Annual Report

Wednesday 18 March 2015

Membangun kembali dengan lebih baik untuk masa depan yang lebih aman

Simon Nazer, Communication Consultant for UNICEF East Asia and Pacific

Latihan gempa di SDN Muhammadiyah 1 Banda Aceh.
© UNICEF Indonesia/2014/Achmadi

Rekan-rekan UNICEF dan lembaga-lembaga internasional kini sedang memobilisasi bantuan untuk korban Topan Pam di Vanuatu. Ini adalah pengingat betapa rentannya Negara-negara di wilayah ini terhadap bencana alam, betapa pentingnya persiapan untuk menghadapi bahaya yang bisa terjadi.

Untuk mengetahui tentang pekerjaan UNICEF dalam mengurangi dampak bencana, beberapa hari yang lalu saya berbicara dengan rekan-rekan di Indonesia dan Kiribati, beberapa daerah yang paling rawan bencana di dunia.



Kiribati: terancam oleh air laut

Air laut terus mengancam masyarakat Kiribati, dan masa depan pulau mereka. © UNICEF Pacific/2014/Alcock

Badai topan di Samudra Pasifik mengirimkan ombak besar ke pulau Kiribati, dan Nuzhat Shahzadi dari UNICEF, yang telah menghabiskan tiga setengah tahun terakhir di sana, terus dikejutkan oleh ukuran ombak yang jaraknya hanya beberapa meter dari kantor UNICEF. Dia mengatakan kepada rekan-rekannya untuk tinggal di rumah hari ini, namun ia sendiri tetap ingin memantau situasi dari kantornya.

"Ada air laut dan puing-puing di kompleks kantor," kabar Nuzhat melalui koneksi internet yang tidak stabil. "Saya bisa melihat ombak dari tempat saya duduk sekarang, mereka besar. Sebentar lagi seluruh kompleks kantor bisa banjir. "

"Saya telah diberitahu bahwa dua klinik bersalin benar-benar banjir terpendam banjir tadi malam dan para pasien harus dipindahkan. Sebelumnya, seluruh sekolah juga pernah dipindahkan. Banjir menjadi bagian yang semakin rutin dari kehidupan di sini.”

Air laut adalah bahaya yang besar bagi Kiribati dan, karena perubahan iklim, banjir perlahan-lahan mencapai pantai, jalanan dan masyarakat. Air laut membanjiri rumah dan panen, meninggalkan keluarga tanpa air bersih dan makanan.

"Banjir selalu ada, tapi dulu lebih mudah diprediksi dan ridak rutin. Sekarang jadi sangat sering, dan semakin besar," kata Nuzhat. "Baru-baru ini, air laut bergenangan di beberapa daerah di Tarawa selama tiga hari, mencemari semua persediaan air dan menyebabkan bahaya listrik. Selain itu, kontaminasi air asin terhadap air tanah bisa menggagalkan panen mereka yang sudah tidak begitu banyak."

Namun ada juga upaya untuk melindungi pasokan air. UNICEF bekerja sama dengan pemerintah daerah dan masyarakat untuk mendukung instalasi tangki air dengan meningkatkan infrastruktur untuk menampung air hujan, menjamin anak-anak dan keluarga memiliki akses kepada air bersih. UNICEF memasang sistem penampungan air hujan baru di tepi-tepi pulau, serta menyebarkan informasi tentang cara melindunginya dari kontaminasi.

UNICEF juga bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk membantu persiapan menghadapi bencana alam, tapi masih banyak yang harus dilakukan, kata Nuzhat. "Infrastruktur di sini lemah. Saluran telepon terputus dan jalanan mulai rusak akibat banjir yang berkelanjutan. Saya butuh satu jam setengah hanya untuk mengemudi 10 km ke sebuah rapat kemarin. Itu adalah perjalanan yang paling menakutkan dalam hidup saya. Transmisi radio tidak selalu mencapai sebagian besar pulau. Akibatnya, sulit untuk memperingatkan orang-orang dari potensi bahaya yang akan datang ke arah mereka."

Sistem peringatan dan berbagi informasi sangat penting untuk membantu melindungi diri dari potensi bencana. Di suatu tempat berjarak lebih dari 10.000 kilometer, ada upaya yang sedang dilakukan untuk menyelamatkan nyawa jika bencana terjadi.


