Oleh: Cory Rogers,
Communication Officer
Maumere, Flores: Patung Yohanes Paulus II setinggi enam meter menyambut para pengunjung di
gerbang masuk menuju kantor Uskup Girulfus Kherubim Pareira di Maumere, kota
berpenduduk 160.000 jiwa dan pusat umat Katolik di Flores.
Kerja sosial memang berkembang dan menjadi misi utama Gereja Vatikan di
bawah kepemimpinan Paus Yohanes Paulus II. Visi ini terus hidup di Maumere,
menciptakan kesempatan bagi UNICEF dan Pemerintah untuk terus
membantu
anak-anak di sana.
“Kita tidak bisa hanya bicara soal kebutuhan spiritual di Gereja,” kata
Uskup Maumere Mgr. Kherubim. “Melihat kondisi masyarakat, jelas bahwa kita juga
harus memperhatikan kebutuhan jasmani mereka.”
Wilayah Keuskupan Maumere berada di Kabupaten Sikka di Nusa Tenggara Timur
(NTT). Di tempat yang terkenal panas dan kering ini, petani dan nelayan
menghadapi masalah ketimpangan kesehatan, kesejahteraan, dan gender yang sama
dengan banyak wilayah tertinggal lain di timur Indonesia.
Di Sikka, gereja dan pejabat pemerintah bersama-sama berupaya mengatasi
rendahnya tingkat pencatatan bayi yang baru lahir. Tahun lalu, hanya 38 persen
anak-anak di Sikka yang memiliki akta kelahiran, atau bahkan kurang dari
separuh rata-rata nasional sebesar 67 persen.
“Sudah lama sekali, gereja jalan sendiri, pemerintah jalan sendiri,” ungkap
Romo Yohanes, direktur Pusat Pastoral (Puspas) Keuskupan Maumere. Selama ini,
Puspas telah melaksanakan berbagai bentuk intervensi untuk beragam
permasalahan, termasuk kekerasan rumah tangga dan literasi keuangan. Puspas
mengerahkan sekitar 3.000 orang anggota komunitas agama, Komunitas Basis
Gerejani (KBG), untuk turut menggalang kesadaran dan mendorong perubahan perilaku.
“Kami sudah sejak awal menjadikan aksi-aksi ini sebagai prioritas,”
katanya. “Tapi, masih ada banyak masalah lain yang tidak bisa diatasi hanya
oleh Gereja, atau hanya oleh Pemerintah, seperti pencatatan kelahiran. Kita
tahu anak-anak perlu akta kelahiran untuk bersekolah, mendapatkan paspor,
ataupun memenuhi haknya yang lain” jelasnya.
Pada tahun 2016, melalui pendanaan dan bimbingan teknis dari UNICEF,
Keuskupan dan Pemerintah Daerah Maumere bekerja sama di 12 dari total 36 paroki
untuk memastikan identitas anak-anak dicatat secara resmi.
Untuk jangka pendek, kerja sama ini menargetkan angka pencatatan anak
sebesar 85 persen, yaitu target nasional, pada tahun 2019. Hal ini hendak
dicapai melalui peran Puspas menggerakkan masyarakat dan Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil (Dukcapil) Sikka yang menggiatkan pencatatan. Dalam jangka
panjang, pada 2030, target yang disasar adalah pencatatan kelahiran universal,
yaitu sejalan dengan sasaran 16.9 dari Tujuan Pembangunan Global .
Tantangan dari Tradisi
‘Belis’
Hambatan mencapai tingkat pencatatan 85 persen bersifat multidimensi.
Namun, menurut pejabat setempat, satu langkah pertama yang bisa dilakukan
adalah membantu pasangan-pasangan menikah di gereja. Akta nikah dari gereja
adalah syarat Dinas Dukcapil agar seorang anak dapat dicatatkan dengan nama ibu
dan bapak. Peraturan tahun 2016 mengizinkan pasangan mengajukan pengecualian
dari persyaratan itu, namun perubahan
tersebut belum diterapkan.
“Hambatan ini ada kaitannya pandangan patriarki,” kata Romo Yoris, pengurus
Puspas. “Bagi seorang bapak, anak seharusnya menyandang namanya. jadi kami pun
bekerja keras mendorong pasangan untuk menikah sebelum memiliki anak agar si
anak kelak bisa membawa nama kedua orangtuanya.”
Romo Yoris menambahkan bahwa ada tradisi pernikahan bernama belis—pasangan
saling bertukar mas kawin dalam nilai yang cukup besar—yang seringkali menyebabkan
tertundanya pernikahan.
