oleh: Felice Bakker, JPO,
Perlindungan Anak
Sebagai bagian dari pendekatan UNICEF Indonesia untuk
melakukan pemodelan intervensi yang terukur, saya mendokumentasikan praktek
pencatatan kelahiran yang baik di sembilan lokasi percontohan kami di seluruh
Indonesia. Dalam kesempatan ini, saya bertemu dengan satu keluarga yang
mendapat manfaat dari percontohan UNICEF di Makassar, di mana kemitraan
dilakukan dengan LSM lokal untuk mendaftarkan anak-anak yang rentan, termasuk
penyandang cacat.
Makassar:
Jasmine * adalah seorang ibu yang lumpuh. Begitu juga kedua anaknya yang
terkecil. Putrinya yang berusia tiga tahun Nur harus digotong, sementara anak
laki-lakinya yang berusia lima tahun, Ali, harus berjalan dengan kaki dan
tangannnya.
Selama pemeriksaan sebelum kelahiran di rumah sakit di
tahun-tahun sebelumnya, dokter mengatakan kepada Jasmine bahwa
seorang ibu
cacat tidak mungkin membesarkan anak dengan baik, dan menasihatinya untuk
menggunakan alat kontrasepsi untuk menghindari kehamilan di masa depan. Tentu
saja, Jasmine tidak setuju.
Untuk mempelajari lebih lanjut tentang kehidupan Jasmine
sebagai seorang ibu penyandang cacat dan tantangan yang ia hadapi, saya bersama
seorang teman mengunjunginya di rumahnya di Makassar, Sulawesi Selatan. Dia
menyambut kami dengan hangat, mengundang kami ke dalam untuk bertemu dengan
ketiga anaknya, yang suara tawanya sudah bisa terdengar dari jalanan.
Saya kagum saat mengetahui bahwa Jasmine, meskipun lumpuh,
masih bisa bekerja sebagai penjahit, dan menjalankan usaha kecil dengan seorang
wanita lain bernama Irma. Bersama-sama, kedua wanita ini menghabiskan 8-12 jam
sehari di belakang mesin jahit, menjahit berbagai macam pakaian dari celana
hingga gaun. Penghasilannya tidak banyak, tapi cukup untuk menjaga keluarga di
atas garis kemiskinan.
Jasmine juga
berbicara tentang kesulitan untuk mengakses layanan seperti akte kelahiran. Di
Indonesia, hanya 66 persen anak berusia di bawah 18 tahun dan 60 persen anak di
bawah 4 tahun memiliki akte kelahiran, dan di Makassar jumlahnya bahkan lebih
rendah. Hambatan untuk registrasi adalah jarak, biaya dan ketidakpahaman akan
proses registrasi, dan bagi keluarga seperti keluarga Jasmine, sangat menantang
karena mobilitas yang terbatas.
UNICEF,
bekerja sama dengan LSM yang berbasis di Makassar, telah melakukan sebuah
proyek percontohan untuk membantu anak-anak yang kurang beruntung memperoleh
akta kelahiran. Untuk mengarahkan usaha tersebut, mitra UNICEF Bursa
Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) telah melatih LSM lokal dalam
strategi penjangkauan masyarakat untuk membantu keluarga menyusun dokumentasi
yang diperlukan. Berkat dukungan BaKTI, 604 anak yang rentan telah menerima
akta kelahiran sejak akhir tahun 2016.
Dalam kasus
Jasmine, LSM mitra UNICEF Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) telah
berhasil mendapatkan akta kelahiran untuk Nur, sehingga memastikan ia dapat
masuk sekolah dasar dalam beberapa tahun. Seorang rekan UNICEF juga telah
membantu Jasmine mendaftar ke Kementerian Sosial untuk mendapatkan dana bantuan
bagi anak-anak cacat. Apabila beruntung, keluarga ini akan segera dapat
mengakses bantuan penting sebesar Rp300.000 per bulan ini.
Saat ini,
kekhawatiran terbesar Jasmine bukanlah masalah keuangan – ia mengkhawatirkan
apa yang menanti anak-anaknya saat mereka memulai sekolah dasar. Di negara di
mana 20 persen siswa mengalami perundungan, "apa untungnya bagi Ali?"
Dia bertanya-tanya. "Apakah dia akan diejek?"
Ali sendiri
tampak bingung.
"Tuhan
menciptakan saya seperti ini," kata anak berusia lima tahun ini,
"jadi ini pasti yang Tuhan inginkan." Jasmine mengangguk sedih.
Melalui kunjungan
ke keluarga luar biasa seperti Jasmine, saya merasa
sangat terhubung dengan pekerjaan UNICEF. Ketahanan yang
ditunjukkan oleh keluarga ini sangat dalam dan menyentuh, dan mengingatkan saya
pada apa yang membuat intervensi ini begitu penting - membuat perbedaan yang
langgeng untuk anak-anak.
*Demi menghargai hak-hak anak, nama anak perempuan di atas telah disamarkan.