Indonesia: membangun kembali dengan lebih baik

Anak-anak berlatih melakukan pertolongan pertama di SDN Muhammadiyah 1 Banda Aceh.
© UNICEF Indonesia/2014/Achmadi

Tsunami yang terjadi pada tahun 2004 menewaskan 170.000 dan merampas tempat tinggal setengah juta warga Indonesia. Dampaknya sangat parah dan memicu bantuan kemanusiaan terbesar di sejarah UNICEF.

Menurut Michael Klaus, Kepala Komunikasi UNICEF Indonesia, kejadian ini membuat semua pihak memikirkan kembali bagaimana cara menghadapi bencana alam. “Tsunami itu, yang membuat 3.000 ana menjadi yatim piatu, memicu operasi bantuan kemanusiaan yang terbesar di sejarah UNICEF. Dampaknya sangat parah, dan benar-benar membuat pemerintah dan lembaga-lembaga internasional memikirkan ulang cara kerja dalam menanggapi bencana. Itulah mengapa UNICEF memulai rencana untuk memastikan masyarakat membangun kembali dengan lebih baik.”

Bersama dengan pemerintah, UNICEF membantu masyarakat untuk membangun kembali kehidupan mereka, dan untuk memastikan bahwa jika bencana serupa terjadi lagi, mereka bisa merespon dengan tepat.

“Hanya 17 dari 300 murid SDN Muhammadiyah 1 di Banda Aceh bertahan hidup hari itu, dan ada beberapa kasus memprihatinkan seperti ini. Itulah mengapa UNICEF bertekad untuk memastikan bahwa sekolah-sekolah baru bisa tahan terhadap bencana,” tambah Michael.

Bangunan-bangunan sekolah baru dirancang supaya tahan gempa, dengan fondasi yang lebih dalam dan system pendukung yang lebih kuat. Meja-meja kini menggunakan permukaan kayu tebal yang dibautkan dengan kaki besi.

Para murid juga mendapatkan latihan gempa secara teratur. Ketika alarm berbunyi, mereka turun ke lantai dan berlindung di bawah meja mereka, jauh dari bahaya kaca jendela. Mereka tahu jika gempa telah berhenti mereka harus pergi ke luar untuk dihitung. Anak-anak juga diajarkan dasar-dasar pertolongan pertama.

Ini hanyalah satu contoh dari berbagai bentuk kerja sama UNICEF dengan mitra-mitranya untuk membangun kembali dengan lebih baik. "Pengurangan risiko bencana menyentuh berbagai bidang, mulai dari kesehatan dan gizi hingga pendidikan, air bersih dan sanitasi," kata Michael.

"Yang penting adalah memastikan bahwa ini bukan upaya satu kali. Kami bekerja untuk memastikan bencana alam, yang sering terjadi di Indonesia, tidak menjadi bencana besar bagi ribuan anak-anak dan keluarga, khususnya yang paling rentan dan kurang beruntung."


Mengurangi risiko untuk generasi masa depan

322 dari 496 kabupaten di Indonesia berada di bawah ancaman bencana alam. Bagi negara dengan lebih dari 85 juta anak-anak, ada banyak warga yang rentan. "Indonesia, seperti negara-negara tetangganya, tidak siap untuk bencana sebesar itu," kata Michael. "Tidak ada rencana untuk menangani sesuatu sebesar itu. Ini tanggung jawab semua orang untuk memastikan kita menghindari tragedi seperti yang terjadi di Aceh. Kita tidak bisa menghentikan bencana, tapi kita bisa mengurangi dampaknya.”

Di Kiribati, masa depan pulau tersebut tidak pasti. Dampak perubahan iklim sangat terlihat bagi Nuzhat selama ia tinggal di Negara pulau tersebut. "Selama di sini saya telah melihat arus pasang meningkat, dan banjir terjadi lebih sering. Banyak yang harus dilakukan di sini."

Mengurangi risiko bencana di masa depan sangat penting untuk memastikan keselamatan hidup. Sementara warga Vanuatu mulai merangkai kehidupan mereka kembali, semoga keputusan yang dibuat di Sendai pekan ini akan membantu mereka yang paling rentan.