Karolina Klong, 27 tahun, warga asli Maumere dan seorang ibu, menerangkan
bahwa dalam tradisi ini, pihak pengantin pria memberikan kuda, ayam, dan uang
senilai jutaan rupiah kepada keluarga pengantin wanita. Pemberian ini dibalas
oleh keluarga wanita dengan menyerahkan babi, sarung (kain), dan makanan.
“Kami tahu biayanya besar, tapi [tradisi ini] sudah berlangsung turun
temurun, sehingga akan tetap kami jalankan,” katanya. Karolina menambahkan
bahwa ia sendiri belum secara resmi menikah dengan suaminya yang bekerja
sebagai pengemudi ojek di kota.
Menurutnya, biaya belis yang besar membuat mereka memilih untuk tidak
menikah sebelum memiliki anak. Sebab itu pula, putra Karolina pun belum
dicatatkan di Dinas Dukcapil.
Namun, saat ini, hal itu bisa berubah.
Kemajuan Mulai Terlihat
Dalam beberapa pekan terakhir, UNICEF, Keuskupan Maumere, dan Dinas
Dukcapil bekerja sama mempercepat pencatatan kelahiran dengan membentuk tim
khusus di tingkat desa serta melaksanakan kampanye pencatatan kelahiran
keliling di wilayah-wilayah gereja. Menjangkau 12 paroki untuk tahap awal, pegawai
Dinas Dukcapil dan pengurus keuskupan bahu membahu dalam inisiatif ini, mendorong
para orangtua untuk mendaftarkan anak-anak mereka. Saat ini, pelaksanaan
inisiatif tahap selanjutnya tengah direncanakan untuk dapat menjangkau ke-36
paroki di Sikka.
Untuk inisiatif ini, beberapa minggu sebelum kunjungan gereja, anggota
Puspas telah bermitra dengan pendeta setempat dan pemerintah menginstruksikan
kepala desa untuk menemui keluarga-keluarga dengan anak yang belum didaftarkan.
Menurut Karolina, ia pun dikunjungi dan diingatkan oleh kepala desanya agar
hadir di Gereja Hati Yesus di Paroki Ili saat kampanye keliling tiba di sana.
“Pintu rumah saya diketuk kepala desa,” kata Karolina sambil tersenyum
lebar di beranda geraja.
Karolina, satu dari puluhan ibu yang hadir, mengaku merasa sulit membiayai
pengobatan setiap kali anaknya sakit. Dengan akta kelahiran, Karolina dapat
mengajukan diri sebagai peserta layanan kesehatan gratis dari pemerintah.
Sejak kampanye keliling dimulai awal tahun ini, lebih dari 200
bayi—seperempat dari total anak yang belum tercatat di paroki—sudah didaftarkan
di Ili.
Kemajuan ini juga bisa dilihat di seluruh penjuru kabupaten; tingkat
pencatatan naik dari 38 persen ke 50 persen hanya dalam kurun satu tahun—sebuah
“kemajuan besar” menurut Bupati Kabupaten Sikka, Bapak Yoseph Ansar Rera.
Maria Celsia Maxsensi Troy mengantre layanan pencatatan sipil keliling untuk mendaftarkan putrinya (kanan).
“Kami sudah menjalin kerja sama erat [dengan Keuskupan Maumere], dan kami
selalu menyambut dengan baik pihak-pihak lain yang ingin turun tangan membantu
anak-anak,” kata Yoseph.
Ia berharap, perluasan layanan pencatatan Pemerintah bisa mencapai target
85 pesen di akhir 2019. “Saya rasa, kami bisa mencapai 70 persen pada akhir
tahun ini,” katanya lagi.
Astrid Dioniso, UNICEF Child Protection Specialist di Jakarta, mengatakan
bahwa kemajuan di Sikka memperlihatkan bahwa hal serupa juga bisa dilakukan di
wilayah lain.
“Pengalaman di Sikka menunjukkan bahwa Gereja bisa menggunakan misi
kemasyarakatannya untuk melaksanakan suatu inisiatif bersama dengan
Pemerintah,” kata Astrid.
“Di Papua, misalnya, ada kabupaten dengan hanya satu anak yang dicatatkan.
Tempat-tempat ini bahkan lebih terpencil dibandingkan Maumere,” Astrid
menambahkan.
“Pencapaian di Sikka menunjukkan apa yang sebetulnya bisa diraih melalui
kemitraan dengan Gereja sekaligus langkah ke depan untuk terus memastikan hak
semua anak mendapatkan identitas.”