Sepasang boneka di antara puing-puing di kota Tacliban, Filipina. © UNICEF Philippines/2013/JMaitem |
Oleh Kent Page, Senior Advisor Strategic Communications, UNICEF Filipina
Dua hari yang lalu, bersama dengan beberapa orang wartawan, kami mengunjungi salah satu pemukiman yang paling terpukul topan Haiyan di kota Tacloban. Pemukiman tempat ribuan orang tinggal ini terletak sekitar 200 meter dari pesisir pantai dan cukup kumuh.
Namun sudah tidak ada lagi yang tersisa. Daerah ini terkena kekuatan penuh topan super Haiyan, dan semua rumah pun tersapu oleh topan, gelombang badai, dan angin kencang.
Barang-barang dan keperluan rumah tangga sehari-hari berserakan di mana-mana. Sebuah boneka di sini, sepotong baju di sana, remote control TV di satu sisi, dan foto album keluarga di seberangnya.
Saat sedang menyelesaikan pekerjaan kami, saya memutuskan untuk berjalan-jalan. Sekitar 75 meter kemudian, saya melihat dua jenazah. Satu di antaranya tampak seperti seorang pemuda, dan yang satunya adalah seorang gadis kecil bergaun putih, usianya sekitar enam tahun.
Saat itu dua minggu telah berlalu sejak topan Haiyan melanda Filipina. Kedua jenazah telah berbaring di punggung mereka selama 14 hari, menatap terik matahari dan hujan lebat yang bergantian setiap hari di Tacloban. Dekomposisi dan bau yang keluar sangat menyengat, tapi saya tidak bisa mengalihkan pandangan dari gadis kecil bergaun putih itu. Saya merasa ada yang salah dengan membiarkan dia berbaring begitu saja ditatapi oleh orang-orang lewat, apalagi oleh anak-anak lain, termasuk kemungkinan oleh saudaranya sendiri.
Pengurusan jenazah tidak termasuk dalam tugas kerja UNICEF. Kami membantu anak-anak yang paling rentan di dunia melalui tindakan kami di bidang kesehatan, gizi, pendidikan, perlindungan anak, air dan sanitasi. Kami bekerja sepanjang waktu demi semua anak yang terkena dampak topan dan telah mendapat kemajuan, meskipun masih ada begitu banyak yang harus dilakukan . Tapi saya berpikir bahwa entah bagaimana, gadis kecil bergaun putih itu mungkin adalah anak yang paling rentan dari semua.
Kami harus pergi, jadi saya mengucapkan sebuah doa untuk mereka berdua sebelum melanjutkan sisa pekerjaan kami. Malam itu saya menanyakan cara untuk menghubungi kelompok yang bisa mengurus jenazah sang gadis kecil dan pemuda.
Keesokan sore harinya kami telah menyelesaikan beberapa lagi wawancara media untuk menunjukkan tantangan yang dihadapi oleh begitu banyak anak Filipina kepada dunia. Kami pun mampir ke suatu toko kecil, salah satu yang pertama buka kembali di Tacloban, untuk membeli air. Di dalamnya saya bertemu dengan seseorang dari Kanada yang telah bersepeda sekeliling Filipina dan tiba di Tacloban tepat sebelum topan Haiyan melanda. Ia telah menunda sisa perjalanannya dan kini menjadi relawan dengan pemadam kebakaran setempat. "Melakukan apa?", tanya saya. "Membantu operasi pengambilan jenazah."
Saya segera menjelaskan situasi yang saya lihat kemarin dan dia mengantarkan saya ke kantor pemadam kebakaran. Sayangnya, seluruh tim mereka sudah tidak di tempat dan kepala pemadam kebakaran mengatakan bahwa tidak ada orang tersedia sampai hari Minggu. "Terlambat," kataku. "Apakah ada orang lain?" "Mungkin tim Meksiko dapat membantu", kata kepala pemadam kebakaran. "Mereka berada di gedung sebelah."
Saya bergegas dan bertemu dengan tiga orang relawan pengurus jenazah dari Meksiko. "Kita bisa berangkat sekarang jika mau", kata mereka. "Kami akan bawa beberapa kantung jenazah ekstra untuk berjaga-jaga, tapi kendaraan kami sekarang sedang keluar - adakah tumpangan untuk kami?"
Tiga puluh menit kemudian, kami tiba kembali di pemukiman tersebut dan mereka pun mulai bekerja - memotret jenazah untuk pengidentifikasian, mewawancarai orang-orang sekitar untuk mencari informasi tentang jati diri mereka, memeriksa pergelangan tangan dan leher untuk gelang dan kalung yang mungkin bisa menceritakan sesuatu, dan mencatat semua informasi dan lokasi secara rinci.
