Annual Report

Showing posts with label pernikahan anak. Show all posts
Showing posts with label pernikahan anak. Show all posts

Thursday, 10 November 2016

Menjadi Ibu dan Ingin Kembali ke Sekolah

Oleh: Dinda Veska

Ani* anak perempuan yang telah menikah dan melahirkan seorang anak, ingin kembali ke sekolah juga demi sang anak.
©UNICEF Indonesia/2016/Mamuju.

Menikah karena dijodohkan adalah hal yang banyak dialami oleh anak-anak perempuan di Mamuju, Sulawesi Barat. Ada 687 Anak yang tidak sekolah karena menikah/mengurus rumah tangga di sana.

Salah satunya adalah Ani*, 17.

Setelah menikah pada usia 15 tahun dan melahirkan seorang anak, Ani bertengkar dengan suaminya dan memutuskan untuk bercerai. Menyadari pentingnya pendidikan untuk sang anak nanti, Ani pun ingin kembali ke sekolah dan melanjutkan pendidikannya hingga bisa menjadi seorang guru.

Motivasinya sangat sederhana, ia ingin anaknya kelak bisa belajar langsung mengenai banyak hal dari sang Ibu. "Kalau bukan saya yang ajarkan, saya takut anak saya jadi tidak baik," ungkap Ani.

Saat ini, Ani bersama orangtuanya tengah berusaha mengurus proses administrasi untuk kembali menjadi pelajar. Sambil menunggu waktu kembali duduk di sekolah, sehari-hari Ani bekerja sebagai pelayan toko di pasar.

Seperti yang kita semua ketahui juga, salah satu fokus UNICEF Indonesia adalah pendidikan anak. Untuk itu UNICEF, bekerja sama dengan Phillip Lighting Indonesia dan Pemerintah, melakukan sebuah program Gerakan Kembali ke Sekolah, sebagai bentuk upaya bagaimana anak-anak seperti Ani dapat kembali mendapatkan hak pendidikannya. UNICEF Indonesia juga bekerjasama dengan Komite Nasional untuk UNICEF Belanda dalam isu perkawinan usia anak.

Bila akhirnya bisa kembali ke sekolah, Ani sangat ingin kisahnya bisa menginspirasi banyak anak di Indonesia untuk berusaha kembali mendapatkan hak pendidikan. "Sekolah itu cara biar aku sukses kak," jelas Ani.

*Foto, nama anak perempuan, dan desa disamarkan untuk melindungi dan menghargai hak anak.

Tuesday, 25 August 2015

Masa Kecil yang Tercuri: Pengantin Anak di Sulawesi Barat

Nick Baker, Communication and Knowledge Management Officer

"Saya lebih senang menjadi pelajar dari pada ibu," kata Sari*, sambil menggendong anaknya. ©UNICEF Indonesia/2015/Nick Baker.

Desa-desa kecil yang tak terhitung jumlahnya memagari garis pantai Pulau Sulawesi. Deretan rumah panggung (rumah tradisional) berjajar di antara pantai-pantai nan indah dan hutan hijau membentang. Laksana taman firdaus. Tetapi pemandangan Indah ini sesungguhnya menyimpan krisis tersembunyi.

Sulawesi Barat memiliki tingkat perkawinan usia anak yang cukup mengkhawatirkan. Provinsi ini memiliki prevalensi terbesar anak perempuan yang menikah pada usia 15 tahun atau lebih muda di Indonesia. Karena berbagai alasan, seperti budaya, agama, ekonomi, masa kecil anak-anak perempuan hilang di daerah ini setiap harinya.

Ayu* adalah salah satu dari anak-anak perempuan tersebut. Perempuan belasan tahun yang bertutur-kata lembut ini tinggal di sebuah desa pertanian sepi yang disebut Amara*. "Ibu dan nenek saya keduanya menikah pada usia 14 tahun," katanya. Tradisi keluarga berjalan terus: "Saya berusia 15 tahun ketika saya menikah dengan suami saya, Ganes, yang berusia 23 tahun."

Thursday, 4 June 2015

Hari ini pelajar, esok pengantin

Nick Baker, Communication and Knowledge Management Officer


Anak-anak perempuan di Desa Manggaru* beresiko menikah pada usia muda. ©UNICEF Indonesia/2015/Nick Baker.

Nira* yang baru berusia 14 tahun adalah pelajar yang cemerlang. Ia selalu rajin belajar dan unggul dalam berbagai mata pelajaran, mulai dari kesenian, ilmu pengetahuan alam, hingga ilmu pengetahuan sosial. Namun, masa-masa Nira sebagai pelajar akan segera berakhir. Besok adalah hari pernikahannya.

Nira tinggal di Desa Manggaru, sebuah desa kecil yang berada sekitar 70 km dari Jakarta. Pernikahan anak merupakan hal biasa di desa ini. Bahkan, Nira adalah siswi ketiga yang akan keluar dari bangku sekolah dan menikah tahun ini.

“Aku suka bermain petak umpet,” ucap Nira, saat diminta mendeskripsikan dirinya. Ia tampak yakin dengan keputusannya untuk menikah. “Kalau aku menunggu sampai lulus baru menikah, belum tentu aku bisa dapat pasangan. Terlalu lama buat dia (calon suami) untuk menunggu,” ujarnya.