Oleh: Vania Santoso – Innovations
Adolescent and Youth Engagement Officer
Murid berjalan kaki setelah dipulangkan lebih awal dari sekolah akibat kabut asap di Jambi, Provinsi Jambi, Indonesia© Antara Foto/Wahdi Setiawan/Reuters/29 September 2015
Palangkaraya:
“Gara-gara asap, saya rasanya tidak pernah mau berada di sini lagi!” kata
Gibran, siswa kelas empat di Palangkaraya, Kalimantan Timur.
Berat rasanya mendengarkan Gibran menceritakan
kembali hari-harinya saat kabut asap menyelubungi tempat tinggalnya di
Kalimantan, peristiwa yang berlangsung berminggu-minggu dan disebut oleh
beberapa pihak sebagai bencana lingkungan terburuk. Di desanya, kabut asap
begitu parah hingga Gibran
dan keluarganya terpaksa pindah. Mereka mengungsi
ratusan kilometer jauhnya ke Jawa, tempat mereka tinggal selama sekitar dua
bulan bersama nenek Gibran.
Secara sederhana, kabut asap adalah polusi
udara yang berbau dan ditimbulkan oleh kebakaran hutan. Asap tidak hanya
menyebabkan kerugian ekonomi, emisi gas rumah kaca, dan kematian satwa liar,
namun juga mengancam kesehatan pernapasan—terutama pada anak-anak. Masalah
kesehatan lain yang mendasar seperti gizi buruk, diare dan malaria, serta
imunisasi tak lengkap bisa meningkatkan kerentanan anak-anak. Terlebih, saat
kabut asap melanda, sekolah terpaksa ditutup dan pendidikan mereka pun
terhalang.
Bersama dengan rekan-rekan dari PulseLab
Jakarta, Lody dan Fahmi, saya dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, Pemerintah Palangkaraya, serta sejumlah mitra lain bekerja
sama untuk memahami peristiwa kabut asap dari sudut pandang anak. Tujuannya
adalah mencari solusi—baik kebijakan maupun praktis—sebelum musim kemarau tiba
dan kebakaran hutan menyebabkan kabut asap kembali. Proses ini sangat
menekankan pada kerja sama dan kemitraan, yaitu pendekatan yang mempertemukan
calon pengguna solusi dengan pembuat solusi dan keputusan.
Dengan semangat itulah, UNICEF dan para mitra mengembangkan sejumlah cara
yang dapat menjawab berbagai aspek persoalan kabut asap, termasuk: komik
mengenai cara melindungi diri dari asap dan program yang bisa diikuti oleh
relawan dewasa agar anak-anak tetap punya kegiatan meski harus berada di rumah
saat terjadi kabut asap. Dengan melibatkan warga untuk ikut membuat dan menguji
model-model percobaan ini, kami berharap hasil akhirnya dapat disesuaikan
sedekat mungkin dengan kebutuhan lokal agar tingkat keberhasilan pun lebih
besar.
Gibran (tengah) dan temannya, David, turut memberi masukan pada contoh komik buatan PulseLab yang hendak membangun kesadaran tentang asap © UNICEF Indonesia/2017/Vania Santoso
Dari diskusi kami dengan warga, jelas bahwa
risiko kesehatan dan pendidikan yang ditimbulkan asap saling memengaruhi, dan
bahwa warga amat menginginkan solusi yang bisa dijalankan.
David, siswa kelas 6 SDN 4 Menteng
Palangkaraya, tak bisa lupa saat kabut asap memburuk pada 2015. “Hari itu gelap
sekali, termasuk di dalam rumah meski lampu menyala,” katanya. “Saya sulit bernapas dan tidak bisa
menemui teman-teman,” tambah David.
“Sekolah tutup. Ini
sulit, karena kami hanya diberikan PR untuk dipelajari dan dikerjakan di
rumah,” katanya.
Saat kabut asap
terjadi, sekolah-sekolah memang diliburkan selama berminggu-minggu.
“Rasanya seperti
dipenjara! Rumah saya kecil, anak-anak ingin pergi ke luar, ke sekolah, dan
bermain dengan teman-temannya,” ucap Ibu Elok, orangtua murid sekaligus guru
salah satu sekolah. “Anak-anak tidak sadar bahaya asap. Mereka tetap pergi
meski tanpa izin.”
Menurut kepala sekolah
Ibu Ernawati, “Ketika ada kabut asap, anak-anak terpapar dampak kesehatan yang
negatif. Nyaris semua anak, termasuk anak saya sendiri, menjadi lebih rentan
sakit, sering batuk, bahkan ada yang kemudian memiliki masalah pernapasan
kronis.”
Ibu Elok (kiri) dan Ibu Ernawatie memberikan masukan terhadap model contoh kurikulum tanggap bencana dari PulseLab © UNICEF Indonesia/2017/Vania Santos
Menurut penelitian dari
Universitas Columbia dan Harvard, kabut asap 2015 bisa jadi telah menyebabkan
kematian lebih dari 100.000 orang—sebagian besar merupakan akibat dari risiko
kesehatan sistem pernapasan.
Ibu Ernawati mengatakan
ia senang melihat contoh “rumah singgah bebas asap” dari UNICEF dan bersemangat
menerapkan kurikulum PulseLab Jakarta mengenai strategi tanggap bencana asap.
“Membangun rumah
singgah dengan fasilitas dasar agar anak-anak tetap bisa berkumpul, bermain,
dan belajar saat ada kabut asap adalah mimpi saya,” ungkapnya.
Berbagai jenis upaya
ini akan mulai diujikan bulan depan oleh UNICEF di Palangkaraya. Diharapkan,
beberapa model contoh akan memberikan hasil menjanjikan. Namun, kabut asap adalah
permasalahan rumit sehingga dibutuhkan pula kebijakan kuat dan menyeluruh untuk
memitigasi dampak bahayanya. Hari Lingkungan Dunia kini diperingati setiap
tanggal 5 Juni; inilah saatnya bertindak mencari solusi bagi kabut asap!