Keluarga Ani bersama ahli sanitasi Tristiana Dewi (kanan) di depan toilet baru mereka.
© UNICEF Indonesia/2014/Sarah Grainger
|
ADANG, Provinsi NTT, Indonesia, April 2014 - Ini adalah minggu yang penting bagi keluarga Ani dari Desa Adang di pulau Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Tiga hari yang lalu mereka akhirnya selesai membangun toilet baru mereka.
Jamban ini terletak di belakang rumah mereka yang terbuat dari bata dan kayu, dikelilingi oleh pohon pisang dan semak belukar. Toilet ini juga terlindung dari pandangan oleh struktur sederhana yang terbuat dari tiang kayu dan terpal plastik. Namun kakus ini termasuk yang paling mutakhir di desa.
Bahan dasar dari toilet ini dicetak menggunakan kalsium karbonat oleh tukang setempat. Mereka dipasang pada fundasi beton dengan saluran internal yang ke sebuah septic tank.
Toilet baru ini adalah kontras besar dengan gaya hidup keluarga ini sebelumnya. "Kami dulu memakai toilet tetangga kami," kata Daniel, seorang petani kemiri yang tinggal bersama istrinya Afliana dan anak-anaknya, Sri Yulianti, 14 tahun, dan Adang Seprianus, 11 tahun. "Kadang-kadang kita bahkan buang air besar di hutan dekat rumah."
Keluarga ini memutuskan untuk melakukan perubahan akhir tahun lalu ketika mereka dikunjungi oleh Tristiana Dewi, seorang pekerja kesehatan ahli sanitasi.
Dia menunjukkan warga desa bagaimana makanan dan air mereka menjadi tercemar ketika orang buang air besar di tempat terbuka.
"Kami merasa malu," kata Daniel. "Kami memutuskan kami ingin memiliki privasi toilet sendiri."
Harga kebersihan
Memicu orang untuk mengubah kebiasaan mereka dan memungkinkan mereka untuk membangun jamban murah dan sehat sangat penting di provinsi NTT. Provinsi ini memiliki salah satu tingkat tertinggi buang air besar terbuka di Indonesia, negara kedua setelah India untuk jumlah orang yang masih buang air besar di tempat terbuka.
Sanitasi yang buruk menyebabkan peningkatan penyakit diare. Tingkat diare pada keluarga yang buang air besar sembarangan lebih tinggi 66% dibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki toilet dan septic tank pribadi. Diare juga masih menjadi pembunuh utama anak-anak di Indonesia: Sekitar 31% kematian bayi dan 25% kematian anak-anak usia antara satu hingga lima tahun disebabkan oleh diare.
Setelah kunjungan Tristiana itu, Daniel mulai dengan menggali septic tank sendiri. Tapi ia harus menabung untuk membeli komponen-komponen toilet.
Berkat UNICEF, ia mampu membeli apa yang ia butuhkan dari tetangganya, seorang tukang batu lokal, dengan harga yang jauh lebih rendah.
Paulus Moll adalah salah satu dari 20 tukang batu di Kabupaten Alor yang dilatih oleh UNICEF pada bulan Desember tentang cara untuk memproduksi komponen toilet murah dengan menggunakan cetakan sederhana.
Paulus melakukan pencetakan sebuah jamban sambil disaksikan istrinya, Rosalina, dan anaknya, William (2 tahun).
© UNICEF Indonesia/2014/Sarah Grainger
|
Paulus membutuhkan sekitar satu hari untuk membuat satu toilet, dengan biaya 75.000 rupiah. Sebagai perbandingan, satu toilet dijual seharga 180.000 rupiah di sebuah pasar di Kalabahi, sekitar 30km dari desanya.
"Banyak sekali orang yang ingin beli, dan saya hanya punya satu cetakan," ucap Paulus. "Saat ini ada sekitar 20 orang dalam daftar tunggu."
UNICEF juga telah melatih Paulus dalam bagaimana memasarkan toiletnya. Dia mengunjungi warga-warga untuk mempresentasikan produknya dan berbicara tentang biaya dan kualitas barangnya.
"Ini kesempatan baik bagi saya untuk memperoleh penghasilan tambahan," kata Paulus, yang juga bekerja di bidang konstruksi.
Kemajuan
Tristiana Dewi di kantornya di Puskesmas Kokar.
© UNICEF Indonesia/2014/Sarah Grainger
|
Tristiana sering mengunjungi Desa Adang dari Puskesmas Kokar tempat ia bekerja dengan sepeda motor. Dia juga memonitor delapan desa lain, mencatat secara berkala jumlah keluarga yang membangun dan menggunakan jamban.
Dia mengatakan kunjungannya dan jamban murah dari Paulus telah mendorong banyak rumah tangga untuk membangun toilet sendiri. Proporsi rumah tangga di Desa Adang yang menggunakan jamban telah meningkat dari sekitar 27% menjadi 92%.
Berkat dukungan dari Bill dan Melinda Gates Foundation dan Unilever, UNICEF juga tengah meluncurkan proyek yang sama di Sulawesi Selatan, NTT dan Papua.