Annual Report

Friday, 22 November 2013

Indonesia meluncurkan kampanye anti kekerasan terhadap anak (#ENDviolence)

Oleh: Michael Klaus


Direktur Kesejahteraan Sosial Anak di Kementerian Sosial, Edi Suharto (kiri), menghubungi helpline TeSA 129 untuk mencari tahu tentang jenis masalah yang sering dilaporkan anak. ©UNICEF Indonesia/2013/Dionisio 

JAKARTA, 20 November 2013 - Pada Hari Anak Universal, Indonesia bergabung dengan inisiatif global yang dinamakan #ENDviolence against Children.

"Peluncuran kampanye hari ini hanyalah awal dari sebuah proses yang panjang. Kami telah berhasil membentuk aliansi yang kuat untuk meningkatkan kesadaran tentang dampak kekerasan pada anak-anak dan untuk memperkuat pencegahan dan sistem respon. Selama beberapa bulan mendatang, kami akan bekerja keras untuk mendapatkan lebih banyak mitra lagi," ucap Deputi Perwakilan UNICEF Indonesia Marc Lucet pada acara yang diselenggarakan bersama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Sosial, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Komisi Perlindungan Anak.

Sejauh ini, Indonesia tidak memiliki data nasional tentang kekerasan terhadap anak. Pemerintah dengan dukungan dari US Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan UNICEF tengah melakukan survei nasional tentang prevalensi kekerasan fisik, emosional dan seksual terhadap anak laki-laki dan perempuan di 25 dari 33 provinsi. Hasil dan rekomendasi survey ini akan dipublikasikan tahun depan.


Data sub-nasional yang ada memberikan gambaran suram. Menurut Multiple Indicator Cluster Survey (MICS) 2011 yang dilakukan di tiga kabupaten di provinsi Papua, misalnya, dua pertiga dari anak di bawah usia 15 mengatakan mereka pernah dihukum secara fisik. Lebih dari seperempat responden bahkan mengatakan bahwa hukuman fisik tersebut cukup parah.

Di acara peluncuran, Ketua Forum Anak Nasional, I Gede Respa Pranayogas, menyampaikan contoh-contoh tindak kekerasan, termasuk kasus anak yang dibuang dari mobil yang sedang berjalan oleh ibunya. Dia menyoroti kebutuhan untuk menciptakan lingkungan yang protektif bagi anak-anak dalam keluarga, masyarakat maupun di sekolah di mana anak-anak merasa aman dan dapat berbicara melawan kekerasan tanpa takut akan pembalasan.

Ketua Forum Anak Nasional, I Gede Respa Pranayogas, menyampaikan kasus-kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia bersama saudara kembarnya, I Gede Ressa Agung. ©UNICEF Indonesia/2013/Klavert.

"Kita semua memiliki tanggung jawab untuk mengungkap yang tidak terlihat," kata Lucet. "Ini termasuk Pemerintah yang perlu memperkuat undang-undang untuk secara efektif melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak."

Indonesia telah mengeluarkan sejumlah hukum yang menangani kekerasan terhadap anak, termasuk UU 2002 tentang Perlindungan Anak, namun penegakan hukum tersebut masih menjadi tantangan. Dan meskipun hukum yang ada menetapkan bahwa anak-anak perlu dilindungi dari kekerasan, tetapi mereka tidak secara eksplisit melarang hukuman fisik di sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga publik lainnya. Dalam laporan negara terbaru kepada Komite Hak Anak, pemerintah mengumumkan rencana untuk mengembangkan "peraturan nasional dan daerah yang melarang segala bentuk hukuman fisik dan psikologis anak di rumah dan di sekolah."

Pemerintah juga melakukan investasi dalam layanan dukungan bagi para korban, seperti nomor helpline anak nasional TeSA 129. Pada peluncuran kampanye, Direktur Kesejahteraan Sosial Anak di Kementerian Sosial, Edi Suharto, menelepon nomor 129 dan berbicara kepada operator, salah satu pekerja sosial yang bekerja 15 jam setiap hari tentang jenis masalah yang biasanya dilaporkan oleh anak-anak melalui layanan ini. Para hadirin pun mendengar bahwa sebagian besar penelepon berurusan dengan masalah yang berkaitan dengan kekerasan, termasuk bullying di sekolah, kekerasan seksual serta hukuman keras di rumah. Mayoritas besar penelepon adalah anak perempuan. TeSA 129 adalah bagian dari Child Helpline International, sebuah jaringan global dari 173 helpline di 141 negara yang merayakan ulang tahun ke 10 pada Hari Anak Universal.

Pertunjukan dari anak-anak jalanan asuhan LSM Sanggar Rotan yang menggabungkan instrumen tradisional seperti kendang dan gamelan dengan instrumen buatan tangan menggunakan drum air bekas menutup acara peluncuran. ©UNICEF Indonesia/2013/Klavert.
UNICEF menjalankan sejumlah program di Indonesia untuk mencegah dan menanggapi kekerasan terhadap anak. Di Provinsi Papua, misalnya, UNICEF mendukung program yang mendorong guru untuk mengambil metode baru dalam menanamkan disiplin non-kekerasan di dalam kelas. Bertepatan dengan peluncuran di Jakarta, guru di tiga kota di Papua mendapatkan pelatihan tentang "disiplin positif".

"Guru adalah panutan bagi anak-anak," kata Lucet. "Jika seorang guru memukul siswa, pesan untuk anak-anak lain adalah: ini boleh dilakukan. Ini adalah cara yang dapat diterima untuk memecahkan masalah. Tapi kekerasan melahirkan kekerasan. Itulah mengapa kami meluncurkan kampanye hari ini. Mengakhiri kekerasan adalah urusan semua orang."

Sebagai bagian dari kampanye, Duta Nasional UNICEF Indonesia Ferry Salim mengadaptasi Iklan Layanan Masyarakat global dalam Bahasa Indonesia. Selanjutnya, UNICEF dan mitra-mitra Kementerian akan menjalankan kampanye media sosial untuk meminta pendapat masyarakat tentang apa yang mereka pikir harus dilakukan untuk mencegah kekerasan terhadap anak.