Annual Report

Tuesday 3 March 2015

Marta Santos Pais menghimbau Indonesia untuk menjadi juara dalam mengakhiri kekerasan terhadap anak

- Devi Asmarani -

Marta Santos Pais (baris dua, kelima dari kanan) bersama representatif beberapa lembaga pemuda di Indonesia.

Jakarta, 3 Maret 2015 - Wakil Khusus Sekretaris Jenderal PBB tentang Kekerasan terhadap Anak, Marta Santos Pais, mendesak Indonesia untuk mengambil peran utama dalam mengakhiri kekerasan terhadap anak di wilayahnya.

Selama berkunjung ke Jakarta pada tanggal 23-28 Februari, Ibu Marta mengamati bahwa negara ini telah mengambil langkah-langkah yang cukup untuk mencegah dan menghilangkan kekerasan terhadap anak. Namun, masih banyak yang perlu dilakukan untuk membuat upaya tersebut lebih efektif, ucapnya setelah bertemu dengan beberapa Menteri, anggota parlemen, perwakilan masyarakat sipil, UNICEF dan badan PBB lainnya.

"Melalui kunjungan ini saya merasa bahwa Indonesia sudah siap untuk langkah berikutnya. Dalam pertemuan saya dengan berbagai pejabat pemerintah, saya merasakan kemauan yang sangat kuat untuk mengatasi masalah ini."


Selama kunjungannya, Ibu Marta bertemu dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Andrinof Chaniago, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise, dan anggota parlemen Ledia Hanifa. Dia juga bertemu dengan organisasi masyarakat sipil dan lembaga-lembaga pemuda, serta memberikan ceramah di Universitas Indonesia.

Ia meminta pemerintah untuk mematangkan Strategi dan Rencana Aksi Nasional tentang kekerasan terhadap anak-anak untuk lebih memperbaiki undang-undang dan koordinasi antar-pemerintah dalam mencegah kekerasan terhadap anak sehingga dapat diimplementasikan di semua tingkat pemerintahan dari nasional hingga pemerintahan desa. "Dengan cara ini, Indonesia akan bergabung dengan 90 negara di seluruh dunia yang telah memiliki strategi dan rencana aksi nasional khusus untuk bidang tersebut," kata Ibu Marta.

Indonesia tidak memiliki data nasional tentang kekerasan terhadap anak-anak. Namun, sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa banyak anak-anak yang mengalami kekerasan. Menurut Global School-based Student Health Survey (GSHS) dari tahun 2007, misalnya, sekitar 40 persen dari siswa berusia 13-15 tahun melaporkan telah diserang secara fisik oleh temannya dalam kurun waktu 12 bulan di sekolah, salah satu tingkat yang tertinggi di dunia.

Separuh dari semua anak yang disurvei pernah mengalami bullying di sekolah, sementara 56 persen anak laki-laki dan 29 persen anak perempuan di lembaga-lembaga seperti panti asuhan, pusat rehabilitasi, pesantren dan lembaga pemasyarakatan, dilaporkan telah mengalami kekerasan fisik. Hanya beberapa dari mereka yang menjadi korban kekerasan mencari bantuan profesional.

Negara ini memiliki sejumlah undang-undang yang menangani kekerasan terhadap anak dan perempuan, seperti Undang-Undang Perlindungan Anak (2002) dan UU Pengadilan Anak yang mulai berlaku pada tahun 2014, menaikkan usia minimum pidana anak dari 8 menjadi 12 tahun, yang telah membebaskan ratusan anak-anak dari penjara. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RJPMN) 2015-2019 juga telah menjadikan perlindungan anak dari kekerasan sebagai prioritas.

Namun, Ibu Marta mencatat bahwa Indonesia masih belum memiliki larangan yang jelas tentang segala bentuk kekerasan, termasuk hukuman fisik di rumah yang masih sering dianggap sebagai suatu metode pendisiplinan anak. Indonesia perlu bergabung dengan 45 negara lain yang undang-undangnya sudah mencakup larangan kekerasan terhadap anak dalam segala bentuk, tambahnya.

"Tapi mengubah hukum tidak cukup. Legislasi bukan tongkat sihir, karena ada juga sikap masyarakat yang membenarkan penggunaan kekerasan," katanya. "Kita harus mengubah norma-norma sosial tersebut menjadi sikap yang mengatakan: Kita harus melindungi anak-anak dari perlakuan buruk," tambahnya.

Ibu Marta merekomendasikan bahwa Indonesia perlu memulai debat publik nasional tentang kekerasan terhadap anak-anak, mengutip pelajaran dari negara-negara lain. Misalnya, ketika Swedia menjadi negara pertama yang melarang kekerasan terhadap anak pada tahun 1979, langkah ini disertai dengan diskusi yang intensif di seluruh negeri untuk meningkatkan kesadaran dan memfasilitasi pemahaman di antara keluarga dan masyarakat tentang dampak negatif dari kekerasan terhadap anak dan bagaimana itu dapat dicegah.

Ibu Marta menyoroti peran penting dari para pemimpin agama dalam menyebarkan informasi tentang dampak kekerasan dan masalah perlindungan anak terkait lainnya seperti pernikahan dini.

Di Indonesia, setiap tahun sekitar 500.000 perempuan menikah sebelum ulang tahun ke-18 mereka. Jika menikah dini, anak perempuan biasanya putus sekolah dan banyak yang hamil pada usia dini, sehingga meningkatkan risiko kematian akibat komplikasi kelahiran secara drastis.

"Di banyak negara, perempuan yang menikah dini sering juga menjadi korban pelecehan seksual dalam rumah tangga," katanya, menambahkan bahwa pemerintah harus menaikkan usia minimum pernikahan untuk anak perempuan dari16 menjadi 18 tahun.

Upaya efektif terhadap kekerasan harus melibatkan partisipasi orang muda, sambungnya. Selama kunjungannya, Ibu Marta juga bertemu dengan sejumlah jaringan pemuda, termasuk kelompok anti-bullying Sudah Dong, Aliansi Remaja Independen, Forum Pemuda Nasional, dan Sinergi Muda. Ia juga bertemu dengan Koalisi 18+, sebuah kelompok advokasi untuk meningkatkan usia pernikahan legal.

Dalam semua rapat yang dihadirinya, Ibu Marta juga menyatakan harapannya agar Indonesia bisa menjadi juara untuk menghilangkan kekerasan terhadap anak dalam konteks diskusi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang baru. Rancangan SDGs ini meliputi sejumlah target yang ditujukan untuk menghapus kekerasan terhadap anak-anak, termasuk praktek-praktek berbahaya seperti pernikahan anak dan mutilasi alat kelamin perempuan (FGM).

Marta Santos Pais diangkat menjadi Wakil Khusus Sekretaris Jenderal (SRSG) tentang Kekerasan terhadap Anak yang pertama pada September 2009. Dengan lebih dari 30 tahun pengalaman di bidang hak asasi manusia serta keterlibatan dalam PBB dan proses antar pemerintah, ia mempromosikan pencegahan dan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap anak dalam sistem peradilan, di rumah, dalam perawatan alternatif, di sekolah-sekolah dan di masyarakat. Sebelumnya, Ibu Marta adalah Direktur UNICEF Innocenti Research Centre.