini, ibu-ibu harus mengantar anak-anak mereka ke PAUD di desa lain yang berjarak
dua kilometer," kata kepala sekolah Pak Lukman. "Kini mereka cukup
mengantar anak-anak mereka ke sini."
Kecuali jika sebagian besar ibu
lebih suka untuk menunggu di luar kelas selama dua jam di tangga depan, sambil
ngobrol, makan snak dan menikmati matahari.
"Mereka sangat sayang dengan
anak-anak mereka," kata Ibu Saadah, salah satu dari tiga guru di sekolah
itu. Keakraban membantu memperkuat etos komunitas PAUD-HI, dan juga memudahkan
untuk selalu memberikan informasi kepada orang tua, katanya.
"Sayangnya,
beberapa orang tua masih mengharapkan kami untuk mengajar anak-anak ini tentang
bagaimana menulis dan membaca, sehingga saya harus mengingatkan mereka bahwa
pada usia ini mereka seharusnya bermain! Saya sampaikan kepada mereka bahwa hal
ini sesungguhnya memberikan rasa percaya diri yang lebih besar kepada anak-anak
dan membuat mereka lebih siap untuk bersekolah, "tambahnya.
Ibu Saadah (kanan) dengan dua guru lainnya di PAUD
Bani Manaf
Ibu Saadah
pertama kali belajar tentang PAUD-HI selama dua pelatihan yang diadakan oleh UNICEF
tahun lalu di Bandung. "Saya belajar bagaimana membangun pelajaran tentang
hal-hal seperti matahari dan air," katanya, "agar lebih terorganisir,
dan pentingnya bersikap sabar ... sehingga kami mencoba untuk tidak mengajarkan
semuanya sekaligus [seperti yang biasanya kami lakukan sebelumnya].”
Anak-anaknya senang bermain
dengan adonan mainan yang dibuat dari tanah di kebun dan tepung - resep yang ia
dapatkan dari pelatihan - dan untuk membangun dengan blok-blok kayu yang dibeli
dengan bantuan UNICEF. "Tetapi, hal yang paling mereka sukai adalah
menulis di papan tulis," katanya sambil tertawa. "Saya tidak tahu mengapa."
Anak-anak menikmati adonan
mainan buatan sendiri di beberapa pusat PAUD di Lombok Utara
‘Ini semua tanggung jawab kita'
Karena PAUD di Indonesia dikelompokkan sebagai 'pendidikan non-formal', maka
secara teknis, PAUD tersebut merupakan lembaga-lembaga swasta. Tetapi,
kenyataannya adalah bahwa PAUD masih mengandalkan pendanaan publik - subsidi pemerintah,
pengeluaran tingkat kabupaten dan juga dana desa - yang semuanya itu tidak memberikan
jaminan keamanan.
"Hanya
data yang baik yang memastikan akses ke dana tersebut", kata Pak Tirep, Kepala
Bagian PAUD Dinas Pendidikan Kabupaten Lombok Utara. “Bantuan kepada para
kepala sekolah PAUD dalam mengumpulkan data tersebut merupakan tujuan utama
pada tahun 2017”, katanya.
Tetapi upaya untuk mendorong orang tua agar tertarik dengan PAUD-HI juga
merupakan bagian penting lainnya, kata Sudiartono, yang mengawasi kurikulum
PAUD di kabupaten tersebut.
"Orang
tua seringkali mengharapkan PAUD menjadi seperti SD (sekolah dasar). Itu tidak
benar," katanya. "Mereka harus lebih memahami tentang apa saja
manfaat [PAUD-HI] bagi anak-anak mereka." Ia mengatakan bahwa ia berharap agar
pusat-pusat PAUD yang didukung oleh UNICEF dapat memberikan inspirasi untuk replikasi.
Dengan kira-kira 7.000 anak di bawah usia 6 tahun di kabupaten,
"itu semua merupakan tanggung jawab kita untuk peduli terhadap masa depan
anak-anak kita," kata Ibu Saadah, guru di PAUD Bani Manaf.
Karena langit
gelap dan mulai bergemuruh, maka ia memutuskan untuk membubarkan kelas sedikit
lebih awal. "Dengan PAUD-HI ini, anak-anak kami memiliki kesempatan yang lebih
banyak daripada yang kami lakukan," katanya. "Kini mereka memiliki
kesempatan untuk menjadi apa saja yang mereka inginkan."