Menguji kualitas air di
Yogyakarta © UNICEF Indonesia /
2016/ Aidan Cronin
Oleh Aidan Cronin,
Chief of WASH, Mitsunori Odagiri, UNICEF WASH Officer, dan Bheta Aryad, Social
Policy Specialist, UNICEF Indonesia
Pemerintah
Indonesia telah mengambil peran sebagai pemimpin implementasi Agenda 2030 dan
Tujuan-Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) baik di kawasan Asia Tenggara
maupun di tingkat dunia. Komitmen ini tercermin antara lain dari upaya
pemerintah menyelaraskan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
dengan tujuan 6 SDG, yaitu menjamin ketersediaan air bersih dan sanitasi layak untuk
semua pada tahun 2030. RPJMN 2015-2019 bahkan melangkah lebih ambisius dengan
mencanangkan target untuk memastikan 100 persen penduduk Indonesia punya akses
terhadap air minum yang aman pada akhir 2019.
Komitmen
untuk menciptakan kemajuan sudah tidak diragukan lagi. Namun kurangnya data masih
menjadi hambatan.
Untuk
mengatasinya, Badan Pusat Statistik (BPS) bersama dengan Kementerian Kesehatan
dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) menyelenggarakan Survei Kualitas
Air di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada September tahun lalu bersamaan
dengan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Itulah kali pertama kedua
survei diintegrasikan.
Survei
Kualitas Air di Yogyakarta hendak mendapatkan gambaran terperinci mengenai mutu
air, sanitasi, dan kebersihan di tingkat rumah tangga serta menyediakan
estimasi awal (baseline) mengenai
kondisi kemajuan Indonesia terhadap target air dan sanitasi SDG yang ingin
dicapainya. Selain itu, survei juga bertujuan mengumpulkan data mengenai mutu
air minum untuk Pemerintah D.I. Yogyakarta dan pemangku kepentingan terkait.
Untuk
survei ini, tim BPS Yogyakarta mendatangi hampir 1.000 rumah tangga. Sementara
itu, analisis data air dilaksanakan oleh Balai Besar Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Kementerian Kesehatan dengan
fokus mendeteksi kontaminasi kotoran yang mengandung bakteri E.coli.
Berdasarkan
hasil analisis, ditemukan bahwa 89 persen sampel sumber air sudah
terkontaminasi E. Coli. Padahal,
akses pada “sumber air yang aman” sudah cukup tinggi. Temuan ini menyiratkan
bahwa sumber air minum aman pun masih sangat berisiko terkontaminasi.
Sekitar
67,1 persen sampel air minum rumah tangga, yaitu air siap minum, juga ditemukan
terkontaminasi E.coli. Merebus air
dapat menurunkan tingkat kontaminasi, namun tidak berarti dapat sama sekali
menghilangkan sisa-sisa bakteri.
Hasil
ini jelas sangat meresahkan. Telah diketahui bahwa tingginya kontaminasi kotoran
baik pada sumber air maupun pada air siap minum rumah tangga berkorelasi dengan
kemiskinan, kondisi perdesaan, dan tingkat pendidikan yang rendah. Hal ini
menegaskan bahwa intervensi yang menyasar kelompok paling rentan sangat dibutuhkan.
Angka proporsi rumah tangga dengan akses pada air minum aman dan dengan sarana
sanitasi layak sesuai definisi SDGs masing-masing diperkirakan sebesar 8,5
persen dan 45,5 persen.
Dalam
proses pengambilan data, tim survei dituntut untuk dapat melakukan tugas
tambahan, termasuk melengkapi kuesioner kualitas air serta mengambil sampel
dari sumber air dan dari air siap minum rumah tangga. Mereka pun harus
mengantarkan sampel ke laboratorium dalam kurun 4 hingga 6 jam. Semua upaya ini
turut menjadikan Indonesia sebagai salah satu dari sedikit negara yang
berkomitmen menetapkan pengetahuan dasar mengenai keamanan air di negaranya. Atas
inisiatif ini, Pemerintah layak mendapat apresiasi tinggi.
Diluncurkan
oleh Menteri BAPPENAS Bambang Brodjonegoro, Kepala BPS Kecuk Suhariyanto, dan
Perwakilan UNICEF Gunilla Olsson, laporan survei merekomendasikan agar survei
serupa dilaksanakan di provinsi lain dan menyarankan agar pemerintah daerah
menyelenggarakan uji mutu air secara teratur. Laporan juga menyatakan
pentingnya pemerintah pusat dan daerah berkoordinasi lebih baik agar dapat
meraih peluang untuk mencapai kemajuan-kemajuan yang sudah ditetapkan.
UNICEF merasa bangga dapat turut menyediakan
dukungan teknis untuk upaya yang luar biasa penting ini karena air aman adalah
penyumbang utama kesehatan masyarakat, khususnya anak-anak.
Kita tahu bahwa lebih dari 40 persen kematian balita,
misalnya, disebabkan oleh dua hal utama: diare dan pneumonia. Kita juga tahu
bahwa air, sanitasi, dan kebersihan—terutama kebiasaan mencuci tangan dengan
sabun sebelum makan dan sesudah menggunakan toilet—dapat secara drastis
menurunkan angka ini. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa peningkatan mutu
air dapat menurunkan angka kejadian diare sampai dengan 30 persen.
Selain itu, telah diketahui bahwa air, sanitasi,
dan kebersihan punya peran besar dalam mengurangi angka gizi buruk. Indonesia
sendiri masih menghadapi kasus anak bertubuh pendek (stunting) yang serius, dengan angka balita stunting atau dengan tinggi badan tidak sesuai untuk usianya
mencapai 37 persen. Dua hal ini dapat menghambat perkembangan kecerdasan dan
produktivitas mereka kelak. Studi UNICEF baru-baru ini menunjukkan bahwa anak
dari keluarga yang minim akses pada air minum aman dan sarana sanitasi layak
memiliki risiko stunting yang lebih
tinggi.
“Dalam periode MDG (2000-2015), Indonesia berhasil
menurunkan angka proporsi penduduk yang kekurangan akses pada sumber air aman
sampai lebih dari setengahnya. Pencapaian ini luar biasa. Kini, Tujuan-Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) mengubah fokus dari sumber menjadi keamanan
air. Pergeseran ini membuka peluang baru untuk melangkah maju mengingat
pencapaian tujuan SDG dianggap berhasil hanya jika telah menjangkau semua orang
di semua tempat.”
Survei kualitas
air membuktikan bahwa kita tahu cara untuk terus merintis langkah ke depan
walau mungkin ada perjalanan panjang yang menanti.