Mereka pun mulai mengangkat dan menempatkan masing-masing tubuh di dalam kantung jenazah biru milik Palang Merah Filipina. Mereka melakukannya dengan sangat penuh kasih. Berlutut di sampingnya, sang gadis kecil diangkat dengan lembut, dibuai di lengan mereka dan kemudian diletakkan ke dalam kantung jenazah seakan meletakkan seorang anak ke dalam selimut tidur. Tangannya ditempatkan di dada dan saya yakin setiap orang yang melihat berdoa di dalam hatinya.
Dan kemudian dengan sangat perlahan, tas itu ditutup. Tidak ada lagi teriknya matahari, tuangan air hujan, lalat yang berdengung, maupun mata penasaran - hanya kedamaian yang aman dan tenang untuk si gadis kecil bergaun putih.
Namun pekerjaan baru saja dimulai. Warga setempat menunjukkan tujuh jenazah-jenazah lainnya yang tersebar di antara puing-puing dan pohon-pohon palem yang tumbang di dekat sebuah rawa. Lima dari mereka adalah anak-anak berusia sekitar 9, 7, 5, 4 dan 2 tahun. Semuanya perempuan.
Tim dari Meksiko ini memperlakukan setiap jenazah dengan hati-hati dan kasih sayang yang selayaknya mereka dapatkan. Dalam waktu 2 jam, sembilan orang, enam di antaranya anak-anak, akhirnya telah diurus oleh tim Meksiko secara halus dan profesional.
Seorang relawan mengurus jenazah. © UNICEF/Kent Page |
Tidak ada kantung jenazah untuk anak yang terakhir ditemukan, tetapi tim Meksiko tidak akan meninggalkan dia terpapar. Mereka mencari sampai mereka menemukan beberapa seprai kasur yang kemudian dicuci. Mereka lalu membungkusnya dengan kain kafan yang seadanya namun bersih. Setelah mencari selama beberapa menit, mereka juga menemukan sepotong terpal plastik besar berwarna hijau dan kuning, yang lalu digunakan untuk membungkus kain kafan tersebut. Entah bagaimana kantung jenazah darurat ini, dengan warna-warnanya yang indah dan cerah, menjadi simbol yang cocok untuk semangat hidup seorang anak.
Kendaraan transportasi jenazah telah dipanggil melalui radio, tetapi seperti yang terjadi setiap hari di seluruh Tacloban, kantung-kantung jenazah ini harus menunggu untuk diambil keesokan harinya karena keadaan yang sangat sibuk.
Tim Meksiko memutuskan akan lebih mudah untuk menjemput jenazah-jenazah tersebut keesokan harinya, Minggu, jika mereka semua dibawa turun bersama-sama ke pantai. Mereka pun membawa masing-masing kantung jenazah ke tepi pantai dan meletakkannya secara perlahan-lahan di atas sebuah lantai beton yang tadinya adalah fondasi rumah, dengan kaki mereka menunjuk ke arah laut.
Tidak seperti dua minggu yang lalu, kondisi laut sangat tenang dan damai, seakan-akan merasa bersalah dan tengah meminta maaf atas apa yang dilakukannya. Selama beberapa saat, kekacauan dan pergolakan di Tacloban dikuasai oleh kedamaian, ketenangan dan keindahan pemandangan.
Hari ini adalah hari Minggu di Tacloban dan gereja-gereja di seluruh kota dipenuhi dengan syukur dari mereka yang selamat dari topan, dan doa untuk mereka yang telah kehilangan nyawa. Di Minggu pagi yang cerah ini, kami mendengar bahwa jenazah tiga orang dewasa dan enam anak-anak telah diambil dan dibawa dengan kendaraan menuju tempat peristirahatan terakhir mereka.
Beberapa menit kemudian kami berdiri di luar sebuah gereja tempat UNICEF membantu para keluarga yang kehilangan rumahnya. Saya sedang bersiap-siap untuk melakukan wawancara tentang kampanye vaksinasi darurat yang akan mencakup anak-anak yang berlindung di gereja, ketika seorang pria muda berjalan melewati pintu yang terbuka dekat saya.
Dia memegang tangan seorang gadis kecil, entah putrinya, adik atau keponakannya. Mereka tidak mengatakan sepatah kata pun saat berjalan menuju depan gereja, tapi mereka berdua menoleh dan tersenyum ketika lewat. Gadis kecil itu tampak bahagia, sehat dan terlindungi. Gadis kecil itu mengenakan gaun putih.