Erry dalam salah satu sesi diskusi grup tentang pencegahan kekerasan. © UNICEF Indonesia/2012. |
Salah satu contoh terbaik adalah kegiatan yang dilakukan Erry Pratama Putra, seorang pria berusia 37 tahun dari Klaten, Jawa Tengah. Ia pertama kali terlibat dengan UNICEF enam tahun yang lalu, ketika menjadi relawan tanggap darurat pasca gempa di Yogyakarta dan Klaten.
"Memastikan anak-anak terlindungi dari segala bentuk kekerasan, baik di rumah, sekolah atau masyarakat adalah tanggung jawab kita semua. Saya hanya bisa menawarkan jiwa, hati, pikiran, semangat dan idealisme untuk menciptakan dunia yang layak bagi anak-anak - karena masa depan mereka telah dipercayakan kepada kita."
Berdasarkan komitmen ini, Erry terus bekerja sebagai sukarelawan bersama UNICEF dengan pemerintah kabupaten Pemalang dan Klaten untuk memfasilitasi program pencegahan kekerasan terhadap anak di sekolah.
"Untuk mengetahui apa yang diperlukan dan apa yang paling efektif, saya berkonsultasi dengan murid-murid, sekolah-sekolah, dan dinas pendidikan di kota-kota sekitar Jawa Tengah. Saya juga sempat bertemu dengan komunitas anak bernama Istana Dhuafa Kampung Beting di Jakarta Utara. Lalu saya mengadakan beberapa lokakarya di Yogyakarta pada bulan Oktober 2012, dihadiri 60 perwakilan forum-forum anak dari Grobokan, Solo, Sragen, Semarang, dan 12 sekolah kejuruan di Klaten," jelas Erry.
Erry terlibat dalam diskusi dengan fasilitator anak. © UNICEF Indonesia/2012 |
Pada beberapa bulan berikutnya, Erry berhasil mempertemukan lebih dari 100 perwakilan dari 13 forum anak lokal, serta 20 SMA / SMK dari Pekalongan dan Salatiga.
Untuk membiayai kegiatan-kegiatan ini, Erry memobilisasi kontribusi dari sekolah, individu dan lembaga di sekitarnya. Meski tidak terlalu banyak, jumlah yang dikumpulkan cukup untuk menjalankan kegiatan.
"Untuk Focus Group Discussion (FGD) selama dua jam, kami hanya perlu beberapa botol air dan snack ringan, jadi kami tinggal meminta bantuan dari sekolah. Untuk lokakarya selama dua hari kami membutuhkan dana lebih, jadi tiap sekolah akan memberikan Rp. 100.000 untuk setiap empat perwakilan murid, dan tiap forum anak memberikan Rp. 75.000 per empat anak yang berpartisipasi."
Meskipun ia cukup senang dengan jumlah sekolah dan murid yang mendapatkan manfaat dari program ini, Erry masih ingin melakukan lebih banyak lagi.
Erry menunjukkan hasil FGD tentang kekerasan di sekolah kepada para guru dan pejabat pemerintah. © UNICEF Indonesia/2012 |
"Kita juga tahu bahwa sekolah-sekolah cenderung mengirim murid yang dianggap berperilaku baik dan berprestasi tinggi. Ini berarti pelaku kekerasan atau pemimpin geng sekolah seringkali tidak tercapai program ini."
Pria yang mengaku sudah senang menerima bayaran berupa sambutan dan senyum bahagia anak-anak yang didukungnya ini melihat kesempatan besar bagi Pemerintah untuk meningkatkan program perlindungan anak dan advokasi.
"Undang-undang tentang Perlindungan Anak dan Hukum Anak perlu menjadi bagian dari program pelatihan guru, dan pengetahuan tentang isu perlindungan anak harus menjadi kriteria dalam memilih guru yang bertanggung jawab atas konseling dan hubungan murid."
Dengan meningkatnya kesadaran para orang tua, masyarakat, sekolah, dan pemerintah tentang mendesaknya masalah kekerasan terhadap anak di sekolah, dan bahwa mereka harus bekerja sama untuk mengatasinya, Erry yakin semakin banyak sekolah akan bisa memberikan lingkungan belajar yang sehat agar para murid dapat mengembangkan kapasitas mereka demi masa depan yang lebih cerah.
Siswa-siswi suatu SMP yang didatangi Erry mengangkat spanduk anti kekerasan dengan bangga. © UNICEF Indonesia/2012 |