Oleh: Vania Santoso – Innovations Adolescent
and Youth Engagement Officer
LaserEgg memberi penggunanya pembacaan kualitas udara terkini sehingga mereka dapat melindungi diri dari kabut dan polusi udara lainnya © UNICEF Indonesia/2017/Vania Santoso
Apa yang akan kita lakukan jika orang yang kita
percayai meminta agar tetap berada di rumah karena udara luar berbahaya untuk
dihirup?
Bulan Maret lalu, saya berkunjung selama empat
hari ke Palangka Raya, Kalimantan—pusat lokasi kebakaran hutan yang
mengakibatkan asap di Indonesia—untuk menentukan apakah sistem pemantauan
langsung kualitas udara dapat bermanfaat di sana.
Secara khusus, saya ingin menilai minat warga dalam
menggunakan alat pemantauan kualitas udara berukuran kecil dan mudah dibawa,
seperti LaserEgg. Alat ini dapat memberikan informasi tingkat pencemaran udara
dan melindungi kesehatan penggunanya. Hasilnya, saya menemukan bahwa
kepraktisan
alat untuk dibawa dan kemudahan membaca hasil pemantauan menarik bagi warga;
namun, dari pengalaman terdahulu, mereka sadar bahwa teknologi hanya berguna
saat digunakan dengan benar.
Sadrah dan Vivia, petugas
bandar udara Tjilik Riwut, adalah dua orang pertama yang saya ajak bicara.
Mereka tak bereaksi banyak saat LaserEgg menunjukkan bacaan ISPU 115 “Tidak
Sehat” terhadap udara tak jauh dari landasan pesawat.
“Tidak apa-apa. Yang
lebih parah pun pernah kami lihat,” kata Sadrah. “Tahun 2015, saat sebagian
besar Kalimantan diselubungi asap kuning beracun, jarak pandang hanya sampai
sekitar 10 meter,” ujar Vivia.
Lody (kiri) memperkenalkan alat Pemantau Kualitas Udara LaserEgg kepada Arief, Sadrah, dan Bayu © UNICEF Indonesia/2017/Vania Santoso
Esoknya, saya bertemu
dengan Pak John Pieter dari Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika
(BMKG). Sejak tahun 2006, ia terlibat dalam upaya pencegahan kebakaran hutan.
Lody, rekan dari PulseLab Jakarta yang ikut dalam kunjungan, menanyakan
pendapat Pak John mengenai potensi kegunaan alat pemantau. “Alat ini memang
memberikan informasi yang perlu diketahui,” jawab Pak John, “tapi, bukan
berarti akan diikuti dengan tindakan.”
Ia mengumpamakan asap
dengan merokok: “Semua orang tahu rokok berbahya, tetapi tetap merokok. mereka
tidak memikirkan efek jangka panjangnya.”
Anggota Relindo, kelompk relawan, menyampaikan
hal serupa. Menurut Pak Joko, koordinator daerah Relindo, wilayah kota sudah
dilengkapi dengan alat pemantau kualitas udara. “Dulu, waktu ISPU sudah pada
level ‘bahaya’ warga masih saja pergi ke luar rumah tanpa masker.” Menurutnya,
yang dibutuhkan dalam hal ini adalah upaya pemerintah untuk mengubah perilaku
saat terjadi bencana asap.
Hindris, seorang anggota lain dari Relindo, mengatakan upaya menumbuhkan
kesadaran amat penting. “Saat kejadian asap dulu, kami membagikan masker N95
kepada warga yang tinggal di daerah terdampak. Tapi, mereka tidak tahu cara
menggunakan dan manfaat masker. Bahkan, ada yang mengeluh masker membuat mereka
sulit bernapas, dan memilih menutupi mulut dengan kain biasa. Tugas kami adalah
mengedukasi mereka agar mereka sadar bahaya jika tidak menggunakan masker,”
terangnya.
Semua orang yang kami wawancarai nampaknya setuju
bahwa alat pemantau udara jinjing hanyalah alat. Hal yang tak kalah penting
adalah memastikan masyarakat bisa menerapkan pengetahuan mereka. “Alat pantau
seperti LaserEgg memberikan informasi yang membantu warga memutuskan kapan
mereka harus melindungi diri. Tapi, alat ini tidak bisa menjelaskan mengapa
perlindungan diri penting,” kata Valerie Crab, UNICEF Indonesia Innovations
Specialist.
“Menemukan cara yang dapat memicu perubahan
perilaku dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas adalah tantangan
inovasi,” tambah Valerie.
Keterangan: LaserEgg diberikan sebagai sampel kepada UNICEF
Indonesia oleh Origins, distributor alat ini di Indonesia. Alat seperti LaseEgg
menginformasikan saat kondisi udara di suatu tempat berada pada kondisi Baik
(ISPU 0-50), Sedang (ISPU 51-100), Tidak Sehat (ISPU 101-200), Sangat Tidak
Sehat (ISPU 201-300), atau Berbahaya (ISPU 301+). Keterangan pada alat diberi
kode warna agar mudah dimengerti.